Sejarah Lahirnya Kota Ambon: Anomali Kelahiran Kotaku

0
3844
Kondisi Benteng Victoria 1605 pasca pendudukan Belanda Foto : Arsip Balai Pelestarian Nilai Budaya Ambon

“Merujuk pada dua momentum yang berbeda baik tanggal maupun tahun kelahiran kota Ambon, tentu saja keotentikan sejarahnya perlu ditinjau kembali.”

Oleh : M. Azis Tunny

Pada kenyataannya, fakta tentang kelahiran Ambon yang dilegitimasi sekelompok intelektual dalam forum akedimis Universitas Pattimura (Universitas Pattimura) tahun 1972, adalah sebuah penyimpangan sejarah yang dilakukan secara sadar karena menetapkan 7 September sebagai hari ulang tahun kota Ambon.

Sejarawan dan para intelektual Maluku bersepakat bahwa peristiwa dibangunnya benteng Portugis “Nossa Senhora de Anunciada” menjadi cikal bakal berdirinya kota Ambon. Benteng yang kini dikenal dengan nama Nieuw Victoria itu menjadi entitas yang mengawali tapak sejarah Ambon. Lebih dari empat abad lamanya.

Sebagai benteng Portugis yang kental dengan tradisi Katolik, panglima armada Portugis di Maluku, Sancho de Vasconcelos, memilih tanggal peletakan batu pertama benteng bertepatan dengan “pesta anunsiasi” yang dalam tradisi Katolik diperingati sebagai Hari Acunciada, saat dimana Maria diberi kabar suka-cita oleh malaikat Gabriel tentang kelahiran Yesus. Benteng ini lantas diberi nama sesuai peringatan liturgis itu “Nossa Senhora de Anunciada”, atau dapat diartikan “Benteng Bunda Kita yang Diwartakan Kabar Gembira.”.

Bukan tanpa alasan Portugis memilih 25 Maret untuk pembangunan Benteng Anunciada. Dalam antropologi bangsa yang tunduk kepada Kepausan Roma itu, filsafat sosiologi Portugis tak bisa dilepas-pisahkan dari spritualitas Kekatolikan.

Antropologi populer menyatu dalam filsafat sosial ini, “Jika bukan Tuhan yang membangun rumah sia-sialah orang membangunnya”. Keyakinan antropologis tersebut begitu nyata dalam praktik kaum Portugis menyelaraskan pembangunan pada perayaan-perayaan keagamaan.

Dasar antropologis ini nampak pula dalam pembangunan benteng-benteng lain di Maluku. Benteng João Bautista (St. John) dibangun tahun 1522 di Ternate dengan memilih hari perayaan St. Johanes Pembaptis yang jatuh pada 24 Juni. Oleh Panglima Ternate António de Britto, benteng ini disebut Nossa Senhora del Rosario (Benteng Ratu Rosario), yang kelak menjadi Benteng São Paolo.

Baca Juga  Mena Muria: Hantu RMS vs Blok Masela

Portugis mendirikan benteng Dos Reis Magos (Tiga Raja atau Majus Bijaksana) di Tidore pada 6 Januari 1576 mengikuti perayaan liturgis “Tiga Raja dari Timur Mengunjungi Bayi Yesus di Betlehem.” Pesta ini jatuh pada 6 Januari. Karenanya, dapat dipahami bahwa Portugis menempatkan hari berdirinya Nossa Senhora da Anunciada pada 25 Maret (1576) sebagai Hari Anunciada (H. Jacobs, 1974).

Pada kenyataannya, fakta tentang kelahiran Ambon yang dilegitimasi sekelompok intelektual dalam forum akedimis Universitas Pattimura (Universitas Pattimura) tahun 1972, adalah sebuah penyimpangan sejarah yang dilakukan secara sadar karena menetapkan 7 September sebagai hari ulang tahun kota Ambon.

Keputusan ini membuat Ambon sebagai satu-satunya kota di dunia yang kelahirannya begitu anomali. Tanggalnya diambil dari peristiwa yang berbeda dari tahunnya.

Kesalahan sejarah ini terjadi pada masa Walikota Ambon, Matheos H. Manuputty (Walikota Ambon ke-9) yang membentuk dan mengangkat panitia khusus sejarah kota Ambon dengan tugas menggali dan menentukan hari lahir kota Ambon.

Seminar ini lantas dimotori Fakultas Keguruan Unpatti pada 14 hingga 17 Nopember 1972, dengan ketua Drs. John Sitanala (Dekan Fakultas Keguruan Unpatti), wakil ketua Drs. John A. Pattikayhatu (Ketua Jurusan Sejarah Unpatti), dan Sekretaris Drs. Z. J. Latupapua (Sekretaris Fakultas Keguruan Unpatti).

Seminar lalu menetapkan hari lahir kota Ambon jatuh pada 7 September 1575. Untuk pertama kalinya HUT Kota Ambon diperingati pada 7 September 1973, setahun setelah seminar membuat keputusan itu. Tahun 1575 diambil sebagai patokan pendirian kota Ambon berdasarkan fakta-fakta sejarah yang dikemukakan dalam seminar bahwa pada tahun tersebut dimulainya pembangunan benteng “Kota Laha” di dataran Honipopu. Benteng Portugis yang bernama asli “Nossa Senhora de Anunciada”.

