Suara Milenial: LIN dan Kegelisahan Eksistensial Gubernur Murad Ismail

0
2393

“Saya cuma berencana, begitu nelayan tangkap ikan, dia sudah tahu harganya berapa. Kita berusaha bangun seluruh cold storage. Kalau kita bikin penampungan ikan di seluruh Kabupaten/Kota, tentu masyarakat nelayan hidup juga.” (Murad Ismail)

Prolog

Pernyataan Murad Ismail di atas dikutip dari wawancara eksklusifnya yang diunggah di channel Youtube Indonesia News TV pada tanggal 5 Januari 2018, saat masih menjadi bakal calon Gubernur Maluku adalah bentuk kegelisahan moral beliau sebagai anak Maluku terhadap carut-marutnya pengelolaan potensi perikanan di negeri ini. Secara tersirat pernyataan tersebut mengandung sudut pandang bahwa problem perikanan di Maluku sangat terkait dengan sistem yang tidak responsif terhadap kebutuhan nelayan kecil yang tidak saja membutuhkan alat tangkap atau alat budidaya tetapi juga cold storage dan pelabuhan perikanan yang representatif.

Sejak digadang-gadang bakal maju sebagai calon Gubernur Maluku, Irjen Pol (Purn) Drs. Murad Ismail, SH sudah memperlihatkan kegelisahannya terhadap pengembangan sektor perikanan di Maluku yang menurutnya adalah sektor unggulan yang jika dikelola secara optimal dan sustain, dapat memicu lajunya pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Maluku. Dengan potret produksi perikanan 4,6 juta ton/tahun yang tersebar di tiga fishing ground (714, 715 dan 718) atau sekitar 36% dari 12,5 juta ton/tahun produksi perikanan nasional di 11 WPP, Maluku sesungguhnya adalah pilar utama bagi gagasan Presiden Jokowi yang ingin menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia.

Untuk itulah maka pasca Presiden Keenam RI, Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan ingin menjadikan Maluku sebagai Lumbung Ikan Nasional (LIN) dalam acara pembukaan Sail Banda pada tahun 2010 lalu. Sejak saat itu Pemerintah Provinsi Maluku mulai menjemput bola tersebut dengan melakukan berbagai upaya dan terobosan, mulai dari lobby politik, membentuk tim kajian hingga merancang draf akademik konsep Grand Design LIN.

Meski semua arahan dan petunjuk dari Pemerintah Pusat sudah dilakukan, namun sampai SBY selesai masa jabatannya sebagai Presiden RI, upaya menjadikan Maluku sebagai LIN gagal terus. Ternyata perjuangannya tidak semudah yang dibayangkan meski sudah dijanjikan oleh ‘Jakarta’. 

Baru setelah Murad Ismail terpilih dan dilantik sebagai Gubernur Maluku pada dua tahun lalu, LIN mulai dijalankan setelah 10 tahun terlena dalam palungan penantian yang tak pasti terhadap janji Pemerintah Pusat tersebut. Bahkan selang beberapa bulan pasca dilantik sebagai Gubernur Maluku, Jenderal Polisi dua bintang itu sempat menyatakan ‘perang’ dengan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP), Susi Pudjiastuti karena kebijakannya di sektor perikanan yang dianggap tidak populis dan merugikan. 

Sikap perang tersebut sontak mendapat dukungan dan respon positif dari publik Maluku, terutama kalangan aktivis yang merasa kecewa bahkan apatis dengan kebijakan Pemerintah Pusat. Wajar saja karena Maluku kerap mendapat perlakuan diskriminasi dalam geliat pembangunan nasional.

Murad Ismail nampaknya memiliki ekspektasi besar terhadap pengembangan sektor perikanan di Maluku. Hal itu terlihat dari konsep visi dan misinya saat maju dalam kontestasi Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku tahun 2018 lalu. Visi makro Gubernur kelahiran Waihaong, Ambon ini bersama wakilnya adalah “Maluku yang terkelola secara jujur bersih dan melayani. Terjamin dalam kesejahteraan dan berdaulat atas gugusan kepulauan”. 

