Pertama Kali di Maluku, Presenter TV Dihadirkan Sebagai Saksi Terkait Penyiaran Berita

0
1420
Christin Pesiwarissa, Presenter Molluca TV (tv lokal Maluku) terpaksa harus duduk di kursi pesakitan sebagai saksi di Pengadilan Negeri (PN) Ambon, Selasa, (18/8/2020). Foto : Istimewa

TABAOS.ID,- Hari itu, Selasa 18 Agustus 2020, sekira pukul 16.10 Wit, Christin Pesiwarissa, Presenter Molluca TV (TV lokal Maluku) terpaksa harus duduk di kursi pesakitan sebagai saksi di pengadilan  Negeri (PN) Ambon.

Christin, dihadirkan sebagai saksi, dalam sidang dugaan tindakan Makar atas tiga pimpinan FKM-RMS. Ada dua saksi yang di hadirkan penuntut umum Kejaksaan Negeri(Kejari) Ambon untuk membuktikan dugaan tindak pidana makar.

Adapun pidana makar itu dituduhkan pada Simon Viktor Taihittu, Abner Litamahuputty dan Johanis Pattiasina. Christin salah satunya. Saksi lainnya, Magdalena Noya istri dari tedakwa, Johanis Pattiasina. Kedua saksi ini diperiksa secara terpisah oleh majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Ambon, Hakim Hukayat selaku hakim ketua dibantu dua hakim anggota.

Christin dihadirkan sebagai saksi atas surat panggilan yang dibuat penuntut umum Kejaksaan Negeri Ambon dengan nomor, SP-754/Q.1.10/Eoh.2/08/2020/ pada tanggal 10 Agustus 2020.

Christin Pesiwarissa yang dalam profesinya dilindungi UU Pers itu dipaksakan menjadi saksi. Meski secara UU dilarang pekerja pers dihadirkan sebagai saksi, namun faktanya ia hadir di kursi saksi.

Tak hanya didepan Majelis Hakim, di kepolisian sebelumnya juga, Christin dan rekannya Edison Waas Reporter Molluca TV juga diperiksa sebagai saksi kaitan dengan karya Jurnalis yang menanyangkan pernyataan tiga terdakwa terkait RMS, pada senin, 20 April 2020 lalu.

Saat dihadirkan sebagai saksi, Christin saat itu tengah sakit. kaki kanannya sementara dibalut oleh kain, karena terkilir. Meski begitu, dia harus hadir, karena panggilan surat itu.

“Mau bagaimana lagi, karena sudah dua kali dipanggil jadi harus datang saja. Memang masih sakit, tapi biar semuanya selesai beta (saya) sebagai,” jelas dia.

Christin menyesalkan kehadirannya di pengadilan, karena sebelumnya telah memberikan sumpah saksi di penyidik kepolisian agar tidak lagi menghadiri persidangan itu.

“Ya, beta sudah saksi sumpah atas petujuk rekan-rekan IJTI saat itu. Itu sudah dilakukan didepan penyidik saat itu. Namun entah kenapa saya dipanggil berturut-turut oleh jaksa,” sesal dia.

Kepada pers diakui Christin, beberapa kali dipanggil sebagai saksi oleh penyidik subdit I Dirkrimum Polda Maluku bersama sejumlah rekannya. Salah satunya Edison Waas.

Selain pemeriksaan oleh polisi, dikatakan polisi juga sempat melakukan intimidasi di dalam kantor redaksi hingga penyitaan kamera milik wartawan Edison Waas.

“Betul, setelah diperiksa oleh penyidik, mereka kembali lagi mendatangi kantor Molluca TV. Kedatangannya itu untuk mengamankan barang bukti, bahkan saat itu mereka mau menyita alat-alat kerja dan computer. Namun karena semuanya itu berhubungan, makanya dibatalkan dan hanya menyita kamera milik Edison saja,” beber Christin.

Sementara itu, di hadapan hakim, Christin menceritakan saat menayangkan pemberitaan tersebut, telah melalui proses pembuatan naskah yang dilakukan oleh rekannya Edison Waas.

Baca Juga  SKK Migas – KKKS Pamalu Salurkan Bantuan Kepada Anak Yatim Piatu, Tenaga Medis, Awak Media Serta NgO di Kota Ambon

Edison baru menyerahkan video usai meliput  keterangan pers tiga terdakwa tersebut, jumat 17 april 2020. Berselang tiga hari lamanya, berita itu baru dibawa ke kantor lantaran hari libur.

Lanjut Christin, disaat itu, karena bertepan dengan waktu deadline berita, maka berita lalu di tayangkan.

“Edison sempat menyodorkan beritanya untuk saya. Dia sempat menawarkan berita ini bisa naik aatau tidak, tapi karena saya lagi fokus mengedit naskah berita yang lain makanya saya bilang bisa naik. Jadi selain waktu deadline, kita juga kekurangan berita sehingga berita itu lalu di tayangkan”, akui dia.

