Korupsi Penghambat Utama Pengentasan Kemiskinan

0
1925

“Saatnya bangkit dan menjadikan korupsi benar-benar sebagai musuh bersama…”

Oleh: Ikhsan Tualeka

Tepatnya 9 Desember 2003, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendeklarasikan konvensi melawan korupsi atau United Nations Convention Against Corruption (UNCAC). Momentum itu kemudian menjadi titik peringatan Hari Anti Korupsi Se-Dunia. Indonesia sendiri telah meratifikasi UNCAC menjadi Undang-undang nomor 7 tahun 2006.

Bukan tanpa alasan dunia memperingati hari anti korupsi, kemiskinan dan ketertinggalan sejumlah bangsa, ditandai dengan tingginya angka korupsi. Korupsi telah menjadi penghambat utama upaya pengentasan kemiskinan. Rendahnya Corruption Perception Index/Indeks Persepsi Korupsi (IPK) suatu negara selalu berbanding lurus dengan kemiskinan dan ketertingalannya. Sebut saja Somalia, Azerbaijan, Kamerun, Etiophia, Liberia dan Uzbekistan merupakan negara-negara miskin yang selalu berada di posisi teratas sebagai negara terkorup versi Transparancy International

Indonesia sendiri walaupun setiap tahun IPK-nya terus membaik, namun peringkatnya masih tergolong rendah. Rilis terbaru IPK tahun 2019 ini menempatkan Indonesia di peringkat 89 dari seluruh negara di dunia. Walaupun peringkat tersebut menurun dari IPK tahun lalu yaitu peringkat 96, sejatinya Indonesia memperoleh skor IPK yang masih jauh dari harapan dan masih sama dengan tahun lalu, yaitu 38.

Itu artinya kita juga masih sulit keluar dari keterpurukan, angka kemiskinan dan kesakitan masyarakat masih tinggi dan sulit ditekan. Anggaran negara yang memang harus dipotong untuk membayar hutang luar negeri sebagian menguap akibat kualitas dan kuantitas korupsi terus meningkat dari tahun ke tahun. Meningkat dalam jumlah kasus dan jumlah kerugian uang negara. Juga semakin sistematis dan merasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat Indonesia.

Lihat saja, lembaga peradilan sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi juga tak luput dari praktik korupsi. Kasus penyuapan sejumlah hakim Tipikor baru-baru ini –tanpa bermaksud menggeneralisir– setidaknya dapat menggambarkan mentalitas aparat penegak hukum kita yang belum banyak berubah. Kasus-kasus ini menegaskan masih kentalnya mafia peradilan.

Baca Juga  Gelaran Beta Sport, Legiun Liga 1 Vs PS Pelauw Putra Imbang 1:1

Selain di lingkungan peradilan, korupsi menjalar hampir ke seluruh lembaga negara. Berdasarkan data Pusat Kajian Anti Korupsi (PuKAT) Fakultas Hukum UGM, korupsi yang terjadi di banyak sektor, didominasi oleh korupsi kepala daerah. Faktanya, sepanjang tahun ini saja entah sudah berapa bupati dan walikota terjerat kasus korupsi.

Lembaga legislatif juga tak mau ketinggalan. Sejumlah kasus anggota DPR RI dan DPRD di berbagai daerah ikut menambah daftar panjang pejabat korup di negeri ini. Korupsi yang semakin luas dan sistimatis ini, tentu membuat siapa pun prihatin. Padahal korupsi sejatinya tidak semata-mata merugikan keuangan negara, lebih dari pada itu hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat telah dilanggar. Wajar kalau korupsi digolongkan sebagai extraordinary crime.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebutkan secara nasional kerugian negara yang ditimbulkan akibat tindak pidana korupsi tahun 2019 ini mencapai Rp. 200 triliun. Sedangkan Indonesian Corruption Watch (ICW) menyebutkan dari modusnya, berdasarkan pemetaan mereka, korupsi terjadi antara lain adalah karena mark up, tindakan suap, pungutan liar, penggelapan, laporan fiktif, dan penyalahgunaan wewenang.

Bagaimana dengan Maluku? Di negeri para raja ini, angka korupsi tergolong tinggi, ditandai dengan banyaknya laporan masyarakat terkait kasus korupsi. Sayang, banyaknya laporan masih berbanding terbalik dengan kualitas penanganannya.