Sedangkan penetapan 7 September didasari peninjauan sejarah bahwa pada 7 September 1921, masyarakat Ambon diberikan hak yang sama dengan Pemerintah Kolonial Belanda, untuk menentukan jalannya Pemerintahan Kota melalui wakil-wakilnya di Gemeeteraad (Dewan Kota) berdasarkan keputusan Gubernur Jenderal pada 7 September 1921 (Staatblad 92 Nomor 524) yang mengartikulasi kemandirian kota Ambon. Dari sini kemudian ditetapkan sebagai hari berdirinya kota Ambon.

Baca Juga  Mengenang 20 Tahun ‘Pawai Damai’ Pemuda Islam dan Kristen dari Hatuhaha Sebagai Martir Perdamaian Maluku

Dokumen Portugis dan Gereja Katolik menunjukkan fakta lain, yang justru menyajikan bukti historis sekaligus memvalidasi hari bersejarah Ambon. Surat Kapten Estevão Teixeira de Macedo tertanggal 2 Juni 1601 perihal berdirinya kota yang juga disebut Cidade de Amboino (Kota Amboina atau Ambon). De Macedo adalah Kapten “Nossa Senhora da Anunciada” sebelum kapten terakhir Gaspar de Melo yang menyerahkan benteng ini kepada Belanda tahun 1605 karena kalah perang.

Dalam surat yang tersimpan di Saville (Spanyol) itu, de Macedo menulis bahwa entitas awal kota Amboina adalah pada 25 Maret 1576, ketika batu pertama “Nossa Senhora da Anunciada” diletakkan di tepi teluk bernama Honipopu. Saksi mata abad ke-17 dan ke-18, baik Rumphius, Valentijn dan Rijali, menyebutkan, penduduk pulau Ambon ketika itu lebih mengenal Benteng Portugis itu dengan sebutan “Kota Laha” yang berarti benteng (kota) di teluk (laha).

Merujuk pada dua momentum yang berbeda baik tanggal maupun tahun kelahiran kota Ambon, tentu saja keotentikan sejarahnya perlu ditinjau kembali.

Hasil keputusan seminar buah pikir manusia tentu masih bisa dirubah, mengingat sifatnya tidak final. Sejarah yang nantinya kita wariskan kepada anak-cucu sebaiknya sebuah kebenaran, bukan rekayasa dan pemutar-balikan fakta.

Otentitas sejarah yang bebas nilai dan kepentingan sangatlah penting, bukan saja pada tataran teoritis dan pertanggungjawaban intelektualitas, tapi juga pemaknaan dan aktualisasinya.

Kebohongan sejarah yang telah kita ketahui bersama sudah saatnya memunculkan kesadaran kritis secara kolektif untuk mengoreksinya. Bukan membiarkan, apalagi mengakuinya sebagai sebuah kebenaran.

Masa lalu tentu memiliki pengaruh besar terhadap peradaban manusia hari ini. Sejarah tentang masa lalu merupakan tolok ukur dari eksistensi manusia. Tanpa sejarah, kehidupan tidak akan berkembang dan maju. Melalui sejarah masa lalu, manusia akan lebih dapat memahami keberadaannya.

Baca Juga  Tentara Maluku Pemberani Hingga Ke Perang Korea

Filsuf Jerman Georg Gadamer yang terkenal dengan karyanya Kebenaran dan Metode (Wahrheit und Methode) menegaskan, masa lalu sebagai arus bagi manusia bergerak dan berpartisipasi dalam setiap tindakan pemahaman. Pemahaman tersebut dapat diartikan pemahaman dalam arti luas, seperti pemahaman sebagai makhluk berbudaya yang memiliki cara pikir dalam menangkap segala peristiwa.

Bila manusia kehilangan sejarahnya, maka manusia itu tidak memiliki pemahaman mengenai dirinya. Sejarawan Arthur Marwick menyebutkan kelompok masyarakat tersebut akan mengambang tanpa memiliki pengetahuan diri.

Penulis Rusia, Marxim Gorki menegaskan “the people must know their history”. Mengapa kita berbicara tentang sejarah? Jawabnya, karena sejarah menentukan pemahaman mengenai keberadaan dan perkembangan kita.

Lalu, bagaimana dengan keberadaan sejarah kita yang sementara menjadi menghuni kota bernama Ambon ini? Kalau sejarah awalnya sudah menyimpang, bagaimana kita bisa menulis sejarah Ambon secara benar setelah itu?

Saran penulis untuk kita meluruskan sejarah kelahiran kota Ambon yang anomali ini adalah dengan tidak merayakan atau memperingati HUT Ambon tanggal 7 September, bukan saja tahun ini tetapi juga pada tahun-tahun mendatang. Pemerintah Ambon sudah saatnya menggali kembali fakta dan kebenaran sejarah dengan tidak membiarkan sebuah kesalahan melegitimasi hakekat dari keberadaan kota manise ini. 

Penulis adalah Direktur Lembaga Studi Politik dan Demokrasi (LSPD)