Menyemai Moderasi Menuai Harmoni: Refleksi 2 Tahun Kepemimpinan Gubernur Murad Ismail

0
2022

“Membangun rumah pastori sangat penting, tetapi membangun warga jemaat yang berinteraksi secara harmonis dengan kelompok umat beragama lainnya, juga adalah hal yang terpenting.” (Murad Ismail)

Oleh: Belly I. Kristyowidi, M. Pd.

Maluku merupakan salah satu wilayah di Timur Indonesia yang memiliki keanekaragaman suku, budaya, bahasa maupun agama. Keberagaman ini merupakan bagian dari anugerah Tuhan yang Maha Esa karena telah menciptakan sebuah ikatan Hidup Orang Basudara sejak zaman Tete Nene Moyang yang mampu melengkapi serta mengisi demi kemajuan negeri. 

Sejarah perjumpaan dengan berbagai rumpun agama, budaya telah memberikan kontribusi dalam melahirkan toleransi dalam masyarakatnya. Tentunya sikap masyarakat yang toleran ini adalah sebuah hasil (outcome) yang diakibatkan oleh sikap moderat dalam beragama, jadi Moderasi adalah proses sedangkan toleransi adalah hasilnya. 

Lantas bagaimana yang dimaksudkan dengan moderasi beragama? Pengertian Moderasi Beragama, di dalam buku yang diterbitkan oleh Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan, Balitbang dan Diklat Kementerian Agama RI (2019) dijelaskan bahwa Moderasi beragama bukanlah moderasi terhadap agama, namun memoderasi terhadap pemahaman dan pengalaman umat beragama dari sikap ekstrim saat menjalani ajaran agamanya.

Dua tahun kepemimpinan Gubernur Irjen Pol (Purn) Drs. Murad Ismail telah memberikan banyak kontribusi, diantaranya dengan turut menyemai Moderasi Beragama di tengah-tengah masyarakat Maluku. Mengutip dari salah satu pesan dalam sambutan beliau dalam Pentahbisan Gedung Pastori Sinode Gereja Protestan Maluku (GPM), Jumat, 11 Juni 2021:

“Membangun rumah pastori sangat penting, tetapi membangun warga jemaat yang berinteraksi secara harmonis dengan kelompok umat beragama lainnya, juga adalah hal yang terpenting.” 

Sementara untuk mengimplementasikannya, tentunya diperlukan edukasi terus menerus yang dibarengi keteladanan dari sang Gubernur agar menjadi habitus baru dalam masyarakat khususnya bagi para kaum Milenial.

Menyemai Moderasi Beragama: Pendidikan Karakter bagi Generasi Milenial

Istilah Generasi Milenial atau yang lebih sering disebut Kids Jaman Now maupun Generasi Z merupakan diferensiasi antara generasi zaman dulu yang eksis di tahun 1990an dengan generasi yang sedang eksis jaman sekarang. Dilihat segi usia, dapat dikatakan generasi milenial adalah mereka yang saat ini berada pada rentang umur 15-30 tahun yang mengalami google generation, net generation, generation Z, echo boomers, dan dumbest generation. 

Selain itu ciri-ciri generasi ini adalah menyukai kebebasan, senang melakukan personalisasi, mengandalkan kecepatan informasi yang instan, suka belajar dan bekerja dengan lingkungan inovatif, aktif berkolaborasi dan hyper technology. Tentunya semua ini turut memberikan dampak positif maupun negatif bagi mereka, termasuk bagi generasi Milenial di Provinsi Maluku. 

Sehingga hal ini menjadi perhatian khusus bagi pemerintah Provinsi Maluku dibawah kepemimpinan Gubernur Irjen Pol (Purn) Drs. Murad Ismail untuk mengarahkan generasi milenial agar selalu mampu berkompetisi dan terhindar dari pengaruh negatif seperti intoleransi, ekstrimisme dan fanatisme. Oleh karena itu upaya menyemai Moderasi Beragama melalui Pendidikan Karakter bagi Generasi Milenial menjadi salah satu kunci lahirnya kemajuan bagi Provinsi Maluku mewujudkan Indonesia Emas.

Moderasi beragama merupakan bagian dari pendidikan karakter, dalam buku Moderasi Beragama (2019) disebutkan bahwa karakter moderasi meniscayakan adanya keterbukaan, penerimaan dan kerjasama antar kelompok yang berbeda, termasuk suku, etnis, budaya dan agama. Kedudukan karakter sangatlah penting apalagi jika disandingkan dengan kecerdasan “intelligence plus character that is the true aim of education”. 