Menurut dia, berita yang ditayangkan berkaitan sikap politik RMS oleh ketiga terdakwa yang menyebut, perjuangan RMS sudah di titik akhir.

“Yang saya tau itu ada dua orang (Vicktor Taihitu dan Johanis Pentury). Berita itu saya tahu hanya berkaitan dengan Republik Maluku Sekatan (RMS),” jelas dia sembari menujuk kearah layar virtual yang menggambarkan posisi ketiga terdakwa yang berada di Rutan Kelas IIA Ambon.

Dikatakan, manejemen keredakasian Molluca TV juga tidak berjalan dengan baik, lantaran kekurangan tenaga dan juga posisi Pimpinan Redaksi juga tidak berada ditempat.

“Jadi biasannya, ketika reporter itu mengambil berita, dia mengedit gambar dan membuat naskah. Selanjutnya, naskah itu diedit oleh sekretaris redaksi  yang juga adalah dirinya, setelah melalui proses rapat redaksi”, terang dia.

lebih lanjut ditambahkannya, kemudian berita mau ditayang harus melalui keputusan Pimred. Sayangnya, Pimred tidak berada di tempat. Sistim ini juga tidak berjalan baik sejak lama di Molluca TV.

Saat berita itu tayang, masih kata Christin, ia baru mengetahui kalau berita itu bermasalah setelah kehadiran salah satu Intel Polresta Pulau Ambon dan Pp Lease yang datang ke redaksi Molluca TV yang terletak di lantai III Gedung Cafe Tiam, Jln Diponegoro, Sirimau Ambon.

“Beta (saya) ditanya, kenapa berita ini ditayang. Disitu baru beta mengetahui kalau berita itu bermasalah, itu saja”, terang dia.

Terhadap Christin puluhan pertanyaan dilontarkan. Meski begitu, dirinya terus menjawab sesuai yang dialami saat itu. Sayangnya, sesaat sebelum sidang diakhiri, Hakim Hukayat selaku hakim ketua mempertanyakan berita yang disiarkan oleh Christin.

Hakim juga terlihat menyalahkan saksi, karena telah bertindak ceroboh, karena dianggap menyiarkan berita yang merupakan karya jurnalistik tersebut. Bahkan Christin yang duduk sebagai saksi, diperintah agar tidak mengulangi perbuatannya untuk menyiarkan berita yang bersifat makar.

“Saudara lulusan apa sih, coba cek dan ricek dululah. Kalau tidak bisa naik jangan dipaksakan. Harus berimbang ya lain kali,” tegas Hukayat.

Terhadap Kehadiran Christin Sebagai saksi dalam Persidangan, IJTI sebagai Konstiuen Dewan Pers, menyesalkan kejadian tersebut karena apa. Bahwa kebebasan pers adalah salah satu bentuk jaminan pemenuhan hak warga negara atas informasi, hak asasi manusia.

Baca Juga  Mahasiswa Papua & Maluku Ajak Masyarakat Golput Pemilu 2019

Juga hak warga negara untuk tahu yang lebih merupakan kewajiban negara untuk dipenuhi atau diberikan kepada wartawan. Hak untuk mendapatkan, mengolah dan menyampaikan informasi yang sepenuhnya harus dijamin oleh Negara.

Ketua IJTI Pengda Maluku Juhry Samanery menyesalkan kehadiran Christin Pesiwarissa meskipun sebagai saksi dalam persidangan tersebut.

Dikatakan, kemerdekaan pers adalah salah satu  wujud  kedaulatan  rakyat  yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, hak asasi manusia dan supremasi hukum.

Lanjut Koresponden SCTV – Indosiar di Maluku ini, dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan untuk meningkatkan kehidupan pers nasional dibentuk Dewan Pers yang independen, untuk melindungi kemerdekaan pers, menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik serta memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers;

“Kasus pers adalah kasus yang terkait dengan karya jurnalistik dan atau kegiatan jurnalistik oleh wartawan dan perusahaan pers yang memenuhi syarat ketentuan Undang Undang No 40/1999 tentang Pers dan Peraturan- Peraturan Dewan Pers. Selain itu karya jurnalistik adalah hasil kegiatan jurnalistik yang berupa tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, elektronik dengan menggunakan sarana yang tersedia,” beber Samanery.

Dijelaskan kehadiran Christin yang merupakan anggota IJTI merupakan kegagalan demokrasi akan kemerdekaan pers.

”Ini merupakan kemunduran demokrasi, terutama kemerdekaan pers sesuai Undang-undang. Karena apa, itu kan, sudah menjadi karya jurnalistik dan sudah tayang. Seharusnya itu yang dipakai sebagai barang bukti, tapi kenapa wartawan bahkan presenternya dijadikan sebagai saksi atas karya jurnalistik itu,” sesal dia.