Kalimat akhir visi ini yaitu ‘Berdaulat atas gugusan kepulauan’ yang menegaskan aspek kemaritiman tersebut mengandung makna bahwa masyarakat Maluku sebagai masyarakat yang berciri kepulauan selama ini belum berdaulat secara politik dan ekonomi atas laut dan pulau-pulau mereka yang kaya. Dengan kata lain, Murad Ismail sedang menunjukkan bahwa ada yang salah dalam orientasi pembangunan Maluku selama ini.

Terutama pada aspek pengelolaan sektor kelautan dan perikanan sehingga negeri ini kerap menyandang label termiskin keempat di Indonesia. Berangkat dari visi tersebut, terdapat dua misi strategis yang berkaitan dengan pembangunan sektor perikanan berbasis industrialisasi, yaitu; “Industrialisasi sumberdaya alam dan manusia” dan “Optimalisasi industri pertanian dan perikanan”. 

Kedua misi ini memperlihatkan kegelisahan Upu Latu Maluku itu bahwa selama ini pengelolaan sumberdaya perikanan di Maluku belum maksimal. Karena tidak berbasis industri apalagi industri skala multinasional sehingga berpengaruh terhadap banyak sekali urusan pensejahteraan publik. 

Dengan kata lain, pemanfaatan sumberdaya perikanan masih konstan pada pendekatan perikanan tangkap (fishing catch) dan budidaya perikanan (aquaculture) kemudian ikan hasil tangkapan maupun budidaya semuanya dibawa keluar untuk diolah di industri atau diekspor. Metode pengelolaan potensi perikanan semacam ini nyaris tidak memberi dampak signifikan bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi (economic growth) di Maluku. 

Kedepan semua upaya diharapkan dapat memberi manfaat lebih bagi masyarakat terutama nelayan kecil sehingga perlu adanya perubahan prospek pembangunan sektor perikanan ke arah industrialisasi dan penambahan Pelabuhan Perikanan dengan ketersediaan sejumlah cold storage yang memadai. Sehingga dapat mentrigger aktivitas ekonomi maritim terutama nelayan lokal yang menurut data Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku. Terdapat sekitar 150.000 keluarga nelayan di Maluku dimana kurang dari 10% yang merasakan program pemberdayaan padahal mereka adalah pilar utama pendapatan Negara dari sektor perikanan.

Mengapa harus LIN?

Baca Juga  Mengenal Program Pengembangan PLTB Berbasis Industri Hijau Oleh UPC Renewbles di Maluku

Sejak era Orde Baru, orientasi pembangunan nasional lebih diarahkan untuk pengelolaan sektor daratan (land based development) untuk mengejar pertumbuhan ekonomi seperti pertanian, perkebunan, infrastruktur dan industri raksasa. Bahkan sistem sentralisasi kewenangan membuat begitu mengakarnya kondisi disparitas antara pusat dan daerah. 

Geliat pembangunan daerah disesuaikan dengan selera pusat. Dan saat yang sama, ruang laut dengan segala kepelbagaiannya belum terlalu dilirik untuk dimanfaatkan apalagi dikelola secara maksimal oleh pemerintahan Soeharto. 

Hal itu terlihat dari kebijakan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) yang lebih memprioritaskan aspek daratan. Dan Maluku yang merupakan daerah kepulauan (1.450 pulau) dan hanya terdapat 4 buah pulau besar dengan luas lautan sekitar 92,4% dan daratan sekitar 7,6% tentu mengalami kesulitan dalam hal percepatan pembangunan meskipun pada saat yang bersamaan terdapat upaya menjadikan Pulau Buru sebagai Lumbung Padi Maluku dan sejumlah konsesi lahan untuk perkebunan, HPH dan pertambangan di Pulau Seram, Pulau Yamdena, Pulau Wetar dan Kepulauan Aru.

