“Kaskadu” Itu Tidak Penting, Kalau untuk Membangun Fokus Beri Kritik Konstruktif

0
1992

“Saya sendiri menulis “Kaskadu” selalu menggunakan tanda kutip, agar kita paham kata ini kemungkinan merupakan serapan Bahasa Portugis,..”

Oleh: Arman Kalean

Fokuslah kritik konstruktif untuk membangun, bila Anda berdiri pada ruang Gerakan Moral maka seriuslah di situ. Lain jika Anda mencebur diri pada Gerakan Politik, tentu pendekatannya akan berbeda pula.

Lalu bagaimana jika Anda memilih dua sayap sekaligus, gerakan moral dan gerakan politik?

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, saya teringat salah satu pemikir yang cukup dikenal luas soal Etika, dialah K. Bertens. Untuk memahami Bertens, berikut ini, mari kita lihat ilustrasi potongan Sampah di tengah jalan yang dipungut seseorang:

Pertama; seseorang tadi bergerak berdasarkan “shamed culture” (budaya malu), ia memungut potongan sampah itu karena teman-temannya melihat tindakannya yang mencintai kebersihan. Motivasinya karena ingin dilihat, ia malu kalau tidak mengangkatnya. 

Kedua; seseorang tadi benar-benar sudah terbiasa dari lingkungan keluarga dan lingkungan pendidikan untuk mencintai kebersihan, bergerak memungut sampah berdasarkan “guilty culture” (budaya nurani). Ia memungut sampah karena rasa bersalah, dan mungkin karena ajaran Agama tentang kebersihan sebagian dari iman, sehingga membiarkan sampah tergeletak sembarangan sama halnya dengan berdosa.

Kaitannya dengan pertanyaan sebelumnya, bila anda memilih sayap moral dan politik sekaligus, sebaiknya anda menggunakan prinsip kedua, yakni budaya nurani. Anda protes pada PPKM (faktor politik) karena banyak Pedagang Kecil yang dirasa tertindas (faktor moral). Setelah PPKM dibijaki dengan mekanisme tertentu atau ditiadakan misalnya, maka tugas moral anda selesai, sebab dalam perjuangan ini faktor politik muncul hanya jika bersentuhan dengan rakyat kecil. 

Andai meluas sampai “Kaskadu”, berarti sayap ini semakin berat sebelah, lebih banyak budaya malu ketimbang budaya nurani, sebab respon terhadap kata “Kaskadu” itu hanya membuka ruang baru bagi keberpihakan moral yang pertama, yakni hanya kepada pihak ketiga diluar anda, Pedagang Kecil yang tertindas. Merespon berlebihan “Kaskadu”, hanya lebih menaikkan tensi secara personal dari anda, bukan tensi kolektif kepada gerakan nurani yang harusnya sudah selesai.

Jadi “Kaskadu” itu tidak penting untuk dibahas, apalagi penggulingan kekuasaan di saat situasi masih berperang melawan Covid 19. Ibarat film-film action, di tengah peperangan melawan musuh, ternyata ada upaya kudeta dari dalam internal. Hal ini jelas tidak sehat, tuntutan semacam berhentikan Presiden atau Gubernur, sementara Pandemi masih berlangsung. 

Sebaiknya fokus pada moral saja, beri masukan taktis dan strategis bagi penuntasan pandemi ini. Kalau ada masalah, dievaluasi secara kritis dan konstruktif, saat ini situasi mengharuskan kerja sama dalam melawan Covid 19. Masalah yang sifatnya parsial, harus bisa terselesaikan dengan tepat. 

Masalah parsial tidak bisa dianggap mewakili apa yang diistilahkan Marx sebagai kontradiksi pokok, sebab kontradiksi pokok saat ini adalah Covid 19. Bukan hanya dampak pembatasan sosial, istilah level, apalagi kata “Kaskadu”. 

Semakin masalah moral diturunkan dan diperluas terus-menerus menjadi masalah baru lagi, dan seterusnya, maka berpotensi chaos yang akan muncul. Chaos yang muncul itu bukan bertumpu pada faktor material, tetapi justru lebih pada faktor immaterial. 

Artinya, chaos yang muncul dengan harapan agar muncul sel-sel protes baru yang berlipat ganda, tidak lebih dari kesadaran pasif. Masa protes yang muncul itu masa cair, kata Sukarno sebagai Masal Aksi. Chaos semacam ini hanya menampilkan pembenaran teori konflik ala Lewis A. Coser dan Ralf Dahrendorf. Bukan berakar pada materi, semisal dalam situasi ini Virus Corona 2019 jelas adalah materi.

Jadi, semacam ada pembelokkan dari elemen gerakan yang terlihat ala Marxian tapi sebenarnya motifnya bukan materi melainkan immateri (lihat: sebab konflik menurut Coser dan Dahrendorf).