Dikatakan Samanery, Pasal 7 dalam Kode Etik Jurnalistik telah menerangkan Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan “off the record” sesuai kesepakatan.

“IJTI Pengda Maluku selama ini melakukan advokasi dan mendampingi saksi. Saksi telah diarahkan untuk membuat hak tolak sesuai dengan Undang-undang Pers, tapi mengapa mereka tidak pahami? ini tentunya masalah bagi kita pekerja media kedepannya,” ujar Samanery.

Dalam waktu dekat, kata Samanery IJTI Pengda Maluku akan berkoordinasi dengan IJTI Pusat, dan juga dewan pers untuk membahas masalah ini. sudah hampir 4 bulan dari pemanggilan penyidik kepada para saksi, kami terus damping. Dan tentunya, semua akan kami rampungkan dan tindak lanjuti ke Dewan Pers, karena ini masalah pers,” tutur dia.

Kehadiran Cristin sebagai saksi dalam persidangan itu, membuat IJTI Pengda Maluku sebagai salah satu Konstituen dewan pers menganggap ini merupakan sebuah penghinaan terhadap profesi jalan menjalankan tugas dan fungsinya prinsip-prinsip demokrasi, hak asasi manusia dan supremasi hukum berdasarkan UU No 40/1999.

Baca Juga  Aplikasi MyTelkomsel Hadirkan Versi Terbaru untuk Tingkatkan User Experience

Hal senada juga disampaikan, LBH Pers Maluku, Sarchy Sapury menyesalkan kehadiran christin menghadiri persidangan saksi atas penyiaran berita yang tentunya merupakan karya jurnalistik.

Selain itu, Sarchy juga menyesalkan atas pernyataan Hakim atas  pernyataannya seakan-akan mengintervensi tugas dari pekerja pers.

Menurut Sarchy, hakim seharusnya  menjalankan tugas sesuai Tupoksi. Dalam persidangan itu, Hakim lebih menyimpulkan saksi terhadap kasus tersebut.

“Hakim terlihat menyalahkan saksi, karena telah bertindak ceroboh, karena dianggap menyiarkan berita yang merupakan karya jurnalistik tersebut. seharusnya, hakim tidak lebih dulu berkesimpulan, terhadap suatu berita yang merupakan karya jurnalistik. Terhadap itu, bagi IJTI Pengda Maluku, hakim sebenarnya tidak memahami mekanisme kemerdekaan pers situ sendiri, dan hanya lebih menyalahkan saksi yang notabenennya hanya menjalankan tugas sebagai presenter televise,” kata Sarchy

Untuk itu, pernyataan terhadap saksi dalam persidangan tersebut, LBH pers meminta agar Komisi Yudisial mengevaluasi para hakim yang memimpin jalannya persidangan yang menghadirkan saksi seorang pekerja pers.

Sementara itu, LBH Pers Maluku juga akan menindaklanjuti berbagai laporan dari pada saksi terkait adanya intimidasi dan juga penyitaan perlengkapan peliputan berupa kamera.

“Mereka sita kamera tanpa ada izin dari pengadilan itu sudah melanggar hukum dan kemerdekaan pers. Kita secepatnya akan memproses peristiwa itu,” tegas Sarchy.

Seperti diberitakan, tiga tedakwa yang mengaku petinggi Front Kedaulatan Maluku Republik Maluku Selatan (FKM-RMS), Sabtu (25/4) menerobos masuk ke Polda Maluku. Mereka masuk sekitar pukul 15.45 WIT ke markas Polda Maluku yang berada di Jalan Rijali No. 1, Kelurahan Batu Meja, Kecamatan Sirimau, Kota Ambon itu dengan membawa Bendera RMS.

Sebelum menerobos Markas Polda Maluku, ketiga orang itu berjalan kaki dari arah jembatan Skip dengan membawa bendera RMS, sambil berteriak “Mena Muria”. Sepanjang perjalanan, mereka membentang bendera RMS atau yang dikenal dengan istilah benang raja itu. Aksi mereka menjadi tontonan warga yang melewati jalur jalan depan Polda Maluku.

Saat tiba di depan pintu halaman, ketiganya langsung masuk, dengan tetap membentangkan bendera RMS, dan teriakan Mena Muria. Petugas di penjagaan kaget kaget. Mereka langsung bergegas keluar. Salah satu diantara petugas mengarahkan laras senjata ke arah ketiga orang itu. Seorang berpakaian petugas preman, buru-buru menutup pintu pagar halaman polda.

Ketiganya langsung diamankan dan dibawa ke ruang Ditreskrimum. Dari tangan mereka, polisi menyita satu buah bendera RMS berukuran 1 meter lebih. (T-05)