Kesulitan itu juga dipertegas dengan adanya kebijakan politik anggaran pusat yang merugikan, seperti alokasi APBD yang relatif kecil dan politik demografi dalam kebijakan transmigrasi yang terkonsentrasi di Pulau Seram dan Pulau Buru. Paling tidak kondisi historisitas dan terutama kesalahan paradigma pengelolaan pembangunan di Maluku yang kurang mengoptimalkan pemanfaatan sektor kelautan dan perikanan itulah yang membuat negeri Raja-Raja ini tersandera kemiskinan multidimensional dalam waktu yang relatif panjang hingga sekarang.

Setelah SBY memimpin Indonesia selama satu dekade kemudian berganti ke era kepemimpinan Presiden Jokowi hingga sekarang, fokus pembangunan nasional mengalami pergeseran yang cukup signifikan mulai dari aspek paradigma hingga praksis kebijakannya. Yang tadinya berwawasan Pembangunan Berbasis Daratan berubah menjadi Pembangunan Berbasis Kemaritiman (marine based development) terutama ketika Presiden Jokowi menegaskan visinya untuk menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia. Paling tidak sejak zaman SBY hingga Jokowi inilah Maluku mendapat momentumnya dalam geliat pembangunan nasional di sektor kemaritiman melalui kebijakan LIN dengan rencana anggaran 3,2 Triliun sebagai salah satu program strategis nasional di Maluku di samping Tol Laut.

Pemerintah Pusat menjadikan Maluku sebagai LIN karena dua alasan mendasar sebagaimana yang disebutkan sebelumnya yaitu; Pertama, Maluku menyumbang sekitar 36% produksi perikanan nasional dan kedua, terdapat 3 Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) di Maluku yaitu WPP 714, 715 dan 718. Sebagai Maritime Triangle (Segitiga Maritim), laut Maluku memiliki komoditi perikanan unggulan seperti; Ikan Pelagis Kecil (1.558.899 ton/tahun), Ikan Pelagis Besar (1.154.822 ton/tahun) dan Ikan Demersal (1.299.812 ton/tahun) disamping komoditi lainnya seperti Ikan Karang (485.881 ton/tahun), Udang Penaeid (72.386 ton/tahun), Lobster (2.753 ton/tahun), Kepiting (3.534 ton/tahun), Rajungan (2.939 ton/tahun), dan Cumi-cumi (87.928 ton/tahun). 

Dengan peta estimasi potensi perikanan seperti ini sebetulnya penetapan Maluku sebagai LIN sudah tepat, hanya saja tinggal menunggu Peraturan Presiden sebagai regulasi dan payung hukum dimana kebijakan ini bernaung. Sebagai pemimpin politik yang lebih mengedepankan politik diplomatik dan bukan politik retorik, Murad Ismail sadar betul bahwa LIN berbasis industri yang berorientasi produksi dan distribusi perlu didorong untuk segera direalisasikan karena tentu memberi ruang yang cukup bagi terkelolanya semua komoditi tersebut secara baik. 

Karena itu dengan berpeluh keringat, segala terobosan ia lakukan. Beberapa diantaranya seperti; 7 April 2020 Gubernur Maluku menyurati Menteri KKP perihal “Dukungan terhadap Maluku sebagai LIN”, 26 Mei 2020 Surat Menteri KKP yang “mendukung program LIN melalui kegiatan APBN, DAK Kelautan dan Perikanan, Dana Bergulir dari Badan Layanan Umum LPMUKP”, 26 Juni 2020 Rapat Koordinasi difasilitasi Kemenko Maritim dan Investasi, diikuti oleh KKP, SETNEG, SEKKAB, KSP, KEMENKUMHAM membahas tentang LIN, 8 Juli 2020 Rapat pembahasan PERPRES LIN difasilitasi Kemenko Maritim dan Investasi bersama Pemerintah Provinsi Maluku, KKP, SETNEG, SEKKAB dan KSP dilanjutkan dengan rapat membahas Grand Design dan identifikasi lokasi pusat kawasan LIN pada tanggal 23 Juli 2020, Kedatangan Menteri KKP bersama rombongan di kota Ambon tanggal 30 Agustus-1 September 2020, dan yang terakhir kunjungan Menteri KKP bersama rombongan di Ambon dalam rangka program LIN pada, tanggal 29 Juni 2021. 

