Referendum Untuk Nusantara: Menemukan Kembali Fakta Sejarah yang Dihilangkan dan Dilupakan

0
6944
Umar Santi, adalah Menteri Luar Negeri Republik Maluku Selatan (RMS) di Pengasingan (kiri), saat bertemu dengan Presiden Vanuatu, Tallis Obeb Moses (kanan).

Oleh : Umar Santi

“Dari sejarah kita belajar bahwa umat manusia tidak belajar dari sejarah.”Hegel

TABAOS.ID,- Masa-masa yang penuh pergolakan, diwarnai dengan  kisah jatuh dan bangunnya kehidupan suatu bangsa, selalu memenuhi catatan sejarah dari suatu bangsa di setiap zaman.

Masa itu akan membangkitkan emosi dari para pelaku dan juga  generasi berikutnya yang membaca catatan sejarah. Catatan sejarah dari masa itu biasanya dipenuhi dengan kisah penindasan dan  berbagai upaya untuk mengakhiri penindasan tersebut. Itulah sebabnya,  Karl Marx (1818-1883), murid dari filsuf besar Jerman, Hegel (1770-1831), menyimpulkan dalam tesisnya bahwa “sejarah umat manusia adalah sejarah penindasan.” Dan yang sangat menyedihkan adalah umat manusia tidak pernah belajar dari sejarah. Mengapa demikian? Karena sejarah selalu ditulis oleh mereka yang menang. Dan mereka yang menang tidak selamanya ada di pihak yang ditindas.

Seringkali sejarah kita ditulis si penindas. Bagaimanakah kita bisa mengetahui bilamana suatu catatan sejarah itu ditulis oleh si penindas ataukah ditulis yang ditindas?. Mudah saja, yaitu dengan memperhadapkan catatan sejarah tersebut dengan fakta-fakta yang ada pada saat peristiwa yang dicatat tersebut terjadi.

Fakta Sejarah Nusantara

Pada tanggal 2 April 1595 empat buah kapal milik Belanda yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman berangkat dari Amsterdam menuju Banten yang berdasarkan informasi dari para pedagang Portugis dikatakan Banten pada masa itu adalah tempat dimana mereka bisa memperoleh rempah-rempah. Pada tanggal 27 Juni 1596, pelayaran ekspedisi Cornelis de Houtman tiba di Banten. Pada tahun 1598 raja Spanyol yang telah melakukan penyatuan politik dengan Portugal melalui pernikahan keluarga kerajaan melakukan embargo perdagangan terhadap kerajaan Belanda yang memaksa Belanda untuk memiliki jalur perdagangan sendiri sehingga Belanda bisa mendapatkan rempah-rempah langsung dari sumbernya.

Pada tahun 1599, sisa-sisa awak ekspedisi pelayaran Cornelis de Houtman tiba kembali di Belanda untuk melaporkan hasil ekspedisi mereka serta jalur pelayaran yang telah mereka temukan. Cornelis de Houtman sendiri tidak pernah kembali ke Belanda karena terbunuh dalam pertempuran melawan pasukan Aceh Inong Balee yang dipimpin Malahayati pada tanggal 11 September 1599.

Di bulan Februari 1605, Steven van der Hagen, seorang admiral perusahaan dagang Belanda VOC berhasil menaklukkan Portugis dan merebut Benteng Victoria yang dibangun Portugis di Pulau Ambon, Maluku. Peristiwa ini menandai rangkaian kisah penaklukan dan penguasaan Belanda terhadap penduduk dan wilayah yang terdapat di kepulauan Nusantara yang merentang hingga berakhirnya perang dunia ke-II di tahun 1945.

Adalah fakta sejarah, Belanda menaklukkan berbagai wilayah di kepulauan nusantara dan merampas kedaulatan atas setiap wilayah tersebut bukan dari kerajaan Sriwijaya, bukan dari kerajaan Majapahit dan terlebih lagi bukan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Fakta sejarah menunjukkan, kedaulatan pertama kali telah dirampas Belanda dari tangan rakyat di Maluku kemudian berturut-turut dari tangan rakyat di Banten dan di Jawa, di Sumatera, di Kalimantan dan di Sulawesi.