Pendidikan karakter adalah pendidikan yang sangat dibutuhkan sekaligus mampu menjadi jawaban di tengah-tengah badai gelombang teknologi informasi yang menguasai kaum milenial. Tentunya terdapat indikator-indikator pendidikan karakter yang sangat relevan dengan nilai-nilai moderasi beragama, diantaranya adalah sikap religius yang menjadi penghubung antara manusia dengan Tuhan maupun manusia dengan sesamanya. 

Selain itu terdapat juga sikap toleransi dimana sikap seseorang untuk saling menghormati perbedaan dan memberikan ruang bagi orang lain untuk berkeyakinan, mengekspresikan keyakinannya dan menyampaikan pendapat. Merawat toleransi dengan kondisi masyarakat yang sangat heterogen bukanlah sebuah hal yang mudah, ditambah dengan kondisi hidup orang basudara yang saat ini masih terus berjuang menghadapi gempuran pandemi Covid 19 sekaligus dibarengi dengan trauma akan ancaman gempa bumi di wilayah ini, tentunya memberikan imbas yang seakan mengintai seluruh masyarakat Maluku termasuk generasi ini. 

Kemampuan setiap orang dalam menerima perbedaan menjadi faktor penting sikap toleransi, toleransi menghadirkan kebaikan untuk hidup berdampingan. Untuk menumbuhkan sikap toleran di dalam setiap generasi maka dibutuhkan sikap untuk saling pengertian, menerima perbedaan antara karakteristik masing-masing generasi.

Keberadaan generasi milenial kini telah memasuki usia produktif yang menuntut mereka untuk tanggap dan melek terhadap teknologi. Kesadaran terhadap teknologi ini dapat dipastikan ketika mengamati secara dekat (gaya) hidup kaum milenial yang kini selalu mengantongi smartphone dalam segala aktivitasnya. 

Meski tujuan utamanya digunakan sebagai alat komunikasi namun smartphone ini juga berfungsi sebagai sarana bersosialisasi, memperoleh informasi maupun mengekspresikan kreativitas yang mereka kerjakan. Jika generasi ini memanfaatkan media sosial maupun dan teknologi dengan benar maka akan mendatangkan berkah, namun jika dimanfaatkan secara salah maka akan berdampak sebagai alat pemecah. 

Oleh sebab itu kerjasama antara pemerintah maupun stakeholder agar selalu membekali generasi milenial dengan pendidikan karakter sekaligus wawasan keagamaan yang inklusif dan disaat yang sama memiliki akidah yang mapan. Sehingga dengan moderasi beragama akan menjadi benteng dari maraknya penyebaran paham radikalisme maupun intoleransi di dunia maya.

Selain berguna bagi kemaslahatan umum, keberadaan dunia maya juga turut menjadi salah corong bagi penyeru terorisme dan radikalisme. Melalui situs, Blog, Vlog, Twitter, Instagram, Facebook, WhatnApp dan lain sebagainya inilah generasi ini menjadi sasaran empuk kelompok teroris atau radikal intoleran. Karena generasi ini memiliki semangat keingintahuan yang tinggi dan mudah dirasuki oleh berita hoax atau hate speech untuk mengadu domba.

Terlebih lagi jika didalamnya disusupkan sentimen SARA maupun ideologi yang bersifat kekerasan, menyalahkan (kebijakan) pemerintah, hingga menginginkan kemerdekaan. Tentunya kondisi mampu merusak nilai-nilai luhur bangsa dan falsafah bangsa yang berdasarkan Pancasila. 

Mengutip dari pesan Gubernur Irjen Pol (Purn) Drs. Murad Ismail saat membuka Kongres AMGPM ke-29 tahun 2020: “Pertama, pemuda gereja harus memiliki karakter keberanian. Artinya dari keberanian yang dimaksud adalah berani menyatakan benar atau salah di lingkungan sosialnya dan dalam kemasyarakatan; Kedua, Kejujuran. Pemuda gereja harus dapat mengerjakan hal-hal besar dan setia berlaku jujur terhadap hal-hal kecil; Ketiga adalah Keadilan, Keadilan akan sangat erat dengan kesejahteraan,… disinilah peran penting pendidikan karakter dan moralitas AMGMP memahami hakikat keadilan.”

