Hariman A. Pattianakotta
“Tak ada kawan dan lawan abadi. Yang abadi adalah kepentingan.” Adagium ini sudah akrab, dan kerap diperbincangkan menjelang hajatan politik.
Kepentingan dalam politik tidaklah tunggal. Tentu, ada kepentingan yang lebih besar, yang disebut sebagai kepentingan nasional. Para politisi dan partai politik kerap menyampaikan hal ini sebagai prioritas mereka.
Namun, ada pula kepentingan partai. Setiap partai ingin jagoannya mendapatkan kursi kekuasaan, baik di legislatif maupun eksekutif. Kekuasaan mempunyai kewenangan untuk membuat regulasi, menetapkan kebijakan, mengatur kehidupan bermasyarakat, juga mengelola anggaran.
Kekuasaan membuka ruang bagi berbagai sumber kemakmuran dan kesejahteraan. Karena itu, selain kepentingan partai, tentu ada juga kepentingan golongan dan pribadi. Kalau seorang bapak atau ibu sudah merasakan nikmatnya menjadi pejabat, maka mereka juga mengharapkan anaknya atau kerabatnya juga bisa menjadi pejabat.
Lumrah sekali. Sama seperti seorang ayah atau ibu yang menjadi tentara atau dokter, mereka juga mendambakan hal yang sama bagi anak-anak mereka. Dari hal yang tampak “natural” ini, kita kemudian mengenal istilah dinasti politik dan politik dinasti.
Di Indonesia, politik dinasti dan dinasti politik tampaknya sulit untuk kita abaikan. Menjadi anak seorang Megawati, Surya Paloh, Susilo Bambang Yudhoyono, atau Joko Widodo tentu memiliki privilege tersendiri. Wajar saja kalau banyak panggung (politik) terbuka lebar bagi mereka.
Soalnya adalah apakah anak-anak para tokoh ini sungguh mumpuni untuk mengurus bangsa ini? Kapasitas, integritas, dan rekam jejak mereka apakah cukup untuk sebuah jabatan politik tertentu? Tentu, pertanyaan ini juga berlaku untuk semua orang yang hendak mencari kursi kekuasaan dan jabatan.
Lalu, rakyat Indonesialah yang akan memutuskan hal tersebut dalam Pemilu serentak nanti. Dan semoga rakyat Indonesia tidak salah pilih, sebab masa depan bangsa yang sedang dipertaruhkan di balik bilik suara itu!
Etika, Hati Nurani, dan Politik
Di tengah situasi politik yang kian menghangat, serta komunikasi politik yang semakin intens menerabas sekat-sekat ideologi politik, menarik untuk kita suarakan kembali etika dan hati nurani.
Hal ini tetap penting, supaya politisi dan partai politik tidak terlalu obsesif dengan kekuasaan, hingga tidak lagi mempertimbangkan etika dan hati nurani.
Etika itu ilmu atau filsafat moral yang memandu manusia untuk menjadikan kekuasaan sebagai sarana pelayanan. Ada etika teleologis yang menjadikan pencapaian tujuan sebagai ukuran bahwa sebuah tindakan itu baik dan benar. Dari perspektif ini, tujuan tidak boleh menghalalkan segala cara.
Ada pula etika deontologis, yang menakar sebuah tindakan sebagai benar atau baik karena sesuai dengan kewajiban. Menghormati orang yang lebih tua itu sudah sebuah keharusan atau kewajiban, karena ajarannya begitu. Perspektif ini sangat menekankan aturan, dan aturan itu ada untuk kehidupan.
Selain itu, ada juga etika tanggung jawab. Sebuah tindakan disebut benar dan baik, ditentukan oleh kesadaran akan tanggung jawab. Tanggungjawab ini ada bukan karena aturan, tetapi didorong oleh kelurahan budi mengambil peran dan tanggung jawab dalam suatu konteks tertentu.
Dalam kaitan itu, maka hati nurani memiliki peranan penting. Walaupun, hati nurani sangat subjektif, dan subjektivitas itu dipengaruhi juga oleh banyak faktor dalam kehidupan sosial.
Namun, secara personal kita tidak pernah bisa membohongi hati nurani, yang selalu berbisik lembut di kedalaman nurani untuk sebuah peran dan tanggung jawab. Sama seperti kita tidak bisa membohongi Tuhan, sebab Gusti ora sare. Kita selalu ada di hadapan-Nya. Coram Deo. Dan karena itu, kita dibimbing oleh nurani yang bening, bukan ambisi yang membuat kita menghalalkan segala cara.
Politik harus diterangi oleh hati nurani. Saat lobi-lobi intens terjadi, saat tawar-menawar gencar dilakukan; ketika kalkulasi menang kalah dihitung dengan cermat, hati nurani jangan dilupakan.
Untuk apa dan demi siapa perjuangan politik itu dilakukan? Apakah para politisi hendak meneruskan pembangunan nasional untuk keadilan dan kesejahteraan semua dan demi utuhnya bangsa ini? Atau, hanya untuk mendapatkan kursi kekuasaan, atau membangun dinasti, kroni, dan memburu rente?
Wajar saja kalau kita yang terjun ke politik memiliki tujuan-tujuan personal. Bagus saja kalau partai politik juga ingin meraih banyak kursi. Dan memang lingkaran kekuasaan itu memberikan privilege dan kemudahan. Namun, semoga semua itu diterangi oleh nurani dan tanggung jawab untuk berbuat lebih demi Indonesia maju, adil, dan sejahtera.
Dan, mari kita jalani tahun-tahun politik ini dengan gembira. Bagi kita masyarakat Indonesia, hendaklah kita terus mengingat bahwa tidak ada kawan atau lawan yang abadi dalam politik. Jangan mereka yang berebut kuasa, lalu kita yang marah-marah.
Masa depan Indonesia yang harus kita rawat, dan hal itu memerlukan pemimpin yang tepat. Agar kita tepat dalam memilih, peliharalah akal sehat dan hati nurani, dan jalani musim politik ini dengan gembira. Siapapun yang terpilih nanti, kita tetap bersahabat dan bersaudara!
Santuy saja, bro and sis!
Penulis adalah pendeta dan pengajar di Universitas Kristen Maranatha, aktif di Komunitas Penulis Maluku