Maluku Jadi Lumbung Ikan, Untungkan Siapa?

0
2113

“Jika kondisi semacam ini terus dibiarkan, sekalipun lahir dan besar di daerah yang kaya sumber daya alam, namun dari generasi ke generasi akan tetap hidup dalam kemiskinan dan ketertinggalan.”

Oleh: Ikhsan Tualeka

Belakangan ini, ada sejumlah proyek nasional diarahkan ke Maluku. Namun terus terang ada sedikit perasaan pesimis berbagai mega proyek itu akan berkontribusi pada kesejahteraan masyarakat Maluku.

Sebabnya jelas. Karena apapun bentuk proyek itu, haruslah mengarah pada upaya mengurangi angka pengangguran dan mengentaskan kemiskinan di Maluku. Jika tidak, hanya akan menjadi parade atau pintu masuk untuk mengeruk kekayaan dari bumi Maluku, sementara rakyatnya gigit jari.

Seperti Lumbung Ikan RI yang sedang diupayakan berjalan di Maluku, tidak akan punya faedah bagi masyarakat maluku, jika tak dibangun atau dibuatkan ekosistem industrinya. Itu artinya Lumbung Ikan tanpa industrialisasi hanya akan menjadi pengulangan cerita usang eksploitasi sumber daya alam.

Karena itu pula, upaya mendorong Lumbung Ikan sebagai industri adalah sebuah keniscayaan. Bila mau melihat atau belajar dari negara lain yang potensi alamnya juga di laut seperti Maluku, yang mampu membangun ekosistem industri perikanan hingga maju dan berdaya saing, selalu saja hal utama serta mendasar yang diprioritaskan adalah mendorong pendidikan yang mampu menjawab kebutuhan.

Ya, Pendidikan selalu menjadi titik tolak. Orientasi pada pendidikan, diarahkan kemana, dan untuk tujuan apa, jelas terlihat di dalam paradigma, kurikulum, proses dan output dari penyelenggaraan pendidikan itu. Dengan demikian akan tergambar bagaimana proses pengelolaan sumber daya alam yang dimiliki, berbasis pada tenaga-tenaga lokal siap pakai.

Boleh dikata pendidikan adalah soko guru membangun ekosistem industri. Itu artinya, bila satu proyek pengelolaan sumber daya alam, termasuk di sektor kelautan, pendidikan masyarakat setempat tidak di arahan untuk mendukung tumbuh kembang ekosistem industrinya, tentu menjadi alamat buruk.

Sejumlah negara bisa dijadikan rujukan. Norwegia dan Chili adalah contoh bagaimana orientasi pendidikan dan penguasaan teknologi diarahkan pada pengelolaan sumber daya alam di laut. Kedua negara ini berkembang menjadi negara eksportir ikan di dunia, padahal potensi lautnya kalah dibanding Indonesia, dalam hal ini Maluku.

Di Norwegia, ekosistem perikanan dibangun dari hulu sampai hilir, mulai dari produksi (tangkap dan budidaya), tahap pengolahan atau proses, hingga ke pemasaran. Semua tahapan ini adalah industrialisasi perikanan. Hal ini memang terkait langsung dengan paradigma dan orientasi pembangunan dari pemerintah setempat.

Negara skandinavia yang juga terkenal karena pemandangan alam yang menakjubkan itu memiliki organisasi penelitian perikanan terkemuka, Institute of Marine Research. Wadah bagi para ahli ilmu pengetahuan laut bekerjasama dengan peneliti dari berbagai negara. 

Begitu pula dengan Departemen Pendidikan dan Penelitian Norwegia yang terus menghasilkan sarjana dan magister teknologi rangking teratas dunia. Menunjukan orientasi dan komitmen dalam membangun dan mengembangkan potensi laut.

Chili juga sama. Negara di Amerika Latin dengan garis pantai membentang mulai dari Brasilia hingga ke ujung selatan Benua Amerika berbatasan dengan Argentina ini, juga menyadari garis pantai dan laut adalah potensi yang besar yang tak boleh diabaikan.

Sekalipun pada awalnya, nelayan Chili belum memiliki keterampilan dasar dalam budidaya ikan, khususnya Salmon. Tapi karena pemerintah menyadari potensi yang dimiliki, mereka kemudian mengarahkan dan mengupayakan adaptasi teknologi terhadap budidaya Ikan Salmon.

Apa yang dilakukan Chili dalam membangun sektor perikanan tak terlepas dari visi kelautan dan perikanannya. Kemudian ditopang oleh lembaga-lembaga pendidikan, penelitian dan pengembangan yang kuat.

Keberadaan lembaga yang terus bekerja untuk menghasilkan inovasi teknologi budidaya, mampu menjadikan produk kelautan, khusus sektor industri perikanan Chili sangat kompetitif di pasar Internasional. Semua itu tentu tidak serta-merta, tapi diletakan dalam skema pembangunan. 

Chili bahkan membutuhkan waktu hingga 20 tahun atau dua dekade untuk menjadi produsen Salmon nomor tiga terbesar di dunia. Orientasi pendidikan turut memberi andil, semua terencana, tidak ‘tiba saat-tiba akal’. 

