Papua dan Maluku dalam Genggaman Kolonialisme Baru

0
12316

”Papua dan Maluku Raya hari ini, bila mau jujur adalah potret dari bersemayamnya kolonialisme gaya baru. Praktik kolonialisme yang dibungkus dengan semangat nasionalisme semu.”

Oleh: Ikhsan Tualeka

Keinginan untuk “merdeka” oleh banyak orang Papua, juga mulai mengemuka di kalangan orang Maluku. Bila ditelusuri, belakangan ini sejatinya ada kaitannya dengan upaya penyelamatan diri dari kanker ganas perilaku oligarki yang telah melilit Indonesia sejauh ini.

Oligarki yang telah menguasai dan mengendalikan hampir semua sendi-sendi tata kelola kekuasaan negara. Oligarki yang dibangun dan dikendalikan oleh sekelompok orang (Baca: Taipan), berkelindan dengan kekuasaan yang korup.

Oligarki yang menjadikan Partai Politik sebagai alat untuk membentuk undang-undang sesuai keinginan mereka. Oligarki yang menjadikan ajang demokrasi untuk mengendalikan kekuasaan negara.

Contoh paling kasat mata dan telanjang adalah Rancangan Undang-Undang (RUU) sapu jagad Omnibus Law Cipta Kerja. Ada lagi Undang-Undang Minerba yang baru disahkan, dengan masa perpanjangan 90 tahun secara otomatis.

Yang paling akhir, terlihat nyata para oligarki menitipkan kepentingan mereka di Perppu Nomor 1/2020 yang telah menjadi Undang-Undang Nomor 2/2020. Isinya tentang Kebijakan Keuangan dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19).

Kasus Djoko Tjandra yang baru-baru ini turut menyeret sejumlah jenderal polisi, merefleksikan betapa buruknya tata kelola pemerintah Indonesia. Tidak kurang tiga institusi negara urusan penegak hukum dan dua Kementerian dilempari mukanya dengan (mohon maaf) kotoran manusia yang biasa dibuang di toilet.

Lembaga negara urusan penegakan hukum itu adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), Kejaksaan Agung, Ditjen Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM, ditambah Dukcapil Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Perhubungan, semua menjadi lima institusi. Setelah dilempari lima institusi negara ini dengan kotoran buangan manusia, Djoko Tjandra pun kabur dengan mudah ke luar negeri.

Centang-perenang itu bisa pula dilihat dari implikasi dan kenyataan bahwa satu persen orang terkaya di Indonesia kini menguasai 49,3 persen kekayaan nasional. Angka ketimpangan ini berdasarkan survei lembaga keuangan Credit Suisse tahun 2017 lalu, membuat Indonesia berada di peringkat ke empat negara dengan ketimpangan tertinggi di dunia. Ini fakta yang tak bisa ditepis.

Itu hanya sedikit diantara persoalan ketimpangan yang mengemuka. Namun soal-soal lain yang tak kalah lebih mendasar, utamanya persoalan distribusi keadilan, latar sejarah politik dan praktik diskriminasi hingga paradigma pembangunan yang keliru. Penilaian ini tentu akan disetujui jika mau berangkat dari cara pandang yang berlandaskan hati nurani.

Situasi yang mengemuka hari ini sebenarnya adalah puncak dari ketamakan. Selain itu, karena diabaikannya eksistensi masyarakat lokal dan kepentingan daerah-daerah di timur, Papua dan Maluku Raya (Maluku dan Maluku Utara) selama puluhan tahun. Kesempatan emas yang telah diberikan untuk mengelola negara sesuai “kesepakatan” tidak dijalankan dengan baik oleh penguasa yang telah diberikan amanat oleh rakyat.

Lebih lanjut, melihat kondisi eksisting, dengan geopolitik terakhir, justru membuat luka semakin dalam. Kenyataan ini diperparah dengan kadar resistensi masyarakat lokal, serta pola pendekatan politik yang justru salah dan ngawur. Pendekatan yang tidak mengutamakan dan menghidupkan potensi, kekayaan dan kearifan lokal. Pendekatan yang hanya mengandalkan keamanan semata.

Untuk itu, Papua layak diberikan kesempatan untuk menentukan nasib sendiri. Bisa saja lewat mekanisme referendum yang terbuka dan transparan. Sementara Maluku harus segera diberikan Otonomi Khusus untuk memperpendek jarak ketertinggalan yang sudah sangat lebar. Sekali lagi, ini demi nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.

Integrasi wilayah tak berarti apa-apa tanpa ada integrasi sosial. Bahkan yang terjadi hanyalah eksploitasi sumber daya alam, memperkaya segelintir kelompok penguasa dan oligarki tertentu. Sementara anak kandung dari daerah-daerah yang dikuras itu tetap dalam kemiskinan dan ketertinggalan.

Papua dan Maluku Raya hari ini, bila mau jujur adalah potret dari bersemayamnya kolonialisme gaya baru. Praktik kolonialisme yang dibungkus dengan semangat nasionalisme semu. Mendistribusikan dengan telanjang kekayaan daerah untuk kaum oligarki. Namun masyarakat Papua dan Maluku Raya hanya bisa menyaksikan proses eksploitasi itu di depan mata.