Sekalipun sejumlah kepala dinas baik di level provinsi dan kabupaten kota yang didakwa korupsi, namun kasus korupsi dengan angka kerugian negara yang cukup besar belum tertangani dengan serius. Pantas saja ICW pernah menempatkan Maluku dalam urutan 5 besar daerah terkorup di Indonesia, peringkat yang sama sebagai daerah termiskin menurut BPS 2018.

Tahun lalu KPK bahkan melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) dan menangkap sejumlah pejabat dari Kantor Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Wilayah Maluku-Papua, pemeriksa pajak dan wajib pajak. Tidak hanya di lingkup birokrasi, praktik penyalahgunaan kekuasaan yang berujung pada kerugian negara juga merembet hingga ke banyak kepala desa seiring alokasi dana desa yang jumlahnya miliaran rupiah.

Baca Juga  Dianiaya Hingga Jatuh Sakit, Oknum Polisi di Hunuth Dilaporkan ke Propam Polda Maluku

Artinya korupsi di Maluku, ada dalam spektrum yang luas, baik kualitas maupun kuantitas. Bahkan dalam catatan KPK yang telah pula dipublikasi, ratusan kasus yang dilapokan dari Maluku ke KPK hingga tahun lalu, setidaknya ada 155 kasus yang diindikasi terkait Tindak Pidana Korupsi (TPK).

Banyaknya kasus yang dilaporkan ke KPK, bisa jadi karena masyarakat kurang percaya pada proses hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum di Maluku. Selain banyak yang tak tertangani dengan serius, ditengarai kasus korupsi juga kerap dipakai sebagai ‘ATM’ sejumlah oknum jaksa, yang semakin mempertegas bahwa mafia peradilan telah menjalar sampai ke daerah. Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Tinggi di Maluku pun setali tiga uang, ditandai dengan sejumlah tersangka kasus korupsi divonis ringan, bahkan ada yang diputus bebas.

Dalam realitas yang masih memprihatinkan semacam ini, tentu kita tidak boleh pesimis, justru optimisme harus dipacu. Saatnya bangkit dan menjadikan korupsi benar-benar sebagai musuh bersama (common enemy). Melawan korupsi jangan lagi sebatas wacana dan sekadar menjadi diskusi formal maupun informal di kafe dan rumah kopi.

Kerjasama, sinergitas dan kemauan besar masyarakat untuk membebaskan negara dari korupsi serta mendorong lembaga hukum bekerja lebih optimal dapat menumbuhkan optimisme itu. Sebab, jika tetap disuarakan besama-sama oleh semua kalangan dan berdasarkan semangat kolektif, tidak mustahil gerakan anti korupsi dapat menjelma menjadi senjata ampuh dan kekuatannya menggentarkan.

Sekalipun butuh waktu, gerakan semacam ini mensyaratkan kultur yang kondusif. Kultur dimaksud adalah kesadaran masyarakat yang mengalami pencerahan dan menyadari hak dan kewajibannya untuk berpartisipasi menjadi watchdog dalam memantau proses perencanaan, penyelenggaraan dan kontrol terhadap pemerintah daerah yang berwenang mengelola keuangan daerah. Sesuatu yang penting dan mendasar dalam tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih.

Baca Juga  Ada Apa dengan ICMMA, Pentingkah? Ini Bisa Jadi ‘Gelombang Baru Maluku’

Kita semua tentu tak ingin daerah yang masih terpuruk, karena maih masuk kategori 5 besar daerah termiskin di tanah air ini terus tertinggal. Alokasi anggaran bagi Maluku yang memang masih tergolong kecil, akan semakin tak punya arti bagi pembangunan dan pengentasan kemiskinan kalau masih terus di korupsi atau digerogoti. Melawan korupsi sudah mestinya menjadi komitmen bersama.

Dukungan seluruh komponen masyarakat Maluku sangat diperlukan. Paling tidak dengan menjadi individu yang dapat mengembangkan prinsip kejujuran, amanah, solidaritas, transparansi, akuntabilitas, dan keadilan – dapat diretas altruisme dan solidaritas sosial untuk mengurangi praktik dan budaya koruptif, demi kemajuan peradaban orang Maluku yang adil dan makmur. Selamat Hari Anti Korupsi. Ayo bangkit dan lawan korupsi.

Penulis adalah Founder IndoEast Network