Merupakan fakta sejarah,  bahwa rakyat di tiap wilayah tersebut adalah rakyat yang merdeka secara politik (memiliki struktur pemerintahan masing-masing) dan memiliki otonomi di bidang ekonomi yang tidak berasal dari satu pemerintahan hirarkis di atas mereka. Artinya mereka dapat melakukan perdagangan secara bebas dengan pihak manapun sesuai dengan keinginan masing-masing. Singkat kata, setiap rakyat dan wilayah di kepulauan nusantara pada waktu itu adalah merupakan negara-negara berbentuk kesultanan (Kesultanan Aceh, Kesultanan Makassar, Kesultanan Ternate dan Tidore, dsb) atau wwilayah merdeka (free States) seperti kepulauan Sunda Kecil, kepulauan Ambon-Lease, kepulauan Banda dan Tanimbar, dan wilayah-wilayah lain di Kalimantan.

Di belahan dunia yang berbeda seperti di Brunei Darussalam ataupun Arab Saudi, kesultanan adalah merupakan bentuk suatu negara atau pemerintahan. Hanya di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia saja ditemukan seperti Kesultanan Solo, Kesultanan Yogyakarta, Kesultanan Ternate dan Kesultanan Tidore dianggap sebagai bukan negara.

Wilayah yang dahulunya bersifat otonom dan memiliki struktur pemerintahan masing-masing seperti di Kepulauan Ambon-Lease dianggap sebagai wilayah bukan negara. Padahal kalau berkaca pada ilmu politik dan pemerintahan yang diterima dunia modern pada umumnya, wilayah tersebut tidak ada bedanya dengan polis di zaman Yunani purba dahulu kala. Artinya wilayah-wilayah tersebut adalah wilayah yang merdeka dan berdaulat dan dihuni penduduk atau masyarakat yang juga merdeka dan berdaulat.

Apapun penafsirannya namun fakta kesejarahannya tetap sama. Yaitu bahwa kedaulatan atas setiap wilayah di kepulauan nusantara telah dirampas Belanda bukan dari kerajaan Sriwijaya, bukan dari kerajaan Majapahit dan jelas sangat tidak bisa dipungkiri bukan pula dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Melainkan dari setiap kesultanan dan wilayah otonom yang dalam kajian ilmu politik dan ketatanegaraan di dunia manapun kecuali di Indonesia merupakan negara dengan sendirinya.

Mengapa demikian? Karena setiap wilayah tersebut memiliki batas wilayah yang jelas, memiliki rakyat dan memiliki struktur pemerintahan yang diakui dan ditaati oleh rakyatnya (struktur pemerintahan tradisionil dan adat) dan mereka diakui oleh negara atau kerajaan atau kesultanan-kesultanan lain di luar nusantara yang dibuktikan dengan adanya aktivitas perdagangan yang bebas di antara mereka. Ingatlah bahwa syarat berdirinya suatu negara adalah harus ada wilayah, ada rakyat, ada pemerintahan yang diakui oleh rakyat di wilayah tersebut, dan ada pengakuan dari pihak asing yang dibuktikan melalui hubungan diplomatik dan perdagangan dengan pihak asing tersebut. Setiap wilayah di nusantara pada masa itu jelas-jelas telah memenuhi persyaratan tersebut.

Fakta Prinsip Hukum Internasional

Segera setelah berakhirnya perang dunia ke-II, dunia internasional sepakat bahwa adalah hak setiap bangsa untuk hidup di alam kemerdekaan. Oleh karena semua wilayah jajahan (koloni) di Asia, Afrika dan Amerika Latin harus dimerdekakan dan kedaulatan penduduk di setiap wilayah jajahan tersebut harus dikembalikan kepada mereka. Prinsip-prinsip hukum internasional yang disepakati dan dijadikan landasan bagi proses dekolonisasi dan penyerahan kembali kedaulatan adalah tidak akan diadakannya penukaran wilayah yang bertentangan dengan kemauan yang dengan bebas dinyatakan oleh rakyat yang bersangkutan (yang mendiami wilayah tersebut), menghormati hak semua bangsa (rakyat) untuk memilih bentuk pemerintahan di bawah mana mereka akan hidup dan mereka menghendaki agar hak-hak kedaulatan dan memiliki pemerintahan sendiri dikembalikan kepada mereka dari siapa hak-hak ini telah diambil (direbut) dengan paksaan.