Berbagai upaya ini membuktikan bahwa kegelisahan eksistensial Murad Ismail terhadap kondisi pengelolaan perikanan di Maluku telah mendorongnya berjuang dengan gigih dan tentu saja hasilnya mulai terlihat. Harus diakui bahwa Murad Ismail bukanlah tipikal pemimpin retorik yang mengandalkan kecakapan berbicara untuk mempengaruhi orang lain tetapi ia adalah pemimpin dengan kehebatan politik diplomasi yang mumpuni. 

Kemampuan lobbying di pusat tidak dapat diragukan lagi. Buktinya LIN sudah diperjuangkan selama 10 tahun oleh Gubernur sebelumnya, tetapi di zaman kepemimpinan mantan Kakor Brimob tersebutlah kebijakan tersebut berhasil ditindaklanjuti dan direalisasikan. Bahkan hanya dalam waktu kurang dari satu tahun sejak ia dilantik, Pemerintah Pusat melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan sudah mengambil langkah-langkah strategis mempercepat realisasi program LIN di Maluku.

Disitulah kekuatan Murad Ismail sebagai seorang pemimpin politik. Salah satu modal politik terbesar yang dimiliki Gubernur Maluku ke-13 itu adalah networking yang kuat di pusat. Tingkat pergaulannya di kancah nasional yang luas membuatnya memiliki jejaring sosial yang tidak diragukan lagi. 

Alfan Alfian (2009) dalam bukunya “Menjadi Pemimpin Politik” menekankan pentingnya jejaring sosial dalam sebuah proses kepemimpinan. Dengan kata lain, pemimpin politik otentik tidak cukup hanya diukur dari kemampuan berbicara dan kapasitas intelektualnya tetapi juga kemampuan membangun jaringan yang luas. Sebab hal itu akan sangat membantu proses kepemimpinan. 

Pendapat ini inheren dengan gaya kepemimpinan Murad Ismail yang mengedepankan politik diplomasi melalui relasi yang ada dan bukan politik retorik yang lebih mengedepankan ‘kata’ sehingga boleh dikata ia adalah pemimpin otentik.

Pertanyaan kritisnya adalah, Mengapa Gubernur Maluku begitu progresif bahkan mungkin agresif dalam memperjuangkan LIN di Maluku?” Tentu karena ia menyadari bahwa jika dalam kacamata Jakarta LIN memang adalah kebijakan skala nasional namun dalam perspektif orang Maluku, ia lebih kepada upaya mengembalikan orang Maluku kepada cosmosnya sebagai manusia sea-island (laut-pulau) yang memandang laut sebagai ruang hidup dan tempat beraktivitas, dan pulau sebagai tempat beristirahat. 

Atau jika LIN dalam cara pandang Pemerintah Pusat mungkin hanya sebatas membangun industri perikanan modern di Pulau Ambon dalam rangka mengelola 4,6 juta ton produksi perikanan Maluku/tahun untuk aktivitas ekspor perikanan guna menambah devisa Negara, maka dalam rasio orang Maluku ia merupakan cara ampuh menyelamatkan 322.400 jiwa penduduk miskin dari 1,8 juta penduduk Maluku. Singkatnya LIN adalah keadilan distributif Negara yang mampu mengeluarkan Maluku dari keterisolasian sosial yang akut.

Sebuah Otokritik

Baca Juga  Pelauw yang Eksotis juga ‘Mistis’, Lahirkan Banyak Pejabat dan Intelektual

Publik Maluku terutama masyarakat nelayan dan pelaku usaha perikanan patut berbangga karena LIN dengan metode pengelolaan perikanan berbasis industri ekstraktif yang terkonsentrasi di Ambon New Port akan dibangun dalam waktu dekat. Tentu ini sebuah angin segar yang sedang bertiup sepoi-sepoi dari ufuk barat berkat perjuangan Gubernur Maluku, Murad Ismail. 