Keadaan ini tidak bisa dibiarkan. Generasi tercerahkan dan pemimpin politik hari ini, terutama dari Indonesia, tak bisa lepas tangan, membiarkan kondisi ini terus berlangsung, sehingga seperti mengabaikan orang yang sedang sekarat di pembaringan, namun masih tetap berusaha menunda kematiannya, sementara sejarah akan terus merekam dan mencatat semuanya.

Hari-hari ini, kalau dilihat dengan kacamata kemanusiaan dan kejujuran tingkat dewa, akan terbaca dengan jelas bahwa sebagian besar orang Papua asli, menginginkan penentuan nasib sendiri. Jika pun ada yang menolak gagasan ini, bisa jadi hanyalah kelompok kepentingan yang kebetulan sedang mendapat keuntungan dari integrasi, tapi hati kecilnya pun ingin turut ambil bagian.

Sementara pada sisi yang lain, Indonesia terlihat tidak menunjukan upaya yang penting, strategis dan berarti untuk mengendalikan situasi yang ada. Tidak terlihat ada pendekatan yang prima, relevan, adil, bermartabat dan manusiawi. Tampak hanya pendekatan keamanan semata. Pendekatan yang terus menelan korban manusia, baik itu yang meninggal dunia maupun luka-luka.

Gagalnya penerapan Otonomi Khusus di Papua yang hampir 20 tahun terakhir ini, serta pelanggaran HAM yang terus terjadi dan mengiringinya, adalah fakta yang tak terbantahkan. Sejarah peradaban manusia telah membuktikan serta mengajarkan pada kita bahwa melakukan kontrol dengan cara paksa, dan kemudian mengeksploitasi besar-besaran sumber daya alamnya akan berujung pada kegagalan yang tidak bermartabat.

Perilaku ketidakadilan pada satu wilayah dan masyarakatnya, pasti akan berakhir dengan sendirinya. Maka pilihannya adalah, apakah hendak diakhiri dengan cara tragis, penuh dengan pertumpahan darah dan air mata seperti yang pernah terjadi Timor Leste? Begitu juga dengan di Bosnia-Herzegovina, yang kemudian berakhir dengan merdeka lewat satu referendum?

Atau melalui referendum dengan cara yang damai seperti di Singapura? yang akhirnya memilih untuk berpisah dari Malaysia tahun 1963. Setelah disintegrasi, masing-masing pihak bisa hidup dengan damai. Hidup secara berdampingan sebagai sahabat bagi yang lain. Bahkan saling mendukung dan menguntungkan.

Mungkin pula seperti Skotlandia? yang pada tahun 2014, menggelar referendum, untuk mengetahui apakah rakyatnya setuju untuk memisahkan diri dari persemakmuran Inggris atau tidak. Hasilnya kurang dari 50 persen rakyat Skotlandia yang menginginkan merdeka. Sementara masih lebih banyak rakyat Skotlandia menginginkan berada di bawah naungan Ratu Elizabeth.

Itu semua adalah pilihan politik yang dapat diambil dan sejumlah konsekuensi politik yang mengikutinya. Referendum dalam pelaksanaannya tak mesti hasilnya berpisah atau disintegrasi, ada pula yang tetap memilih include. Pastinya ini adalah cara damai dan menyerahkan sepenuhnya satu entitas bangsa menentukan nasibnya sendiri.

Memang akan sulit mengingat kekayaan Papua yang besar, tentu berat bagi Indonesia, bila harus membuka ruang untuk melepas begitu saja. Tapi ini adalah pilihan yang jauh lebih manusiawi, efektif dan efisien daripada moncong senapan dan pengerahan angkatan perang, yang mahal dan mempertaruhkan nyawa, berujung pelanggaran HAM, serta jadi catatan sejarah yang buruk dan kelam.

Menjelang peringatan hari kemerdekaan Negara Republik Indonesia, sepertinya kita perlu sama-sama membaca dan merenung kembali kutipan indah dalam pembukaan UUD 1945, “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”

Atau kita perlu pula merenungi paham nasionalisme yang dikembangkan Soekarno, yakni nasionalisme yang mencerminkan sikap anti terhadap kolonialisme dan imperialisme. Nasionalisme yang berdasarkan pada atau lahir dari menselijkheid. “Nasionalismeku adalah perikemanusiaan”, kata Soekarno mengutip pendapat Gandhi.

Pandangan yang mengajarkan pada kita bawah nasionalisme seberapapun tingginya, harus tunduk pada nilai-nilai kemanusiaan. Itu artinya kemanusiaan dan memanusiakan manusia, termasuk terhadap orang Papua, juga orang Maluku, jauh lebih penting dari agenda apapun, termasuk dari proyek nasionalisme ala Indonesia itu sendiri.

Sebagai penutup, perlu menjadi catatan bersama, bila perlu digaris bawahi dengan tinta merah. Bahwa kemerdekaan dan keadilan, dimanapun itu, memang harus diperjuangkan, tidak bisa menunggu diberikan, apalagi oleh oligarki dan kolonialisme gaya baru, diam tertindas atau bangkit melawan adalah pilihan. Saatnya generasi hari ini menuliskan sejarahnya sendiri.

Ambon, 1 Agustus 2020

Baca Juga  Bertambah Lagi Pasien Meninggal Akibat Covid-19

Penulis adalah Direktur Maluku Crisis Center – MCC