Baca Juga  Supermarket Bawah Laut, Paradoks Laut Maluku

Kedua prinsip ini dituangkan dalam butir kedua dan ketiga dari Pakta Atlantik (Atlantic Charter) yang ditandatangani pada tanggal 14 Agustus 1941. Kedua prinsip tersebut selaras dengan pernyataan Presiden AS Woodrow Wilson bahwa “setiap penyelesaian sengketa terhadap suatu wilayah…haruslah dibuat berdasarkan kepentingan dari populasi yang bersangkutan. Hak menentukan nasib sendiri…adalah sebuah keharusan dari prinsip tindakan yang bilamana diabaikan oleh para pemimpin akan membawa bencana atas diri mereka. Rakyat tidaklah untuk dipertukarkan dari satu kedaulatan ke kedaulatan yang lain, seolah-olah mereka adalah hewan ternak atau bidak-bidak dalam sebuah permainan catur.”

Berdasarkan kedua prinsip hukum internasional di atas sebagai asas pedoman pengembalian kembali kedaulatan kepada mereka yang berhak maka dimulailah rangkaian perundingan antara pihak pemerintah kerajaan Belanda dan pihak Republik Indonesia. Sesuai dengan fakta kesejarahan bahwa kedaulatan atas wilayah di nusantara telah diambil oleh Belanda dari penduduk di masing-masing wilayah, juga selaras dengan dua prinsip hukum di atas, maka tuntutan dari delegasi RI kepada Belanda untuk adanya sebuah pengakuan kedaulatan NKRI hasil proklamasi 17 Agustus 1945 atas seluruh wilayah bekas Hindia Belanda tidaklah dapat dipenuhi.

Selain itu perlu ditambahkan bahwa proklamasi 17 Agustus 1945 tersebut adalah cacat demi hukum. Karena proklamasi sejatinya harus merupakan pernyataan kehendak seluruh rakyat yang ada di tiap wilayah bekas jajahan Hindia Belanda. Namun dalam kenyataannya proklamasi 17 Agustus 1945 bukanlah merupakan hasil dari keputusan yang dimusyawarahkan bersama dan diambil oleh wakil dari tiap-tiap wilayah yang ada di nusantara atau bekas jajahan Hindia Belanda.

Yang hadir dalam perumusan dan pembacaan naskah proklamasi tersebut hanyalah perwakilan dari Jawa dan Sumatera. Otomatis wilayah di luar Jawa dan Sumatera tidak terwakili di dalam proklamasi tersebut. Faktor lain yang juga membuat naskah proklamasi 17 Agustus 1945 itu cacat hukum adalah pernyataan “kami bangsa Indonesia…”. Mengapa? Karena kembali faktanya adalah bangsa Indonesia tersebut tidak pernah ada dan bahwa Belanda tidak pernah mengambil kedaulatan atas seluruh wilayah di Nusantara dari satu bangsa yang namanya Indonesia.

Artinya adalah subyek hukum atau pelaku hukum yang disebutkan di dalam naskah proklamasi 17 Agustus 1945 yang dinamakan sebagai bangsa Indonesia tersebut secara hukum tidaklah eksis. Kalau subyek hukumnya tidak eksis maka dokumen tersebut dengan sendirinya tidak memiliki kekuatan hukum. Sebagaimana yang pernah dinyatakan oleh Benedict Enderson, Indonesia hanyalah sebatas komunitas terbayang, sebuah hasil rekayasa imajinasi para penggagasnya, sebuah kisah fiktif terbesar di abad ke-XX.

Dalam berbagai perundingan yang berlangsung antara perwakilan dari pihak RI, dari pihak yang tidak terwakili dalam proklamasi 17 Agustus 1945 dan dari pihak Belanda dirumuskanlah butir-butir penting kesepakatan yang menentukan mekanisme penyerahan kembali kedaulatan (transfer of sovereignty) dari pemerintah Belanda kepada setiap penduduk di tiap wilayah nusantara.

Butir-butir kesepakatan tersebut dilandaskan pada 12 dokumen hukum, antara lain: Atlantic Charter pasal 1, 2 dan 3 yang sudah disebutkan diatas; Piagam PBB pasal 1 ayat (2), pasal 2 ayat (7), pasal 12, dan pasal 102; Protokol Pertemuan Hoge Veluwe tanggal 29 April 1946; Resolusi Malino tanggal 24 Juli 1946; Dekrit Letnan Gubernur Jendral Hindia Belanda No.86 tanggal 20 Agustus 1946; Muktamar Denpasar pasal 5 tanggal 7 Desember 1946; Perjanjian Linggarjati pasal 3, 4 dan 5 tanggal 23 Maret 1947; Perjanjian Renville di ayat-ayat tambahan 2, 3, 6 dan 11 tanggal 17 Januari 1948; Resolusi Dewan Keamanan PBB pasal VI paragraf IV tanggal 28 Januari 1949; Petunjuk Resolusi (PBB) tanggal 23 Maret 1949; Perjanjian Roem-van Royen tanggal 7 Mei 1949; dan Perjanjian Konferensi Meja Bundar tanggal 2 November 1949 dengan Perjanjian Transisinya pasal 2 ayat (1) dan (2).

