TABAOS.ID,- Satu video pendek memperlihatkan sejumlah orang membacakan pernyataan sikap di depan Gedung Konsulat Republik Indonesia di New York dan naskah pernyataan sikap yang dibuat West Papua-Moluccas Coalition – USA diterima media ini (14/04). Berikut kutipan pernyataan sikap yang dibuat pada 12 April 2021 di Amerika Serikat tersebut:
Bangsa Maluku dan Papua (selain bangsa Timor; di Nusa Tenggara Timur dan Timor Leste) adalah kedua bangsa pribumi yang berasal dari rumpun ras Bangsa Melanesia, atau rumpun ras bangsa berkulit hitam, yang umumnya menempati kawasan Pasifik Selatan.
Sebelum dianeksasi ke dalam wilayah-wilayah koloni Indonesia saat ini, kedekatan wilayah antara Papua dan kepulauan Maluku telah mempengaruhi hubungan interaksi sosial-budaya dan ikatan historis kedua wilayah ini selama berabad-abad.
Secara historis, perkembangan peradaban bangsa Papua tak terlepas dari hubungan dan campur tangan saudara/i (basudara) orang-orang Maluku. Hal ini terjadi sebelum dan sesudah kedatangan bangsa-bangsa asing (China, Arab, Eropa) di abad V hingga VII, maupun sebelum proklamasi negara Indonesia di tahun 1945 yang berdampak pada aneksasi hingga eksploitasi sumber daya alam (SDA) pada wilayah West Papua, Maluku dan Timor Timur (Timor Leste).
Benih-benih nasionalisme yang terbangun melalui sejarah, persamaan nasib dan impian akan masa depan yang lebih baik, telah lama membentuk indentitas kebangsaan, baik sebagai bangsa Maluku dan bangsa Papua. Ini berlangsung sebelum maupun sesudah Indonesia menancapkan cengkeraman imperialismenya di kedua wilayah tersebut.
Misalnya, lahirnya Republik Maluku Selatan (RMS) sebagai janin sebuah negara baru yang merdeka pernah diproklamasikan pada 25 April 1950 di Ambon. Namun dihancurkan oleh militer Indonesia beberapa bulan sejak diproklamasikan karena didorong semangat neo-imperialisme Soekarno, presiden pertama Indonesia.
Pada 12 April 1966, Christian Soumokil, seorang tokoh dan presiden kedua RMS kemudian dieksekusi dan jazadnya/kuburannya tidak pernah ditemukan hingga hari ini. Ribuan rakyat Maluku yang terlibat dalam gerakan pembebasan Republik Maluku Selatan (RMS) saat itu juga telah dibantai oleh militer Indonesia. Meski begitu, kesadaran nasionalisme dan spirit perjuangan pembebasan bangsa Maluku tidak pernah hilang hingga hari ini.
Proses dekolonisasi yang didukung bekas kolonial Belanda dengan pembentukan cikal bakal negara West Papua juga pernah terjadi pada tahun 1961. Hal ini ditandai dengan pemilihan dan dilantiknya Dewan Rakyat Nieuw Guinea (Nieuw Guinea Raad) pada April 1961, yang kemudian mengesahkan perangkat kenegaraan Papua Barat, serta mulai dikibarkannya bendera Papua ‘Bintang Fajar’ sejak 1 Desember 1961 di seluruh wilayah West Papua.
Sayangnya, janin negara West Papua itu akhirnya digagalkan oleh invansi militer Indonesia melalui operasi Trikora yang diumumkan pada 19 Desember 1961 oleh ambisi neo imperialisme Soekarno yang didukung kekuatan imperialis- kapitalis global.
Skenario pencaplokan wilayah West Papua dari Belanda ke Indonesia dilatari ketertarikan atas endapan mineral berharga terbesar di dunia berupa emas, tembaga dan lain-lain di wilayah Pegunungan Papua, serta alasan ketakutan meletusnya Perang Dingin.
Hal itu lantas mendorong suatu konspirasi dengan lahirnya Perjanjian New York, 15 Agustus 1962 yang ditanda tangani Belanda, Indonesia dan Amerika Serikat, tanpa melibatkan orang Papua. Rakyat Papua juga telah berada dalam tekanan militer Indonesia, ketika ‘Referendum Palsu’ atau Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 dilakukan dengan cara manipulatif untuk menentukan wilayah West Papua bergabung dengan Indonesia.
Sidney University Australia pernah mencatat bahwa kurang lebih ada sekitar 800.000 orang Papua telah terbunuh sejak Indonesia menguasai Papua. Antara tahun 1962-1966, Indonesia melalui semangat neo-imperialisme presiden Soekarno, telah berkonfrontasi dan berencana menduduki wilayah Malaysia untuk digabungkan dengan wilayah Indonesia.
Namun rencana itu gagal! Setelah berhasil mencaplok wilayah West Papua pada 1963, Indonesia kemudian melakukan invasi militer serupa melalui Operasi Seroja yang dimulai pada 7 Desember 1975 untuk mencaplok wilayah Timor Timur (Timor Leste) yang sebelumnya dijajah Portugis. Meski begitu, setelah 24 tahun dijajah Indonesia, Timor Leste akhirnya dapat membebaskan diri dari jeratan neo-imperialisme Indonesia pada tahun 1999 sebagai negara merdeka.
