Maluku dalam Perspektif Pembangunan dan Kepemimpinan

0
1313

Oleh : M. Saleh Wattiheluw

Dalam perspektif sejarah Maluku disebut wilayah Al-mulk atau bumi Raja-Raja adalah suatu fakta dimana bumi Al-mulk sangat kaya potensi sumber daya alam, sebelum Indonesia merdeka dunia sudah mengakuinya.

Namun demikian hingga kini kondisi Maluku seperti biasa-biasa saja, setidaknya kita harus jujur dan mengatakan bahwa hingga berakhirnya masa jabatan Gubernur Murad Ismail, Maluku belum mampu beranjak dari himpitan problem sosial ekonomi.

Pada substansi problem sosial ekonomi tersebut kemudian, artikel ini dibuat untuk mengulasnya.

Satu pertanyaan sederhana, bagaimana membangun Maluku? pertanyaan ini sering terungkap dalam berbagai diskusi publik, maupun di dunia kampus dengan respon beragam.

Hemat penulis persoalan mendasar Maluku saat ini adalah terkait dengan kepemimpinan (leadership).

Itu pula mengapa kedepan kita harus berikhtiar untuk menghadirkan calon-calon pemimpin kepala daerah bupati/walikota/gubernur siapapun mereka setidaknya memiliki basis pengetahuan yang mumpuni.

Terutama dan terpenting adalah tentang wawasan kebangsaan, wawasan pluralisme, paham karakter dan budaya serta perilaku kehidupan masyarakatnya.

Selain itu terminologi budaya, perilaku serta alam harus dipahami secara benar dan dijadikan sebagai landasan kebijakan pembangunan untuk menjawab problema Maluku hari ini dan kedepan nanti.

Membangun Maluku tidak bisa hanya mengandalkan “kekuasaan dan kekuatan semata”, akan tetapi harus juga mengedepankan pendekatan kearifan lokal (local wisdom) tradisi dan budaya lokal.

Serta bagaimana mengajak kalangan tokoh agama, budayawan, sejarawan, pemerhati, usahawan, politisi dan akademisi, untuk duduk bersama dimana tradisi ini rasanya tidak bisa diabaikan.

Tinjau Literasi

Revitalisasi Kearifan Lokal, Studi Resolusi Konflik di Kalimantan Barat, Maluku dan Poso (2007: h. 334). Kearifan lokal memiliki signifikansi ganda; Pertama, sebagai penanda identitas sebuah komunitas. Kedua, elemen perekat (aspek kohesif) lintas warga, lintas agama dan kepercayaan.

Ketiga, kearifan lokal tidak bersifat memaksa atau dari atas (top down), tetapi sebagai unsur kultur yang dan hidup didalam masyarakat, maka daya ikat lebih mengena dan bertahan dibandingkan dengan pemaksaan sebuah sistem nilai dari luar asing.

Keempat, kearifan lokal memberikan warna kebersamaan bagi sebuah komunitas sehingga warna budaya yang bertujuan untuk menghadirkan perdamaian sebagai sebuah collective consciousness bagi warga masyarakat bahwa keharmonisan hidup adalah nilai pemersatu yang memberikan makna kepada sebuah kelompok masyarakat.

Baca Juga  Rem Blong Truk Saling Tabrak di Jalan Turunan Soya Kota Ambon

Huliselan Mus “Menggali Kembali Budaya Rukun Orang Maluku” dalam buku Berlayar Dalam Ombak, Berkarya Bagi Negeri, (Ralahalu Karel Albert 2012), menulis “Budaya rukun, gandong, bongso, ade-kaka dan Pela adalah ikatan yang didirikan berasas kekerabatan. Berasas kekerabatan berarti mereka yakin memiliki leluhur yang sama atau memiliki orang tua yang sama”.