Berdasarkan kebiasaan hukum antar bangsa-bangsa, prinsip hak menentukan nasib sendiri (right of self-determination) secara umum diterima sebagai sebuah prinsip hukum internasional, dan menurut peraturan hukum antar bangsa hak menentukan nasib sendiri tersebut akan menjadi hak yang tak dapat disangkal (undeniable right) selekasnya hak tersebut secara terbuka (explicit) dimasukkan di dalam isi persetujuan atau perjanjian. Sebagai peraturannya maka persetujuan atau perjanjian tersebut, apakah mereka merupakan persetujuan atau perjanjian damai ataukah bukan, menciptakan sebuah situasi baru terhadap status politik dari pihak-pihak yang disebutkan dalam isi persetujuan atau perjanjian tersebut.

Berdasarkan ketentuan di atas maka berikut adalah beberapa pembuktian secara hukum bahwa hak untuk menentukan nasib sendiri telah diberikan kepada penduduk di setiap wilayah yang ada di nusantara dan bahwa hak tersebut telah secara nyata dan terbuka dicantumkan di dalam isi dari setiap persetujuan atau perjanjian yang telah dibuat dalam rangka penyerahan kembali kedaulatan kepada tiap-tiap penduduk dan wilayah sesuai dengan keinginan mereka masing-masing.

Kutipan dari Konsep Protokol Pertemuan Hoge Veluwe tanggal 29 April 1946 paragraf 1 dan 2: “…Pada pembicaraan tersebut oleh pihak Indonesia senantiasa dinyatakan bahwa Republik Indonesia yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 menggambarkan keinginan yang mendalam dari suatu ekspresi kebangsaan dan kemerdekaan dari seluruh Indonesia (bagian akhir dari paragraf 1). Yang menjadi pertanyaan sekarang sampai di mana Republik Indonesia di daerah-daerah di luar Jawa juga mengandung makna seperti disebutkan di muka.

Hal ini hanya dapat ditentukan oleh suatu pernyataan yang bebas dari bagian-bagian lain Indonesia (paragraf 2).” Butir 8 dari Protokol Pertemuan Hoge Veluwe juga menegaskan bahwa “apabila suatu daerah melalui pernyataan perwakilannya masih mempunyai keberatan terhadap masuknya tak bersyarat ke dalam negara merdeka itu untuk daerah yang bersangkutan, untuk sementara waktu akan diberikan kedudukan istimewa dalam negara Indonesia merdeka yang akan dibentuk.”

Baca Juga  Strategi Pengentasan Kemiskinan di Maluku

Kutipan dari Muktamar Denpasar tanggal 7-24 Desember 1946, pasal 5 ayat 1 dan 2: “Negara memperkenankan kepada kelompok-kelompok rakyat untuk menentukan nasib sendiri melalui saluran demokratis dan berdasarkan peraturan yang disusun oleh Mahkota Belanda dengan permufakatan dengan negara dan kepada kelompok-kelompok tersebut yang tetap berada di wilayah Negara Indonesia Timur diberikan kebebasan untuk hidup sesuai dengan kepribadian masing-masing, dalam hal ini termasuk juga mengurus rumah tangga sendiri (ayat 1). Dalam tindakan yang akan diambil untuk membagi-bagi wilayah negara dalam daerah-daerah otonom harus dipergunakan sebagai pedoman keinginan penduduk yang bersangkutan, hal ini merupakan suatu unsur terpenting.