Hanya saja terdapat beberapa argumentasi fundamen terkait LIN yang perlu diperhatikan antara lain: Pertama, dalam mendorong sebuah kebijakan publik yang fokus pada welfare oriented di Maluku apalagi kebijakan sekelas LIN, penting sekali diperhatikan aspek Kepulauan (Archipelago) sebagai faktor geopolitik dan geostrategis yang akan sangat berdampak bagi jalannya kebijakan tersebut. 

LIN sedang diarahkan masuk ke sebuah provinsi di Kawasan Timur Indonesia yang sebagian besar wilayahnya adalah lautan (sekitar 92,4%) sisanya adalah daratan (sekitar 7,6%) memiliki 1.450 pulau dan hanya terdapat 4 pulau besar (Pulau Seram, Pulau Buru, Pulau Yamdena dan Pulau Wetar), selebihnya adalah pulau kecil dengan ukuran dibawah 2000 Km2, untuk itu maka kebijakan ini perlu dilihat dalam konteks island based justice (keadilan berbasis pulau) yaitu pulau-pulau yang potensi perikanannya menjanjikan mestinya dijadikan fokus daripada LIN. Apabila LIN tetap di setting untuk sentralistik di pulau Ambon, maka sama saja Pemerintah sedang menegasikan kemiskinan multidimensional di Maluku.

Kedua, sejak awal kebijakan LIN ini dirancang berbasis WPP. Jika itu pilihannya, mestinya Kepulauan Aru dipertimbangkan untuk dijadikan sentra industri LIN sebab wilayah ini berada di WPP 718 dengan produksi perikanan sebesar 2,6 juta ton/tahun atau yang paling potensial dari 11 WPP yang ada di Indonesia. Perairan ini sejak dulu sudah menjadi ruang eksploitasi perikanan yang paling subur, bahkan disematkan sebagai Kota di Tengah Laut saat malam hari. Di Kepulauan Aru juga pernah berdiri PT. Pusaka Benjina Resources (PBR) milik Thailand sebagai sebuah perusahaan ikan terbesar di Indonesia pada zamannya. 

Dalam Kabar Bahari edisi ke-25 pada Mei-Juni 2018 tentang Pengalaman Pekerja Perikanan di Atas Kapal Penangkapan Ikan dijelaskan bahwa pada tahun 2011 nilai ekspor perikanan Thailand dari hasil eksploitasi perikanan di WPP 718 melalui PT. PBR sebesar USD 7 Miliar atau setara Rp. 105 Triliun, lebih besar dari ekspor perikanan Indonesia pada Maret 2020 yang hanya mencapai USD 1,24 Miliar atau Rp. 15 Triliun lebih. Dengan kondisi itu mestinya Kepulauan Aru masuk dalam skenario prioritas LIN dan bekas bangunan PT. PBR diubah dan dinasionalisasi menjadi pangkalan maritim untuk LIN.

Ketiga, apabila wilayah Negeri Waai dan Tulehu tetap diprioritaskan menjadi Ambon New Port untuk industri perikanannya dalam rangka aktivitas produksi dan ekspor perikanan, maka wilayah Kepulauan Aru dapat dipertimbangkan menjadi Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT) untuk mensuport aktivitas industri perikanan di wilayah pulau Ambon. Sehingga Ambon New Port sebagai sentra LIN selain untuk aktivitas produksi dan ekspor perikanan, juga dapat mentrigger ekonomi maritim di wilayah pulau Ambon, Pulau-Pulau Lease, Pulau Seram hingga Pulau Buru.

Sementara SKPT yang dikembangkan di Kepulauan Aru dapat mentrigger ekonomi maritim di wilayah Kepulauan Aru, Kepulauan Kei, Kepulauan Tanimbar dan Maluku Barat Daya. Dengan skenario pengembangan LIN seperti itu maka semua wilayah di Maluku pasti merasakan dampak multiplier effect dari kebijakan LIN itu sendiri dan kemiskinan dapat diretas sebagai hasil dari meningkatkan pendapatan perkapita masyarakat, khususnya nelayan tradisional.