Realita saat ini menunjukan bahwa sejak wilayah kepulauan Maluku dan Papua menjadi bagian Indonesia, kedua wilayah ini masih tercatat sebagai wilayah berpenduduk paling miskin, meskipun memiliki sumber daya alam (SDA) yang melimpah. Era reformasi yang mulai bergulir sejak jatuhnya presiden diktator militer Soeharto, sesungguhnya tidak membuat Indonesia menjadi lebih baik dalam hal kebebasan berdemokrasi dan perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM).
Indonesia juga kian terpuruk karena masih berada dalam daftar negara-negara terkorup di dunia menurut Transparansi International. Kendali atas sumber daya ekonomi dan politik milik rakyat Indonesia saat ini cenderung dikuasai oleh kelompok-kelompok oligarki baru yang sangat korup!
Dalam laporan tahunan yang dirilis Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat belum lama ini terkait pelanggaran HAM di sejumlah negara pada tahun 2020, Indonesia termasuk dalam daftar negara di dunia yang memiliki catatan terburuk. Hal ini terkait dengan 3 (tiga) hal utama seperti; masih adanya pembunuhan di luar hukum, penyiksaan dan perlakuan hukum yang kejam, dan penangkapan sewenang-wenang.
Di Papua misalnya, masih terjadi kekerasan, pembunuhan di luar hukum, pengekangan terhadap ruang demokrasi, hingga pengerahan dan operasi militer dalam skala besar guna pengamanan area eksploitasi sumber daya alam (SDA) Papua. Hutan tropis Papua yang berfungsi sebagai paru-paru dunia kini sedang berada dalam kondisi degradasi, deforestasi dan penghancuran (ekosida) akibat eksploitasi serta ekspansi kelapa sawit skala besar yang direstui resim oligarki Pemerintah Indonesia.
Rakyat Papua juga masih mengalami perlakuan diskriminatif (rasisme) sistemik, bahkan kini berada dalam ancaman kepunahan (depopulasi) di tanah sendiri akibat pendudukan dan kolonisasi Indonesia yang sedang berlangsung hingga hari ini.
Di Maluku, sejumlah aktivis pro demokrasi, simpatisan dan para aktivis gerakan Republik Maluku Selatan (RMS) / Front Kedaulatan Maluku telah mengalami persekusi, intimidasi, penganiayaan, pemenjaraan dan perlakuan hukum yang sewenang-wenang.
Pemerintah Indonesia melalui aparat keamanan, masih mengenakan pasal makar (separatis) yang adalah pasal karet peninggalan kolonial Belanda untuk mengintimidasi warga, simpatisan dan para aktivis Maluku.
Tuntutan/Pernyataan Sikap, Mencermati situasi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi di Indonesia, terutama di Papua dan Maluku, kami mendesak agar:
1. Pemerintah Indonesia untuk segera membuka informasi mengenai keberadaan makam/kuburan DR. Christian Robert Soumokil, presiden kedua Republik Maluku Selatan (RMS) yang telah dibunuh militer Indonesia pada 12 April 1966. Sebab hingga hari ini, keberadaan jasad/kuburan DR. Christian Robert Soumokil tidak pernah diketahui keluarga.
2. Mendesak organisasi pegiat Hak Asasi Manusia (HAM) internasional dan masyarakat internasional (negara-negara di dunia) untuk dapat melakukan tekanan kepada Pemerintah Indonesia, terkait dengan berbagai pelanggaran HAM yang terjadi, terutama di West Papua, Maluku dan sejumlah wilayah di Indonesia.
3. Mendesak Pemerintah Indonesia segera membebaskan dengan tanpa syarat 14 tahanan politik Maluku yang sedang dipenjara, dan mendesak pembebasan para tahanan politik Papua yang juga dipenjara karena menyuarakan aspirasi politik.
4. Mendesak Pemerintah Indonesia untuk segera membuka akses bagi Komisi Tinggi untuk Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mengunjungi Papua, Maluku dan beberapa wilayah di Indonesia; perlu dibukanya ruang demokrasi, akses bagi media internasional untuk meliput di Papua, Maluku dan tempat lain di Indonesia yang mengalami situasi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
5. Mendesak agar Pemerintah Indonesia untuk memberikan Hak Menentukan Nasib Sendiri (the Rights for Self Determination) bagi bangsa West Papua dan Maluku. Sebab sebagai bagian dari masyarakat pribumi internasional, bangsa Papua dan Maluku sesungguhnya memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri dengan cara menjadi bangsa yang berdaulat (merdeka).
Hal ini seperti tercantum dalam Piagam PBB Pasal 1 (ayat 2) dan Pasal 2, Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hak-hak Masyarakat Pribumi / United Nations Declaration on the Rights of Indigenous People (UNDRIP). Dengan demikian prinsip internasional “Usi Possidetis Iuris” yang sering menjadi dasar argumen bagi pemerintah Indonesia untuk mengklaim wilayah kekuasaannya atas West Papua dan Maluku yang sebelumnya adalah bekas wilayah koloni Belanda, dapat dikesampingkan!
Pernyataan sikap ini dibacakan di depan kantor Konsulat Republik Indonesia, New York, AS. Pada hari ini : Senin, 12 April 2021. Mena Muria, Free West Papua. Free West Papua, Mena Muria!
(T15)