Pela merupakan Budaya Rukun yang mengikat semua penduduk negeri dan dipercaya siapa yang menghianati ikatan ini akan mendapat musibah seperti sakit sampai kematian atau mendapat kecelakaan

Karel Albert Ralahalu, visi dalam Pembangunan Maluku adalah melakukan upaya revitalisasi nilai-nilai budaya daerah (pela gandong dan siwalima) sebagai modal sosial (social capital ) yang dapat dimanfaatkan bagi kepentingan pembangunan daerah yang berbasis potensi lokal (Ralahalu Albert, The Wonderful Islands Maluku 2008).

Picalouhata Mohamad (catatan panas pela louhata-leawaka 1957), kata pela sendiri memiliki asal kata dalam bahasa negeri “Epea” yang berarti “habis atau selesai” dapat dimaknai bahwa pertolongan selesai dan atau perseturuan selesai, akan dilanjutkan dengan ikatan persaudaraan antara kedua negeri dengan sebutan “Pela”.

Sehingga tradisi pela-gandong bisa atau sejarinya dapat dipraktekan dalam penyelesaian masalah ketika ada perkelahian antar negeri.

Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (Anwar Desy 2001) tidak ditemukan kosa kata pela dan gandong itu berarti kata pela dan gandong adalah dialek orang Maluku yang bermakna universal lokal ke- Maluku-an.

Sedangkan kata gandong atau kandung adalah hubungan antar negeri karena mereka meyakini orang tua/moyang memiliki hubungan saudara kandung/ gandong. Fakta hubungan pela dan hubungan gandong antara negeri terjadi lintas dan antar pulau.

Dari referensi tersebut memberikan suatu gambaran bahwa ada pengakuan ilmiah secara akademik kepada kita bahwa begitu pentingnya tradisi lokal pela gandong atau sebutan lain yang tumbuh dan hidup, untuk terus dipertahankan dan di implementasi.

Juga tentu saja apat dikapitalisasikan dalam berbagai aksi sosial ke masyarakat sebagai resef yang berdampak positif dalam upaya membangun bumi Raja-Raja – Bumi Maluku

Bahwa setiap manusia secara kodrat kelahirnya tentunya menghendaki adanya rasa aman, hidup tentram dalam ikatan persaudaraan, hidup bertetangga yang harmonis meskipun beda keyakinan agama.

Baca Juga  Satu Pegawai Meninggal Positif Covid-19, Bappeda Kota Ambon Tutup Kantor

Sebagai sesama manusia dengan kodrat sebagai makhluk sosial tentunya saling membutuhkan dalam berbagai substansi kehidupan sosial ekonomi, kerjasama dalam soal-soal muamalah dan dalam perspektif persaudaraan adalah keniscayaan.

Pola keterbukaan bagi seorang pemimpin sesungguhnya 20 tahun lalu sudah dipraktekkan oleh Karel Albert Ralahalu dalam memimpin dan membawa Maluku mestinya dijadikan contoh dan minimal sebagai ukuran bagi kepala-kepala daerah berikutnya, agar ada kesinambungan.

Kesinambungan bisa terjadi manakala pemimpin berikut membuka diri dan mau berpijak pada keberhasilan pemimpin sebelumnya serta membuka diri untuk menerima pendapat atau masukan orang lain, karena sesungguhnya sebahagian pemikiran kita ada di orang lain. Dalam dialek orang Maluku “ale rasa beta rasa” yang memiliki makna “keterbukan”

Menjadi kepala daerah apakah bupati, walikota, gubernur adalah amanat apalagi amanat yang diterima langsung dari rakyat dan dalam perspektif kepemimpinan ada dua unsur penting yaitu pemimpin (kepala daerah) dan yang dipimpin (masyarakat).

Keduanya saling membutuhkan dan sangat dinamis, artinya masyarakat sebagai subjek pembangunan dan juga objek pembangunan. Jabatan kepala daerah harus mampu didayagunakan secara maksimal untuk kepentingan banyak orang didukung dengan aspek-aspek lain seperti berlaku adil, bijak, aman dan jujur, karena bagaimanapun semua perlakuan/tindakan seorang pemimpin akan dipertangjawabkan kelak dikemudian hari didunia maupun diakhirat.

