Oleh: M. Kashai Ramdhani Pelupessy
Tulisan ini adalah sebuah refleksi minor tentang fenomena para akademisi di Maluku saat ini. Sebagai refleksi dan merupakan kritik-membangun demi kemajuan Maluku di masa mendatang.
Kalau bicara tentang Maluku ke depan, maka yang harus kita perhatikan adalah fenomena para akademisi di Maluku sekarang ini.
Hal itu karena para akademisi memiliki peran penting bagi kondisi Maluku di tahun ke-20, ke-50 atau bahkan ke-100 tahun mendatang. “Sejarah tak pernah mengkhianati masa lalu”, begitulah kira-kira kredo para sejarawan.
Bahwa apapun yang terjadi di masa depan adalah sangat tergantung pada realitas (para akademisi) yang ada dan eksis sekarang ini.
Realitas yang akan saya bicarakan dalam kesempatan ini adalah tentang potret akademisi di Maluku sekarang ini, dan bagaimana hasil amatan saya ini dapat berimplikasi pada renungan bersama menatap Maluku di masa mendatang.
Sungguh benar yang dikatakan Prof. Nugroho dalam pidato pengukuhan guru besarnya tahun 2012 lalu di UGM. Beliau menjelaskan tentang fenomena banalitas intelektual yang dilakukan oleh hampir sebagian besar para akademisi di tanah air (tanpa terkecuali juga adalah para akademisi di Maluku).
Secara generik, banalitas berarti merosotnya refleksi seseorang atas kejahatan yang telah ia lakukan sendiri. Di dunia akademik, banalitas intelektual adalah kejahatan intelektual yang dilakukan oleh seorang akademisi tanpa ia menyadari bahwa dirinya telah bertindak jahat.
Anehnya, para akademisi ini merasa puas sekaligus bahagia atas tindakan banalitasnya tersebut. Entah perbuatannya masuk kategori benar atau salah secara moral, yang paling penting adalah ia memperoleh kepuasan/kebahagiaan.
Dalam hal itu, falsafah hidup para akademisi yang bertindak banal adalah selalu berpijak pada falsafah utilitarian. Falsafah ini memiliki prinsip bahwa tindakan yang dapat dikatakan benar secara moral apabila menghasilkan kebahagiaan terbesar.
Kymlicka (2004) menjelaskan bahwa perbuatan seseorang yang bertolak dari prinsip utilitarian adalah akan selalu mengejar pemuasan hedonistik semata. Dengan kata lain, para akademisi yang selalu bertindak banalitas intelektual adalah tujuannya untuk pemuasan hedonistik saja.
Tindakan para akademisi seperti itu yang menurut Prof. Nugroho berimplikasi pada merosotnya kualitas akademik dan kualitas intelektual. Merosotnya kualitas akademik ditandai dengan rendahnya penguasaan atas ilmu yang digelutinya sendiri.
Dengan kata lain merosotnya kualitas intelektual adalah rendahnya komitmen untuk mengembangkan bidang keilmuannya.
Fenomena tersebut, menurut saya, terjadi juga pada para akademisi di Maluku sekarang ini. Munculnya fenomena banalitas intelektual ini bukanlah sesuatu yang ‘taken for granted’ (langsung jadi), melainkan tindakan itu muncul dilatarbelakangi beberapa sebab.
Menurut saya, satu hal yang tak bisa dikesampingkan adalah rendahnya kemakmuran ekonomistik yang dirasakan para akademisi sehingga berdampak pada munculnya tindakan banalitas intelektual.
Remunerasi yang diperoleh para akademisi sejauh ini masih sangat rendah dibanding kewajibannya melaksanakan Tri Dharma yang diembannya. Para akademisi diwajibkan untuk mengajar, meneliti, dan mengabdi, ini semua dilakukan tidak sebanding dengan upah yang diperolehnya.
Untuk mengajar, para akademisi harus menyusun RPS, mencari referensi-referensi relevan, bila perlu harus mengeluarkan uang pribadi untuk membeli buku jika belum tersedia di perpustakaan kampus demi kelancaran proses perkuliahan.
Belum lagi, para akademisi harus begadang sampai tengah malam untuk menulis buku ajar, menyiapkan bahan ajar dan lain sebagainya. Semua ini dilakukan demi mengejar keterpenuhan syarat administratif untuk naik pangkat.
Upah jabatan lektor pun tidaklah seberapa, hanya naik ratusan ribu di atas tunjangan Asisten Ahli. Padahal, para akademisi sudah mengeluarkan banyak tenaga, begadang sampai tengah malam, namun tingkat kemakmuran ekonomistik yang diperoleh belum sebanding dengan kerja kerasnya.