Menyemai Moderasi Beragama: Kearifan Lokal dalam Hidup Orang Basudara

Baca Juga  Suara Milenial: Dua Tahun MI Membawa Perubahan yang Signifikan Terhadap Pembangunan di Maluku

Kesadaran akan nilai-nilai luhur Hidup Orang Basudara telah membentuk Identitas Kemalukuan. Nilai-nilai tersebut telah bermanifestasi dalam Local Wisdom yang menjadi perekat sosial serta menjadi acuan dalam membangun kehidupan yang harmoni dalam diri Orang Basudara. Nilai-nilai kearifan lokal Pela Gandong dengan semboyan Sagu Salempeng Patah jadi Dua yang dapat dijadikan filter dalam menyaring nilai baru maupun menjadi resolusi konflik hingga saat ini. 

Menjunjung Local Wisdom yang telah diwariskan oleh Tete Nene Moyang, bukan berarti mengabaikan kemajuan dan menjadi tertinggal. Sejarah membuktikan bahwa aroma wangi rempah Maluku telah banyak memikat berbagai pihak, selain itu kedamaian dan kerukunan masyarakatnya menjadikan Maluku sebagai barometer perdamaian pasca konflik pada tahun 1999-2002. 

Hal ini dibuktikan dengan hasil berbagai survei yang menetapkan Provinsi Maluku sebagai provinsi yang paling rukun dan toleran di Indonesia. Serta Maluku secara khusus Ambon menjadi laboratorium perdamaian yang menjadi daerah studi banding pembangunan kerukunan hidup antar umat beragama.

“Pesatnya arus transformasi global saat ini membentuk lahirnya budaya massa, dengan berpegang pada trend yang kian digemari generasi Milenial, didukung oleh media komunikasi sebagai sebuah ketergantungan di masa sekarang, turut menggeser kearifan lokal.” Pernyatan tersebut disampaikan oleh Gubernur Maluku, Murad Ismail, dalam sambutan tertulisnya pada saat pembukaan Porseni 2019. 

Penguatan terhadap kearifan lokal sudah semestinya terus digencarkan oleh berbagai pihak, terutama diberikan kepada generasi milenial dengan menginjeksikan pemahaman ini di ruang publik, baik secara formal, non-formal maupun secara virtual atau manual. Hal ini tentunya akan menjadi salah satu tindakan efektif dan bersifat preventif dalam menghadapi ancaman radikalisme dan intoleransi keagamaan yang dapat memicu kembali terjadinya konflik. 

Selain itu penguatan kearifan lokal mampu mempertahankan eksistensi budaya serta memperkokoh nasionalisme bangsa ini, sehingga setiap berita atau informasi yang diperolehnya seperti informasi yang menyulut perpecahan baik antar agama, suku, ras tidak serta merta ditelannya begitu saja. Hal ini dikarenakan generasi ini telah memiliki pondasi yang kuat berupa nilai-nilai kearifan lokal yang telah tertanam dalam konstruksi keyakinan (belief) pada tatanan personal maupun sosial.

Penutup

Baca Juga  Senja Kala Provinsi Kepulauan

Arus globalisasi telah cepat mempengaruhi cara pandang budaya dan gaya hidup dikalangan generasi Milenial. Kondisi Pandemi Covid-19 telah mendorong migrasi dari dunia manual ke dalam dunia virtual. Sehingga penggunaan ruang-ruang di dunia maya sangat massif digunakan, dan yang pasti berimplikasi terhadap sikap anti sosial yang menyebabkan generasi Milenial ini tidak perduli lagi dengan kearifan lokal yang merupakan warisan dari Tete Nene Moyang yang kini melekat pada diri orang basudara. 

Di Tengah ancaman intoleransi yang semakin menguat, upaya membumikan moderasi beragama diharapkan terus-menerus disemai. Peran Gubernur Irjen Pol (Purn) Drs. Murad Ismail tidak hanya sekedar untuk membumikan moderasi beragama namun telah berhasil mengayomi serta mampu merangkul semua pihak (stakeholder) untuk mengkolaborasikan dan mengemasnya melalui konten edukasi maupun tradisi.

Sehingga kepemimpinannya saat ini menjadi warna tersendiri bagi masyarakat maupun kalangan kaum milenial. Misalnya membumikan konten tentang moderasi beragama melalui pendidikan karakter atau komik yang diangkat dari kearifan lokal yang dapat diakses oleh seluruh masyarakat secara luas, sehingga kerja keras Gubernur Irjen Pol (Purn) Drs. Murad Ismail membuahkan hasil yang terbaik dengan menyemai Moderasi Beragama Menuai Harmoni dalam Hidup Orang Basudara.

Penulis adalah Dosen Sejarah di IAKN Ambon, aktif di Ikatan Cendekiawan Muda (ICMA) Maluku. Tulisan ini untuk turut menandai dua tahun kepemimpinan Gubenur Murad Ismail