Perbedaan Pandang Orang Maluku: Suatu Renungan Dialektika

0
1061

Oleh: M. Saleh Wattiheluw

Perbedaan dalam dialektika di berbagai Whatsapp grup orang Maluku semakin menarik untuk direnungi. Kerap kali dalam tempo atau tensi rendah, sedang hingga tinggi, menarik urat saraf.

Dalam perspektif memilih pasti ada warna berbeda, apalagi dalam memilih dan mendukung seorang calon kepala daerah dan atau anggota parlemen.

Sesungguhnya kita tidak bisa hindari perbedaan karena perbedaan adalah keniscayaan dan kita harus menerima itu sebagai kodrat perilaku manusia, sepanjang perbedaan itu rasional, objektif, dan bertumpu pada prinsif-prinsif kepemimpinan.

Prinsip dan hakikat kepemimpin siapapun dia adalah “hadir untuk umat dalam arti luas”, hadir untuk melindungi rakyat, berpikir kemajuan, mensejahterakan rakyat, berlaku adil secara proporsional, menjadi contoh dan suri teladan untuk rakyat, serta ucapan dan tindakan harus searah atau linier dan dapat dipercaya.

Kita sedang berada tahun politik di mana akan terjadi perbedaan pilihan dalam mendukung maupun memilih pemimpin, tentunya masing-masing orang memiliki argumen atau alasan-alasan yang diyakini artinya tidak hanya sekedar pilihan yang berbeda dan bukan soal “anak adat dan bukan anak adat”.

Soal anak adat penulis berpendapat; Seseorang disebut anak adat adalah manakala ia lahir di Maluku, hidup dan besar di bumi raja-raja serta nasabnya jelas itulah anak adat, itulah anak Maluku. Yang berbeda mungkin asal usul moyangnya, boleh jadi moyangnya berasal dari daerah lain.

Ada juga anak adat memang mulai dari datuk moyang, kakek/nenek memang asli lahir dan besar di Maluku dan punya nasab serta marga. Kedua model anak adat ini punya hak sama selaku warga negara untuk “jabatan publik”.

Konsep keniscayaan dalam perbedaan tentunya didukung dengan pikiran-pikiran yang rasional dan objektif adalah menjadi hak setiap orang untuk bagaimana memilah mana yang baik dan mana yang benar, mana yang pantas dan mana yang tidak pantas, tanpa masuk pada wilayah privasi dan justifikasi terhadap seseorang.

Baca Juga  Langkah Dishub Maluku Waspadai Lonjakan Penumpang Saat Mudik Lebaran

Lantas mengapa kita harus terjebak dalam membangun pola pikir yang terkesan menjustifikasi dan memojokkan seolah-oleh si A boleh dan bagus serta sudah berbuat untuk daerah, sementara si B dan C hanya baru spanduk apalagi mereka belum berbuat apa-apa untuk daerah.

Memang agak rancu ketika kita analogi dan bertanya kepada seseorang sebut saja si B yang baru mau mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah dengan pertanyaan “si B sudah berbuat apa untuk daerah?” pasti sukar diukur dan dijawab dan memang tidak bisa dibandingkan.

Kecuali yang bersangkut pernah punya jabatan penting dan punya peluang untuk berbuat untuk daerahnya, itu pun sangat terbatas, paling-paling publik baru mengenal sebatas dari rekam jejak pernah menjabat ini dan itu, bahwa yang bersangkutan ada berbuat sesuatu untuk daerah ketika menjabat itu pun sangat “relatif” dan terbatas.

Agak beda dengan si A yang sudah mendapat kepercayaan dari rakyat sedang menjabat sebagai kepala daerah maka dengan pertanyaan yang sama pasti bisa dijawab paling tidak oleh timses, si A sudah berbuat selama menjadi kepala daerah dengan dukungan APBD maupun APBN sehingga apa yang dikerjakan selama menjabat sebagai kepala daerah menjadi tolak ukur untuk dinilai oleh lembaga-lembaga resmi bahkan publik.

Maluku dibangun atas dasar perbedaan dalam persamaan artinya kita boleh berbeda akan tetapi perbedaan jangan diperdebatkan dan perbedaan adalah rahmat, menjadi satu energi yang kuat, mestinya harus dicari persamaan masuk dalam tatanan konsep pembangunan Maluku dengan tetap mengedepankan kearifan lokal.

Karena itu sebaiknya dalam berdemokrasi mari kita mengedepankan pandangan:

(1) bahwa setiap anak Maluku siapapun dia adalah putra/i terbaik yang hendak menggunakan hak konstitusional selaku warga negara untuk mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah, mari kita sambut dengan senang hati.

Baca Juga  Tak Ada Listrik, Warga Fordata di KKT Terpaksa Gunakan Pelita dan Lilin

(2) bahwa prinsip dan hakikat pemimpin kepala daerah siapapun dia hadir untuk umat, mampu membangun Maluku lebih baik menuju kesejahteraan rakyatnya, berlaku adil secara proporsional dan

(3) pada akhirnya rakyatlah akan menentukan dengan cara memilih secara langsung, siapa yang terpilih itu juga sudah suratan takdir kehendak Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa. Selanjutnya tugas kita sebagai warga Maluku adalah mengawal menegur kepemimpinannya manakala ada kekeliruan kita wajib menegur atau mengingatkannya.

Jika demikian maka jangan lagi kita berdebat kusir yang cenderung menjustifikasi dan masuk pada ranah privasi sesama kita dan kerap kali membangun pemikiran atas nama agama, mestinya atas nama demokrasi yang bertumpu pada nilai-nilai etika/adab dan moral sebagaimana tuntunan ajaran Agama.

Mari kita terus berdiskusi dalam suasana dialektika saling memberikan pencerahan saling berwasiat kearah kebaikan demi Maluku berkemajuan dengan tetap mengedepankan kearifan lokal.

Penulis adalah pemerhati sosial politik dan kebijakan publik Maluku