Mengungkap Kasus SW, Memastikan Kebebasan Berpendapat di Maluku

0
2089

Laporan dan Catatan Tim tabaos.id

Malam itu, Rabu, 2 September 2020, sekira pukul 23.00, tabaos.id mendapat pesan melalui aplikasi WhastAap. Salah satu aktivis yang menghubungi itu mengatakan kalau mereka sedang manghadapi tekanan. Salah satu rekan mereka telah diambil dan dibawa dengan paksa, kalau tak mau dikatakan telah diculik.

Mereka juga katakan kalau insiden yang terjadi itu ada kaitannya dengan unjuk rasa yang mereka lakukan siang harinya di Kantor Gubernur Maluku. Ada rasa tak percaya, di era demokrasi yang terbuka seperti ini masih ada yang berani melakukan tindakan konyol semacam itu.

Pagi hari di media sosial, termasuk pemberitaan di sejumlah media online, nampak kasus itu betul-betul mencuat. Sejumlah status komentar warganet maupun berita media massa menegaskan kalau ada ‘penculikan’ terhadap seorang aktivis bernama Syahrul Wadjo (SW).

Diberitakan ameksOnline Sekretaris Daerah (Sekda) Maluku Kasrul Selang bahkan ke Polda Maluku untuk mendorong percepatan pengungkapan aktor penculikan terhadap Muhammad Syahrul Wadjo ini. Desakan ini dinilai perlu, agar tidak terjadi berbagai spekulasi di tengah masyarakat.

“Polda harus usut tuntas. Makanya kami berharap kepada Pak Kapolda, mudahan-mudahan bisa cepat ditangani kasus ini, dan pelaku ditangkap agar diketahui motifnya,” kata Sekda kepada wartawan, 3 September 2020.

Ikhsan Tualeka dari Maluku Crisis Center juga demikian. Di tabaos.id, hari yang sama juga memberikan komentar, jika benar ada penculikan dan juga kekerasan, ia juga turut mendesak agar polisi segera mengungkap kasus ini, motif dibaliknya dan menangkap para pelaku.

Begitu pula dengan Anggota DPRD Provinsi Maluku A. Aziz Hentihu yang mengatakan ini tindakan kriminal dan melawan hukum. “Ini tindakan kriminal, premanisme yang terjadi adalah tindakan melawan hukum yang tidak dapat benarkan dengan alasan apapun”, kata Hentihu kepada tabaos.id, 4 September 2020.

Sehingga Hentihu mendesak Kapolda Maluku agar segera secara cepat melakukan langkah dan tindakan hukum, penyelidikan dan penyidikan, menangkap dan mengungkap motif pelaku serta menyampaikan secara transparan kepada publik Maluku hasil hasilnya.

Drama berlanjut, SW dikabarkan sudah pulang ke Sekretariat HMI di Universitas Pattimura. Dari video amatir terlihat suasana penuh haru, bahkan tanggisan mengiringi langkah SW saat akan melaporkan kasus yang menimpanya ke pihak kepolisian.

Pada Kamis, 3 September 2020, lewat Kabid Humas Polda Maluku, publik mendengar kalau SW mengaku telah diculik, dan insiden itu terkait materi demo mereka di hari yang sama. Katanya SW juga mengaku telah dianiaya.

Kasus ini juga menjadi perhatian sejumlah media nasional. Termasuk juga oleh kalangan aktivis, baik itu melalui pernyataan di media massa, maupun kiriman video kecaman dan mengutuk peristiwa itu di media sosial.

Namun hari berikutnya, 4 September 2020 setelah semalaman di Polresta Ambon, SW dalam konferensi pers menarik sejumlah pernyataannya sehari sebelumnya. Ia membantah kalau telah diculik. 

Hal ini memunculkan berbagai spekulasi. Sejumlah pihak menuding SW sebagai Ratna Sarumpaet (RS) ‘jilid Maluku’. Walau jika melihat kedua kasus itu dengan saksama, kasus SW dan RS berbeda, atau tak sama.

Baca Juga  Waktu Operasional Angkutan Umum di Kota Ambon Dikurangi

Berbeda karena kasus RS adalah rekayasa personal, di mana hasil operasi plastik oleh RS disampaikan seolah-olah baru dikeroyok orang tak dikenal. Kemudian menjadi berita bohong atau hoaks yang dapat mengancam stabilitas nasional.

Sementara pada kasus SW sepertinya ada banyak pihak yang terkait. ‘Penculikan’ atau yang kemudian diakui sebagai penjemputan itu benar-benar terjadi (ada saksi). Itu diakui SW saat konferensi pers di Mapolres Ambon, bahwa “saya dipulangkan baik-baik”. Itu artinya ada peristiwa diambil atau dijemput.

Jadi menyamakan kasus SW dan RS tentu tak relevan. Apalagi SW juga tidak secara mandiri mempublikasikan status penculikannya di media sosial, tapi oleh rekan-rekannya yang mengadvokasi dirinya, mereka yang membuat peristiwa yang menimpa SW menjadi viral.

Publik tentu menunggu, bagaimana kelanjutan cerita dari drama ini. Betul, tak perlu berspekulasi, tapi semua kejanggalan dalam proses penanganannya, sekarang dan nanti, sesungguhnya akan melahirkan berbagai spekulasi.

Ambiguitas keterangan SW memberikan pesan kepada publik bahwa bisa saja ada intervensi. Di satu sisi ingin menepis pernyataan sebelumnya kalau telah diculik, tapi fakta-fakta lainnya tidak bisa ditutupi begitu saja.