Kutipan dari Perjanjian Renville tanggal 17 Januari 1948 bagian B yang berisi 12 Dasar Persetujuan Politik Renville butir 6: “Bahwa akan diadakan plebisit sesudah waktu yang tidak kurang dari enam bulan dan tidak lebih dari satu tahun, setelah ditandatangani perjanjian, dalam waktu mana dapat terjadi tukar-menukar pikiran, dan pertimbangan tentang soal-soal yang penting secara merdeka dan dengan tidak ada paksaan. Dalam waktu itu, dapat diadakan pemilihan umum secara merdeka, agar rakyat Indonesia dapat menentukan kedudukannya sendiri di lapangan politik dalam hubungan dengan Negara Indonesia Serikat.”

Pemilu yang dimaksud di sini adalah pemilu untuk menentukan status politik dari penduduk di setiap wilayah yang mana mekanisme pelaksanaannya adalah dalam bentuk plebisit atau referendum. Kutipan dari bagian C yang berisi 6 Aturan Tambahan butir 5 dan 6 adalah: “Sesudah ditetapkan batas-batas negara-negara bagian yang dimaksud itu, maka akan diadakan rapat pembentukan undang-undang dasar menurut cara demokrasi, untuk menetapkan konstitusi buat Negara Indonesia Serikat. Wakil-wakil dari negara-negara bagian akan mewakili seluruh rakyat (butir 5). Jika ada negara bagian memutuskan tidak akan turut serta menandatangani konstitusi tersebut sesuai dengan pasal 3 dan 4 dalam persetujuan Linggarjati, kedua pihak tidak akan keberatan diadakan perundingan untuk menetapkan perhubungan istimewa dengan Negara Indonesia Serikat (butir 6).”

Kutipan dari Special Report of United Nations Commission for Indonesia S/1417/Add.1, tanggal 14 November 1949 bagian Appendix XI Agreement on Transitional Measures Artikel 1 dan 2 yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari dokumen resmi Perjanjian KMB: “The division of the Republic of the United States of Indonesia into component states shall be established finally by the Constituent Assembly in conformity with the provisions of the Provisional Constitution of the Republic of the United States of Indonesia with the understanding that a plebiscite will be held among the population of territories thereto indicated by the Government of the Republic of the United States of Indonesia upon the recommendation of the United Nations Commission for Indonesia or the other United Nations organ referred to, on the question whether they shall form a separate component state (article 1). Each component state shall be given the opportunity to ratify the final constitution. In case a component state does not ratify that Constitution, it will be allowed to negotiate about a special relationship towards the Republic of the United States of Indonesia and the Kingdom of the Netherlands (article 2).”

Terjemahan harafiahnya adalah sebagai berikut: “Pembagian Republik Indonesia Serikat ke dalam negara-negara komponen akan ditetapkan pada akhirnya oleh Dewan Konstituante sesuai dengan ketentuan dari Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat dengan pengertian bahwa sebuah plebisit akan diadakan diantara penduduk dari wilayah-wilayah yang ditunjukkan oleh Pemerintah Republik Indonesia Serikat atas rekomendasi dari Komisi PBB untuk Indonesia atau organ PBB lainnya yang dirujuk, terhadap pertanyaan apakah wilayah-wilayah tersebut akan membentuk sebuah negara komponen yang terpisah (artikel 1). Setiap negara komponen akan diberikan kesempatan untuk meratifikasi Konstitusi akhir. Dalam hal negara komponen tidak meratifikasi Konstitusi tersebut, maka negara komponen tersebut diperkenankan untuk bernegosiasi tentang sebuah hubungan istimewa terhadap Republik Indonesia Serikat dan Kerajaan Belanda (artikel 2).

Kutipan dari Special Report of United Nations Commission for Indonesia S/1417/Add.1, tanggal 14 November 1949 bagian Appendix VII Charter of the Transfer of Sovereignty artikel 1 dan 2 menyatakan: “The Kingdom of the Netherlands unconditionally and irrevocably transfers complete sovereignty over Indonesia to the Republic of the United States of Indonesia as an independent and sovereign State (article 1). The Republic of the United States of Indonesia accepts said sovereignty on the basis of the provisions of its Constitution which as a draft has been brought to the knowledge of the Kingdom of the Netherlands (article 2).”

Terjemahan harafiahnya adalah sebagai berikut: “Kerajaan Belanda tanpa syarat dan tak dapat dicabut kembali menyerahkan kedaulatan yang lengkap atas Indonesia kepada Republik Indonesia Serikat sebagai sebuah Negara yang merdeka dan berdaulat (artikel 1). Republik Indonesia Serikat menerima kedaulatan tersebut atas dasar ketentuan dari Konstitusinya yang telah dipermaklumkan dalam bentuk rancangan kepada Kerajaan Belanda (artikel 2).”

