Oleh: Supriy Makatita
Pada awal kepemimpinan sebagai presiden, Jokowi menggembar-gemborkan revolusi mental. Bahkan sampai dibuat situs atau laman khusus mengenai langkah dan contoh nyata revolusi mental.
Padahal soal revolusi mental ini adalah bicara soal kesadaran dan kedisiplinan. Tak perlu urusan yang berat-berat dahulu, bisa dimulai dari keseharian dan terkait dengan kebiasaan yang sering dilakukan, misalnya dengan tidak buang sampah sembarangan.
Nah, soal sampah menjadi menarik diulas, karena merata di sejumlah wilayah dan menjadi persoalan serius. Tengok saja sungai, pantai dan di beberapa titik jalanan Kota Ambon, sampah bertebaran di mana-mana. Meski di sekolah-sekolah diajarkan agar tidak boleh membuang sampah sembarangan.
Lalu bagaimana persampahan di Kota Ambon saat ini? Setidaknya itu dapat dibaca dalam salah satu program prioritas PJ Walikota Ambon Bodewin Wattimena tentang “Peningkatan pengelolaan persampahan dan kualitas lingkungan”.
Berdasarkan salah satu program prioritas di atas tampaknya PJ Walikota Ambon Bodewin Wattimena, benar-benar serius dengan urusan persampahan. namun apakah betul seperti itu?
Mari kita tengok realitas di lapangan pada sejumlah jalanan di Kota Ambon dan sekitarnya, nampak dan sangat nyata bahwa sampah bagaikan perjamuan bagi warga kota saat beraktivitas.
Lantas siapakah yang patut disalahkan, pemerintah atau masyarakat yang tak punya kesadaran akan bahayanya sampah. Dalam konteks ini dua kelompok di atas sama-sama bisa disalahkan.
Tetapi menjadi lain, jika pertanyaannya adalah siapa yang harus bertanggung jawab, tentu dalam konteks ini adalah Pemerintah Kota (pemkot) Ambon, khususnya PJ Walikota Ambon.
Jika PJ Walikota atau Pemkot Ambon berdalih bahwa banyaknya sampah bertebaran di beberapa titik Kota Ambon disebabkan karena tak adanya kesadaran masyarakat dalam membuang sampah pada tempatnya, maka tempat mana yang layak agar masyarakat dapat membuang sampah?
Sudahkah Pemkot Ambon melakukan survei dan peninjauan ke tempat yang layak untuk pembuangan sampah sementara?
Selain itu, sudahkah Pemkot Ambon membentuk program kolaborasi dengan media massa, kelompok masyarakat, lembaga adat dan kelompok agama dalam penanganan sampah, sebagai instrumen dan stimulus berjalannya program prioritas PJ Walikota Ambon Bodewin Wattimena.
Sepertinya Pemkot Ambon tak punya peta jalan penanganan sampah yang efektif. Dengan kata lain PJ Walikota Ambon hanya bisa memunculkan ide tapi tak mampu ejawantahkan dalam penanganan sampah yang bertebaran dan mencemari kota.
Sehingga, wajar jika sampai saat ini masalah sampah seperti misteri yang tak dapat dipecahkan. Belum lagi kabar yang beredar bahwa Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Passo adalah lahan kontrak yang belum dibayar upah kontraknya hingga akhirnya sampah sampah tak diangkut ke TPA.
Jadi ada kemungkinan bahwa sampah sampah yang menumpuk bagaikan bukit di Tempat Pembuangan Sampah Sementara (TPS) sengaja dibiarkan.
Terlepas betul dan tidaknya berita di atas, intinya ide PJ Walikota Ambon Bodewin Wattimena dalam program prioritas “peningkatan pengelolaan persampahan dan kualitas lingkungan”, adalah ide yang bisa pula dibilang sebagai sampah.
Penulis adalah aktivis GMNI Kota Ambon