Fakta Objektif

Sering kita mengeluh soal APBD relatif sangat kecil untuk membangun Maluku, memang adalah satu kendala besar yang dialami pemerintah daerah (kab/kota/prov) akan tetapi ditengah kesadaran kita APBD kecil namun kita tidak mampu memanfaatkan secara efektif efisien pada sektor produktif.

Demikian juga kita tidak mampu berinovasi ide-ide dan pemikiran gagasan untuk mengeksplorasi kekuatan lokal, menghidupkan sektor-sektor kemakmuran yang mampu mendatangkan output dan outcome berdampak untuk daerah.

Dalam perspektif pemerintahan daerah kedepan maka seorang kepala daerah dalam hal ini gubernur harus didukung seorang wakil gubernur yang punya pengetahuan mumpuni, minimàl miliki jaringan lokal, regional, nasional bahkan internasional. Seorang wakil kepala daerah tidak hanya duduk dan menunggu perintah tapi juga diperlukan inisiatif dan proaktif.

Pasangan kepala daerah harus mampu berkoordinasi lintas dan antar kepala daerah kab/kota serta dengan pemangku kepentingan lainnya anggota DPR RI, DPD RI dapil Maluku sebagai representasi wakil rakyat Maluku setidaknya duduk dalam satu ruang.

Baca Juga  Humas Polda Maluku: Korban Akui Penculikan Berkaitan Aksi Demo

Sehingga kemudian membangunun persepsi serta konstruksi berpikir yang sama dengan satu tujuan, yaitu Maluku berkemajuan, maju dibidang ekonomi dan pembangunan, aman dan damai sejahtera, didukung dengan stabilitas keamanan dan birokrasi yang handal.

Perspektif Pemimpin Maluku Kedepan

Tantangan dan tuntutan ke depan adalah Maluku butuh pemimpin kepala daerah atau gubernur dan wakil gubernur yang memiliki kualifikasi pengetahuan mumpuni siapapun dia setidaknya memiliki wawasan kebangsaan, wawasan pluralisme atau perbedaan, paham Maluku dengan segala kekayaannya, mampu melahirkan gagasan inovasi, paham ABPD, paham birokrasi pemerintahan.

Selain itu mampu membuka ruang koordinasi lintas bupati/walikota juga dengan anggota legislatif di DPR RI, DPD RI dapil Maluku sebagai representasi wakil rakyat & daerah di pusat, demikian dengan DPRD sebagai mitra kerja pemerintah daerah.

Dengan selalu mengedepankan nilai-nilai kearipan lokal, bertumpu pada alam dan cultur Maluku, serta memanfaatkan instrumen APBD secara maksimal pada sektor-sektor kemakmuran serta mendorong peran BUMD. Targetnya tidak lain adalah untuk menyelesaikan problem sosial Maluku dapat menekan angka kemiskinan, menekan angka pengangguran, membuka lapangan kerja, meningkatkan PAD, menjaga stabilitas keamanan serta stabilitas birokrasi.

Tercatat beberapa nama tokoh muda/seinior bakal calon gubernur maupun wakil gubernur yang dianggap mumpuni untuk mengurai dan menjawab tantangan Maluku kedepan dan jika disebutkan secara acak antara lain; Jefri Apoly Rahawarin, Henrik Lewerissa, Murad Ismail Febry Tetelepta, Barnabas Orno, Hamza Sangaji, Ikhsan Tualeka, Ramly Umasugi, Benhur Watubun, Habiba Pelu, Sam Latuconsina, Saadiah Uluputi, Ayu Hindun Sanusi, Mersi Barend, Hasbollah Toisuta, Hamdani Laturua, Asis Hentihu Rofik Afifudin

Momentum pasca pileg dan pilpres pada Februari 2024 menjadi menarik untuk terus dicermati para bakal calon akan berproses lewat parpol atau jalur independen. Momentum pilkada adalah milik rakyat dan harus dijadikan sebagai dasar pijak untuk evaluasi serta menentukan sikap politik menentukan arah baru Maluku yang lebih baik, Maluku yang berkemajuan.

Penulis adalah pemerhati pembangunan dan kebijakan publik