Sesuatu yang berbeda dengan apa yang bisa disaksikan di tanah air, khususnya di Maluku Raya. Selain persoalan kualitas dan kuantitas, pendidikan seperti berjalan tanpa orientasi, membuat fungsi pendidikan dalam menjawab kebutuhan pengelolaan sumber daya alam yang dimiliki masih jauh dari harapan.

Sebagai daerah yang memiliki potensi alam serta wilayah laut yang besar dan luas, sampai saat ini tak kunjung berdiri pusat pendidikan, Institut atau perguruan tinggi berbasis kemaritiman di wilayah Maluku Raya. Adanya di Pulau Jawa.

Belum ada lembaga riset dan pengembangan teknologi berbasis kelautan yang mumpuni, yang kemudian dapat ditindaklanjuti dengan aplikasi serta pemanfaatannya di masyarakat, dalam bentuk pembangunan industri skala besar, hingga dapat membuka lapangan kerja atau menyerap angkatan kerja. Justru yang terjadi ibarat memasak, masih jauh panggang dari api.

Baca Juga  Media Online, Jurnalisme Warga dan Percepatan Pembangunan

Kebutuhannya apa, yang dihasilkan atau dididik di bangku-bangku sekolah dan perguruan tinggi itu apa, belum sinkron dengan realitas kebutuhan. Semua itu dengan mudah diperiksa bila melihat kurikulum di daerah-daerah berbasis laut, yang tak jauh beda atau sama saja dengan di sekolah-sekolah di daerah kontinental atau wilayah daratan.

Realitas itu berimplikasi yang serius terhadap kemampuan generasi menjawab peluang dan tantangan yang ada. Hal ini dapat dapat dilihat dari angka pengangguran di Maluku yang terus tinggi. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Maluku pada Februari 2019 menempati peringkat ketiga secara nasional yaitu sebesar 6,91 persen.

Lebih ironis lagi, dilihat dari tingkat pendidikan pada Februari 2019, TPT untuk Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) paling tinggi diantara tingkat pendidikan lain, yaitu sebesar 12,87 persen. TPT tertinggi berikutnya terdapat pada lulusan perguruan tinggi atau universitas sebesar 11,43 persen.

Dengan kata lain, belum banyak lapangan kerja yang tersedia hingga mampu menyerap tenaga kerja, atau juga karena para lulusan sekolah itu belum sesuai dengan lapangan kerja yang dibutuhkan. Tapi bisa jadi ini juga menjadi gambaran betapa pendidikan belum mampu menghasilkan inovator dan kreator muda dalam menjawab tantangan dan kebutuhan di masyarakat.

Fakta tingginya TPT, khususnya dari lulusan perguruan tinggi sebenarnya turut mengkonfirmasi orientasi pencari kerja di Maluku sejauh ini, yang rata-rata ingin menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN), atau setidaknya bekerja pada pemerintahan. Jalur ini formasinya tak akan mampu menyerap semua angkatan kerja terdidik itu.

Memang, hingga saat ini masih banyak anak-anak muda Maluku yang obsesinya sejak kecil adalah berseragam ASN. Profesi yang mudah dan dalam beberapa hal kerap kali tak memerlukan keterampilan dan kemampuan yang tinggi.

Baca Juga  Beta Creative, Beta Sport dan Beta Green: Program dan Gimik untuk Milenial

Jika kondisi semacam ini terus dibiarkan, sekalipun lahir dan besar di daerah yang kaya sumber daya alam, namun dari generasi ke generasi akan tetap hidup dalam kemiskinan dan ketertinggalan. Ibarat anak ayam mati dilumbung padi.

Pemerintah, baik eksekutif maupun legislatif, pusat dan daerah perlu menumbuhkan sinergitas lintas sektoral termasuk dengan elemen masyarakat sipil, dunia usaha atau swasta dalam memajukan sektor pendidikan. Termasuk upaya yang lebih maju, semacam reorientasi paradigma pendidikan.

Sebagai human investment, pendidikan mesti dilihat sebagai agenda penting dan strategis, kerana adalah soko guru membangun suatu ekosistem industri, termasuk industri kelautan. Orientasinya juga antara lain untuk menjawab realitas dan kebutuhan di masyarakat, menjadikan generasi mampu menggapai masa depan.

Pendidikan harus menjadi lokomotif bagi perubahan sosial, peningkatan taraf hidup dan ekonomi suatu masyarakat. Kualitasnya di satu negara atau daerah selalu berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan warganya, tanpa perbaikan dan pembenahan pada sektor pendidikan, sumber daya alam pun hanya sekadar menjadi pajangan dan kebanggaan semu.

Tanpa basis pendidikan yang memadai bagi anak-anak Maluku, jangan harap bertumbuhnya ekosistem industri yang memadai, yang mampu menyerap tenaga kerja lokal, mengurangi angka pengangguran, dan mengentaskan kemiskinan. Yang terjadi justru kekayaan alam dikeruk untuk memperkaya elit dan oligarki.

Ambon, 7 Februari 2021

Penulis adalah inisiator Beta Kreatif, Founder IndoEast Network