Keempat, Perairan Maluku, secara khusus perairan Aru sampai Arafura hingga saat ini masih menjadi ruang yang paling subur bagi praktek Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing (IUU Fishing), oleh sebab itu sangat diharapkan agar LIN dapat menjadi momentum bagi berkurangnya praktek kejahatan perikanan itu sebab sangat merugikan Maluku.

Kelima, meskipun secara makro nelayan kecil adalah penyangga devisa negara dari sektor perikanan, namun mereka dimana saja termasuk di Maluku selalu menjadi subordinasi politik ekonomi kaum kuat-kuasa di dunia perikanan. Karena itu dalam rangka memaksimalkan LIN terutama untuk kemaslahatan nelayan kecil maka terdapat lima kebutuhan dasar nelayan yang harus dipenuhi oleh pemerintah adalah: (a) akses permodalan, (b) bantuan kapal dan alat tangkap ikan, (c) kemudahan perizinan melalui penyederhanaan perizinan, (d) asuransi nelayan, dan (e) sarana dan prasarana untuk meningkatkan produktivitas nelayan, salah satunya menurunkan biaya logistik perikanan.

Epilog

Baca Juga  Suara Milenial: Murad Ismail, Gubernur Peduli Pengembangan Startup Digital di Daerahnya

Akhirnya pada titik klimaks kita perlu mengapresiasi langkah dan perjuangan Gubernur Maluku, Murad Ismail, meski diterpa badai kritik yang kencang tetapi perlahan ia mampu mengejawantahkan gagasan menjadikan Maluku sebagai Lumbung Ikan Nasional (LIN) setelah 10 tahun menanti Jakarta merealisasikan janjinya. Semua itu merupakan buah dari kegelisahan eksistensialnya yang kuat terhadap pengembangan sektor perikanan di Maluku. 

Karena kegelisahannya itu beliau sampai-sampai harus berhadap-hadapan dengan mantan Menteri KKP, Susi Pudjiastuti dalam sikap “Perang”nya. Sungguh merupakan suatu pemandangan yang baru pernah terjadi sebab sebelumnya tak pernah ada pemimpin bernyali seperti beliau. Mungkin karena cara setiap pemimpin itu berbeda. Semua itu beliau lakukan hanya demi Maluku yang kerap membuatnya gelisah. Itulah sisi otentisitas Murad Ismail.

Kita berharap LIN yang akan dijalankan sedapat mungkin mempertimbangkan aspek keadilan berbasis pulau sehingga wilayah yang potensi perikanannya besar meskipun jauh dari pulau Ambon tetap mendapatkan sentuhan kebijakan LIN. Sebab jika tidak, maka LIN hanya akan menjadi arena mengumpulkan pundi-pundi ekonomi elit kapital saja. Namun publik Maluku yakin haqqul yakin semua hal pasti dipertimbangkan Gubernur Maluku demi kebaikan masyarakat.

Ia mungkin tak pandai berbicara, tetapi ia hebat dalam diplomasi politik untuk menghadirkan kemaslahatan publik. Dalam kepelbagaian kurang lebihnya, apapun itu, beliau patut didukung khususnya dalam hal ikhwal LIN.

Semoga kita semua dapat belajar dari kurang lebihnya Gubernur Murad Ismail. Sebab sebagai manusia biasa, beliau tak luput dari salah dan kekeliruan termasuk dalam hal mengurusi kepentingan publik. Selamat bertugas Jenderal, engkau masih punya 3 tahun lagi untuk menabur jutaan kebaikan. Hormateeee!

Collin Leppuy, adalah intelektual muda Maluku, aktif dalam berbagai advokasi dan pendampingan persoalan lingkungan dan kelatuan. Tulisan ini untuk turut menandai 2 Tahun Kepemimpinan Gubernur Murad Ismail