Patahkan Politik Masturbasi Melalui Partisipasi Kritis

0
1964

“Politik memang seksi, merangsang dan menggairahkan. Karena itu, yang lemah syahwat bisa cepat-cepat masturbasi”

Oleh: Hariman A. Pattianakotta

Fenomena lemah syahwat itu sangat encer dalam politik Indonesia. Pilkada dan Pemilu masih jauh, tetapi para kontestan sudah mulai beronani. Baliho-baliho politisi terpampang di mana-mana. 

Bahkan, ada yang numpang nampang muka dengan memanfaatkan prestasi olahraga. Yang lain yang juara, tetapi pencari muka men-zoom wajahnya dalam poster-poster ucapan selamat.

Fantasi politik politisi kita memang sungguh mengherankan. Realitas penderitaan rakyat (terutama di masa pandemi) yang ada di depan mata tak bergegas direspons, mereka malah berfantasi demi kursi kekuasaan yang relatif masih  jauh dari pandangan. Inilah yang saya sebut sebagai masturbasi politik dari mereka yang lemah syahwat.

Masturbasi Politik di Kantong Kemiskinan

Fenomena masturbasi politik terjadi sebelum waktunya. Nafsu mereka yang besar syahwat ini sangat kuat, tetapi tak disertai kecakapan mumpuni. Mengenai hal ini ada ungkapan nakal, “nafsu kuda, tenaga bebek”. Besar nafsu, tetapi kecil kemampuan, kira-kira begitulah artinya. 

Fenomena masturbasi elit politik ini bahkan terjadi juga di daerah-daerah yang menjadi kantong kemiskinan. Realitas ini tentu sangat menggelikan. 

Ada gubernur yang diberitakan sukses dalam memimpin, tetapi tak terlihat hasil dan dampaknya sama sekali dalam kehidupan masyarakat. Propaganda semacam ini adalah bagian dari masturbasi politik media untuk mempermanis citra. 

Herannya, anggota masyarakat dan pekerja media turut ambil bagian dalam tarian politik masturbasi elit itu. Mereka ikut mempromosikan calon-calon kontestan di media-media sosial. 

Tidak salah tindakan tersebut. Namun lagak pragmatis semacam itu hanya akan menguntungkan elit dan memperpanjang budaya politik masturbasi yang sekadar menjual nafsu serakah.

Lalu, di lain sisi, masyarakat terus hidup dalam kemiskinan, padahal alamnya kaya. Mereka bahkan tidak berdaulat atas tanah dan lautan yang dititipkan Tuhan melalui para leluhur. 

Lebih miris lagi, orang basudara (bersaudara) bisa putus tali gandong (hubungan persaudaraan), saling cibir dan benci, karena larut dalam praktik buta politik. Mereka merasa sudah ikut dalam praksis politik sebagai pemain. 

Padahal, keberadaan mereka tidak lebih dari patung pion di luar papan catur. Syahwat dan masturbasi politik memang membodohkan dan memiskinkan.

Partisipasi Kritis

Baca Juga  Suara Milenial: Dua Tahun Memimpin Maluku Di Tengah Pandemi, Apa Kabar Program Unggulan?

Partisipasi politik memang idaman demokrasi. Sudah seyogyanya juga lembaga-lembaga non pemerintah dan masyarakat turut berpartisipasi dalam sistem politik demokrasi sebagai bagian dari tanggung jawab sipil dan iman. Karena itu, lembaga agama, media massa, bahkan citizen dan netizen yang proaktif dalam kehidupan politik mesti diapresiasi.

Namun, partisipasi warga dan kelompok masyarakat sipil itu harus kritis. Kita membutuhkan keterlibatan kritis, bukan ke bersetubuhan massa untuk memuaskan libido semata. Ini sama saja dengan zinah politik.

Dalam relasi percintaan, kita butuh pasangan yang setia. Dalam dunia politik pun begitu. Kita memerlukan figur yang setia. Artinya, kita butuh yang punya kapasitas moral, yang berpegang teguh pada values dan janji. Bukan manusia yang sembarangan menggunakan mulut dan kekuasaan untuk kepentingan pribadi dan golongan. 

Dalam kehidupan rumah tangga, kita senang kalau pasangan kita pintar. Artinya punya kapasitas mengelola relasi dan sumber daya rumah tangga. Dalam kehidupan bermasyarakat apalagi. 

Kita butuh sosok yang punya kapasitas “mengadministrasikan” keadilan, dan cerdas memberdayakan potensi yang dimiliki untuk kesejahteraan rakyat. Kita tidak memerlukan orang yang hanya mengumbar janji. Apalagi yang sudah jelas-jelas ingkar janji!

Karena itu, sebelum buru-buru berkampanye ria di media-media sosial, larut dalam zinah politik. Apalagi, bermanuver bersama elit-elit tertentu ke kampus-kampus dan lembaga-lembaga agama untuk pasang kuda-kuda demi menyalurkan libido kekuasaan. 

Lebih baik cek and ricek. Kenali sosok-sosok yang ada. Lihat rekam jejak. Bahkan, munculkanlah tokoh-tokoh baru yang punya visi, kemampuan, dan komitmen. Kita butuh pembaruan yang total!

Di daerah yang kaya potensi alam, sudah selayaknya rakyatnya hidup sejahtera. Karena itu, lebih baik perkuat kapasitas masyarakat agar sejahtera dengan potensi yang ada. 

Lihat regulasi dan kebijakan, apakah sudah pro terhadap kesejahteraan rakyat. Bangun koalisi masyarakat sipil, supaya tidak lagi tergelincir di trotoar-trotoar politik yang licin, lalu mati sia-sia.  

Sulit? Iya, pasti! Namun pendampingan dan penguatan masyarakat itu lebih menjamin kesucian dan masa depan politik, ketimbang terus melakukan zinah demi kekuasaan. Lalu, ujungnya kita sendiri yang tinggal melarat.

Baca Juga  Solmeda: Surat Cinta Kepada Bapak Bupati Petrus Fatlolon

Sabda ini harus kita ingat: siapa yang setia melayani masyarakat, sudah pasti mendapatkan kepercayaan rakyat. Dan rakyat yang teguh berprinsip, sudah tentu akan memilih pemimpin yang berintegritas, cerdas, dan berkomitmen untuk melayani rakyat. 

Menyimpang dari hal ini, maka bersiaplah untuk mendapatkan makian dan terus hidup dalam kemiskinan. Mari lepaskan diri dari politik masturbasi, dan bangun kesucian politik dengan partisipasi yang kritis!

Penulis adalah pendeta, akademisi, intelektual muda Maluku