Jelas terlihat dalam setiap kutipan di atas bahwa hak menentukan nasib sendiri dari setiap penduduk di setiap wilayah di nusantara – yang diakomodasikan ke dalam negara Republik Indonesia Serikat yang telah dibentuk bersama selaras dengan fakta kesejarahan nusantara dan juga selaras dengan prinsip-prinsip hukum internasional – telah dituliskan secara jelas dan terbuka (explicit) dan dimasukkan kedalam isi perjanjian. Dengan demikian hak menentukan nasib sendiri dari setiap penduduk di setiap wilayah nusantara telah menjadi hak yang tidak dapat disangkal (undeniable right).

Baca Juga  Fenomena Demokrasi Indonesia: Rekrutmen Kepemimpinan Nasional

Perlu ditegaskan di sini bahwa dari kutipan-kutipan di atas dapat dipahami bahwa pelaksanaan dari hak menentukan nasib sendiri tersebut harus melewati tahapan-tahapan berikut, yaitu 1). Diadakan pemilu atau plebisit (referendum) di tiap-tiap wilayah untuk menentukan keinginan dari setiap penduduk mengenai status politik mereka apakah akan menjadi bagian dari RIS ataukah hendak berdiri sendiri dan menjalin hubungan istimewa dengan RIS dan Kerajaan Belanda. 2). Keinginan penduduk di setiap wilayah kemudian dapat dinyatakan melalui tindakan meratifikasi atau menolak untuk meratifikasi Konstitusi atau Undang-Undang Dasar yang telah disusun.

Mengenai Konstitusi itu sendiri, rancangan finalnya haruslah disusun oleh sebuah Dewan Konstituante. Dan kemudian apabila penduduk suatu wilayah memutuskan untuk meratifikasi Konstitusi tersebut maka mereka dapat melakukannya melalui perwakilan yang telah ditunjuk. Hanya dan sekali lagi hanya dengan cara yang demokratis dan selaras dengan hukum tersebut sajalah maka status politik dari suatu penduduk akan mendapatkan legitimasinya. Dan bukan hanya itu saja, Konstitusi yang sudah disusun pun baru bisa sah berlaku hanya apabila Konstitusi tersebut telah diratifikasi oleh wakil dari tiap-tiap penduduk di setiap wilayah.

Dalam catatan panjang sejarah Negara Kesatuan Republik Indonesia, perubahan status politik dari tiap penduduk di tiap wilayah dari Republik Indonesia menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak pernah dilakukan melalui plebisit (referendum). Dan bukan hanya itu, pemberlakuan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Undang-Undang Dasar NKRI tidak pernah dilakukan melalui mekanisme hukum yang sah, dalam pengertian bahwa UUD 1945 tidak pernah diratifikasi oleh perwakilan dari tiap-tiap penduduk di setiap wilayah yang telah dirubah statusnya menjadi wilayah NKRI.

Fakta Penyangkalan Soekarno

Segera setelah penyerahan kedaulatan dari Kerajaan Belanda kepada Republik Indonesia Serikat, Soekarno, yang waktu itu ditunjuk sebagai Presiden RIS, mulai mempropagandakan bahwa RIS adalah negara boneka buatan Belanda. Mereka yang mendukung kedaulatan penduduk dan wilayahnya seperti Daud Beureuh, Kahar Muzakar, Andi Aziz dan Soumokil kemudian di tuduh sebagai pemberontak-pemberontak. Tidak hanya itu, Soekarno pun mulai meleburkan RIS dan mengubahnya menjadi NKRI melalui keputusan-keputusan presiden.

Berikut adalah daftar beberapa keputusan presiden tersebut: 1). Keputusan Presiden RIS No.108/1950, pembubaran daerah bagian Jawa Tengah. 2). Keputusan Presiden RIS No.109/1950, pembubaran negara Jawa Timur. 3). Keputusan Presiden RIS No.110/1950, pembubaran negara Madura. 4). Keputusan Presiden RIS No.111/1950, pernyataan pemasukan daerah Padang dalam daerah Sumatera Barat, yang termasuk dalam wilayah RI. 5). Keputusan Presiden RIS No.112/1950, pernyataan daerah Sabang masuk daerah Aceh, yang termasuk dalam wilayah RI. Dan masih banyak lagi keputusan-keputusan presiden RIS lainnya yang dikeluarkan oleh Soekarno.