Makanya itu wajar, sayap moral lebih dominan ketimbang sayap politik. Ketersinggungan dengan kata “Kaskadu” lebih lekas disengajakan untuk menjalar menjadi bahan injeksi untuk menaikkan perlawanan. Selanjutnya, gerakan terlihat menarik, tapi yang muncul tetaplah faktor bukan materi, dan gelagat itu akan memudar secara alami bila tidak digubris atau dengan respon sebatas permintaan maaf dan penjelasan rasional atau lebih umum disebut klarifikasi.

Sementara itu, basis kelompok yang sering lekat dengan anti sistem, akan cenderung menyabotase gerakan semacam ini. Cukup dengan memasukan sedikit unsur “graffiti cation”, membuat masa menjadi lebih termotivasi untuk terbakar tanpa memikirkan lebih jauh faktor materi. Bagi basis kelompok yang anti sistem, yang penting ada chaos. Lain hal dengan yang masih mempercayai sistem, haluan Merah sekalipun akan tetap berpikir chaos kalau faktor materialnya jelas. 

Sementara rada Kuning seperti kita, misalnya, cenderung menghindari chaos, sebab kata Sukarno bahwa Evolusi itu tidak harus berdarah-darah. Bahkan Kuning semacam Sismondi, hanya cukup dengan berdialog. Kita memang bukan seperti itu, kita lazimnya varian sendiri. Yang percaya kepada sistem, Kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan ketika pembicaraan ketidakadilan dirasa buntu, barulah “Biarkan senjata yang berbicara satu bahasa yang lebih kuat lagi”, demikian kata Bung Karno.

Begitulah dunia gerakan akhir-akhir ini di Kota Ambon, meski begitu “Kaskadu” tetaplah penting untuk diketahui. Saya sendiri menulis “Kaskadu” selalu menggunakan tanda kutip, agar kita paham kata ini kemungkinan merupakan serapan Bahasa Portugis, seturut Kakarlak (Kecoa), Bangku (Kursi di taman), Bendera, Boneka, dan seterusnya. 

Tak ketinggalan, mungkin juga kata “Masikit” dalam bahasa lokal Maluku yang diartikan pada umumnya sebagai Masjid (bahasa Portugis: Mesquita). Ini bukan sekedar cocoklogi, dalam Ilmu Bahasa dikenal istilah Morfologi Bahasa. Bahwa kata-kata selalu berkaitan menggambarkan berbagai relasi, bahkan bisa untuk menjawab dugaan satu mata rantai gen Nenek Moyang dari arah Cina Selatan. Contoh untuk kata tiga, di Jawa disebut “Telu”, di Sulawesi Selatan “Tellu”, di pulau Ambon “Telua”, dan di Kei menjadi “Antel”. Begitulah bagaimana Bahasa juga mampu menjelaskan relasi dalam Ilmu Biologi dan dalam Ilmu Antropologi, bila kita terus memperluas multidisipliner atau interdisipliner dengan metodologi yang “mixed”.

Sebagai bahan merenung bagi saya pribadi, dan mungkin bagi mereka yang setuju melihat “Kaskadu” sebagai masalah hanya ketika muncul di permukaan kulit, bukan hanya sekedar ungkapan keakraban, pada kesempatan ini saya mengajak untuk kita sejenak merenung mengapa Presiden Republik Jancukers atasnama Sujiwo Tejo itu biasa-biasa saja dengan Cak Nun dan Habib Anis Sholeh?

“Jancuk”, sebagaimana kata Budayawan yang bernama lengkap Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) menjelaskan dalam suatu kesempatannya bahwa kata “jancuk” itu satu bingkai dengan –maaf– “cukimay”, selanjutnya beliau menggambarkan kurang lebih kata itu sudah tidak lagi bermakna makian semata, tapi ungkapan keakraban. Pendeknya beliau mencontohkan; “Cok dari mana cok? Aku rek ngutang belum dibayar,…”. Jadi bukan juga kita membiasakan kata-kata kotor, hanya dalam perspektif berbeda, kata itu menjadi kekhasan tersendiri, termasuk keakraban saja.

Apakah sejauh ini “Kaskadu” masih bermasalah dalam semua tempat dan pengucapannya? Barangkali kesempatan lain saya akan membandingkannya dengan kaidah Bahasa menurut sebagian Ahli Bahasa, menurut Tempat dan Siapa yang berbicara. 

Semoga pemandangan gerakan selanjutnya yang terlihat di Kota Musik ini lebih jelas warnanya, lebih jelas kriterianya, dan lebih jelas menjaga NKRI, aamiin. 

Ambon, 27 Juli 2021

Penulis menyebut dirinya Orang Biasa yang takut disebut Sok Moralis. Tulisan ini diambil dari Facebook-nya.