Fakta itu baru dari segi mengajar saja, belum lagi dari segi meneliti dan juga mengabdi. Akibatnya, para akademisi bertindak banal dengan cara mencari suaka di luar dunia akademiknya lewat profesinya sebagai seorang “ilmuwan”.
Saya melihat di Maluku, para akademisi masih jauh dari istilah “ilmuwan sejati”. Para akademisi di Maluku, kasarannya, mungkin bisa dijuluki sebagai “ilmuwan administratif”. Saya pun sebagai seorang akademisi merasakan juga terjebak ke dalam julukan tersebut.
Akademisi di Maluku belum memiliki komitmen kuat mengembangkan disiplin keilmuannya sendiri sesuai konteks ke-Maluku-an. Dalam berbagai riset yang dilakukan para akademisi Maluku masih tampak inferior merumuskan ‘grand theory’ nya sendiri.
Hal ini senada dengan sindiran sinis yang diungkapkan Clifford Geertz dan Ignas Kleden bahwa ilmuwan Indonesia (adalah juga Maluku) masih bergantung pada teori-teori besar dari barat.
Di Maluku, para akademisi belum punya kecakapan memproduksi teori-teori besarnya sendiri sesuai bidang keilmuannya. Hal ini disebabkan oleh durasi penelitian yang diberikan kepada para akademisi terlampau singkat.
Jika penelitian para akademisi di danai oleh funding tertentu, maka para akademisi harus melakukan kerja-kerja penelitiannya sembari mengejar durasi yang dipatok di dalam Juknis.
Belum lagi, instansi perguruan tinggi hanya memberi izin melakukan penelitian hanya satu bulan, karena sebagian akademisi niatnya melakukan penelitian tapi faktanya adalah rekreasi, jalan-jalan bersama keluarga, dan lain-lain.
Hal ini merupakan fenomena rendahnya komitmen terhadap pengembangan ilmu pengetahuan sesuai bidang keilmuan yang digeluti para akademisi sendiri.
Akibatnya, hasil-hasil penelitian para akademisi Maluku dipenuhi dengan pengulangan-pengulangan teori-teori yang sudah mapan (teori Barat) dan minimnya produksi teori-teori besar sesuai konteks ke-Maluku-an.
Selain itu, para akademisi di Maluku juga dapat dijuluki sebagaimana istilah A. J. Adinda adalah “intelektual pamer”. Para akademisi di Maluku lebih senang jika diundang oleh media entah koran, televisi, atau kanal YouTube tertentu untuk menjadi pembicara.
Oleh media-media itu, para akademisi dimintai pendapat sehingga argumentasinya seolah-olah terkesan sebagai seorang “ahli”. Lewat media-media tersebut, akhirnya para akademisi menjadi terkenal sehingga diangkat menjadi konsultan, staf ahli, panitia seleksi pada badan pemerintah tertentu,
Bahkan ada juga yang beralih menjadi birokrat. Disinilah membuktikan bahwa para akademisi, termasuk Maluku masih belum kuat konsistensinya mengemban tanggung jawab intelektualnya.
Realitas tersebut tak bisa kita pungkiri begitu saja, wajar karena tingkat kemakmuran ekonomistik yang diperoleh para akademisi yang rendah, mendorongnya mencari suaka di luar dunia akademiknya sendiri.
Di dunia akademik, para akademisi Maluku senang pada pertarungan jabatan struktural yang lebih prestisius seperti menjadi rektor, dekan, wakil dekan.
Dibanding menjadi kepala pusat studi atau kepala lembaga penelitian yang concern mengembangkan ilmu pengetahuan sesuai konteks ke-Maluku-an.
Pertarungan menduduki jabatan struktural lebih penting dibanding komitmen dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Bagi saya, pertarungan jabatan di dunia akademik tak bisa kita lihat dengan sebelah mata, karena realitas tersebut memang penting adanya.
Jika tidak ada orang yang menduduki jabatan rektor, dekan dan seterusnya, lantas bagaimana dengan tanggung jawab meningkatkan kualitas perguruan tinggi di Maluku pada masa mendatang (?).
Jadi, pertarungan itu memang penting, namun juga harus diimbangi dengan komitmen mengembangkan ilmu pengetahuan sesuai konteks ke-Maluku-an.
Itulah potret singkat realitas akademisi di Maluku sekarang ini. Karena tulisan ini merupakan refleksi minor, maka yang saya potretkan semoga dapat menjadi renungan bersama.
Jika realitas para akademisi di Maluku seperti itu, maka apakah realitas tersebut dapat menjadi titik pijak kita melihat kemajuan Maluku di masa mendatang? Jawaban ini kembali kepada Anda sendiri. Sekian.
Penulis adalah peneliti di Pusat Studi Masyarakat Kepulauan IAIN Ambon