Masyarakat saat ini makin cerdas. Artinya, mungkin saja seseorang atau satu kelompok berusaha membungkam mulut satu orang. Tapi tak mungkin untuk mematikan opini publik yang berkembang karena kemampuan intuisi melihat realitas dengan objektif.

Persepsi dan opini publik akan menciptakan satu atmosfir dalam kehidupan sosial-politik. Semacam suasana kebatinan secara kolektif, sejarah dan pengalaman sebenarnya telah mengajarkan kita soal ini.

Jika atmosfirnya positif, ruang gerak dan kinerja akan produktif, namun jika negatif, keadaan yang terjadi bakal sebaliknya. Itu yang tentu tidak kita harapkan bagi Maluku, yang bakal membuat pemerintah akhirnya sibuk memoles ulang citra, dan persoalan substantif menjadi terabaikan.

Sudah waktunya semua pihak senantiasa berdiri pada kebenaran dan keadilan. Posisi berdiri seseorang atau kelompok sesungguhnya menunjukan siapa dia dan kelompoknya itu, bukan saja pada manusia, tapi dihadapan Tuhan yang Maha Mengetahui.

Dalam konteks ini, publik perlu berpikiran terbuka, mendorong penuntasan masalah ini dengan adil dan transparan. Ini penting selain untuk menjamin masa depan demokrasi di Maluku, juga agar tak ada fitnah pada siapapun yang mungkin saja tak tahu menahu dengan kejadian itu.

Baca Juga  Temui Timses, Bunda Safitri Bicara Covid, Gerson Sebut Timses Solid

Meski SW mengaku diinterogasi ‘senior’ yang menjemput dan disuruh minta maaf kepada Gubernur Maluku, seperti diberitakan sejumlah media, termasuk kompas.com Jumat, 4 September 2020.

”Saya dibawa ke Lapiaso, di situ saya diinterogasi, saya disuruh meminta maaf kepada Bapak Gubernur Maluku (Murad Ismail) atas penyampaian (pernyataan) saat demonstrasi di depan Kantor Gubernur,” kata SW di Polresta Pulau Ambon dan Pulau-pulau Lease.

Tapi rasanya terlalu berlebihan bila peristiwa SW dikaitkan dengan Gubernur Maluku. Sosok yang begitu mencintai Maluku, hingga rela berhenti dari dinas kepolisian untuk menjadi kepala daerah di Maluku ini, sepertinya tak akan mungkin ‘mengotori tangannya’ dengan insiden itu.

Sehingga bila kejadian yang menimpa SW itu memang ada, sangat terbuka ada pihak lain yang mungkin saja mengambil insiatif dan membuat ‘gerakan tambahan’ kemudian menjadi bumerang sehingga persoalan ini mengemuka. Itu kemudian membuat kenapa perlu diungkap lebih jauh, juga dengan transparan.

Karena akan menjadi aneh, kalau satu kejadian yang dapat menjadi preseden buruk bagi masa depan demokrasi, dianggap angin lalu. Ibarat menyembunyikan kotoran di bawah karpet, tak akan menyelesaikan masalah, karena spekulasi akan terus hidup di kepala banyak orang, sepanjang waktu.

Ini persoalan publik, ini persoalan demokrasi. Tak ada urusan dengan SW. Karena kalau dia berbohong, dan telah membuat keresahan, itu tetap adalah masalah publik. SW harus mempertanggungjawabkan itu secara hukum.

Kalau ia benar dan karena ada tekanan, kemudian dirinya mengubah pernyataan, itu juga adalah masalah publik dan masa depan kebebasan berekspresi di Maluku. Harus ada ujung dari peristiwa ini, agar jadi pelajaran bagi kita untuk melangkah kedepan.

Pokok utama dari masalah ini bukan soal benar tidaknya ada penculikan itu. Tapi meluruskan satu peristiwa, untuk memastikan bahwa ada jaminan bahwa siapa pun ber-hak menyampaikan pendapatnya di depan umum secara bebas.

Sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 19 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (DuHAM) yang juga telah diratifikasi oleh Indonesia dalam UU No.12 Tahun 2005. DuHAM menyebutkan: “Setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi; hak ini mencakup kebebasan untuk berpendapat tanpa intervensi dan untuk mencari, menerima dan berbagi informasi dan ide melalui media apapun dan tanpa memandang batas negara”.

Pentingnya kebebasan bersuara juga sebagaimana dengan apa yang disampaikan Nelson Mandela Presiden Afrika Selatan pasca-apartheid pertama: “Aku belum benar-benar bebas jika aku mengambil kebebasan orang lain, sebagaimana aku pasti belum bebas jika kebebasanku diambil dariku.”

Oleh karena itu kemudian, persoalan mendasar kenapa peristiwa SW, yang terjadi usai unjuk rasa itu harus dituntaskan. Karena terlepas dari benar tidaknya ‘penculikan’ itu, efek psikologi pada aktivis di Maluku sudah terbentuk.

Akan lebih sulit muncul suara kritis, sebagai penyeimbang penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Karena spekulasi yang muncul diantaranya memberikan pesan bahwa ada kaitan antara aksi massa sebelumnya dengan kasus yang menimpa SW itu.

Jadi kalau kasus ini dianggap sederhana, padahal ini terkait dengan masa depan kebebasan menyampaikan pendapat, bagaimana publik mau bicara hal lain yang jauh lebih besar. Yang untuk memperjuangkannya juga butuh iklim yang kondusif, diantaranya adalah kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat di depan umum. Semua ada pada pundak seluruh elemen pro-demokrasi di Maluku.

Ambon, 6 September 2020