Kesemuanya itu adalah merupakan tindakan penyangkalan yang paling nyata dan kesewenang-wenangan yang telah dilakukan oleh Soekarno terhadap hak menentukan nasib sendiri dari setiap penduduk di tiap wilayah nusantara. Bahkan pemberlakuan kembali UUD 1945 sebagai dasar negara adalah dengan melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1956. Hingga saat tulisan ini dibuat, meskipun telah melewati beberapa kali proses amandemen, namun faktanya adalah UUD 1945 tersebut belum pernah diratifikasi oleh perwakilan manapun dari setiap wilayah dan penduduk di Indonesia. UUD 1945 adalah satu UUD yang tidak memiliki legitimasi hukum yang penuh.

Referendum Untuk Nusantara

Melihat kembali kepada fakta sejarah dan fakta hukum yang telah ada, maka hak menentukan nasib sendiri atau referendum adalah hak penuh dari setiap penduduk di wilayah nusantara yang sekarang ini dikuasai oleh NKRI. Mengapa? Karena hak menentukan nasib sendiri adalah selaras dengan fakta sejarah dan juga selaras dengan bukti-bukti hukum dimana hak tersebut dinyatakan secara terbuka (explicit) di dalam lebih dari satu (1) dokumen hukum perjanjian internasional.

Oleh karenanya hak menentukan nasib sendiri tersebut tidak dapat disangkal, tidak dapat dibatalkan bahkan telah memiliki kekuatan hukum tetap. Yang perlu dilakukan oleh tiap-tiap penduduk di wilayah yang sekarang ini telah menjadi NKRI adalah mengklaim kembali hak menentukan nasib sendiri milik mereka melalui penyelenggaraan referendum di wilayah mereka masing-masing, untuk kemudian melalui wakil-wakil yang telah mereka pilih dan mereka tunjuk menyatakan secara terbuka keputusan mereka sendiri mengenai status politik yang mereka kehendaki kedepannya.

Perlu ditegaskan di sini bahwa penentuan status politik ini haruslah menuruti dan merujuk kepada dokumen-dokumen perjanjian mulai dari Protokol Hoge Veluwe hingga kepada Perjanjian KMB. Artinya adalah referendum sepatutnya diadakan untuk menentukan status masing-masing wilayah di dalam kerangka negara RIS. Mengapa demikian? Karena isi dari setiap perjanjian tersebut adalah merujuk kepada RIS dan bahwa kedaulatan yang utuh telah diberikan oleh Belanda kepada RIS, bukan kepada yang lain.

Oleh karena itu, sesuai dengan bukti-bukti hukum tersebut, maka kedaulatan harus dikembalikan lagi oleh NKRI kepada RIS dimana pelaksanaannya sepenuhnya dapat dilakukan melalui sebuah Dewan Konstituante yang dapat dibentuk kemudian. Satu-satunya wilayah di nusantara yang tidak dapat lagi dimasukkan ke dalam kerangka RIS adalah Republik Maluku Selatan berdasarkan fakta sejarah bahwa penduduk wilayah Maluku Selatan telah melaksanakan hak penentuan nasib sendiri tersebut secara mandiri dan telah menyatakan status politik mereka sebagai sebuah negara yang merdeka dan berdaulat penuh melalui proklamasi kemerdekaan mereka pada tanggal 25 April 1950. Sementara penduduk di wilayah Aceh hingga saat ini masih terus berjuang menegakkan hak dan kedaulatan milik mereka.

Referendum bagi nusantara adalah sebuah keharusan. Ini adalah perwujudan yang paling hakiki dari hak setiap penduduk di wilayah nusantara, perwujudan dari pelaksanaan kedaulatan milik mereka yang telah berabad-abad dirampas dari mereka, dan perwujudan dari demokrasi dan kemerdekaan yang sesungguhnya. Marilah kita bersama-sama dengan cara-cara yang demokratis dan mendidik, mendorong generasi milenial untuk berani melihat kepada sejarah kelam bangsa mereka sendiri dan dengan penuh kepercayaan diri tanpa ragu dan enggan menguraikan kembali benang sejarah yang kusut. Marilah kita wujudkan referendum tanpa melalui aksi-aksi kekerasan, melainkan melalui ruang-ruang diskusi yang kritis dan mendidik untuk kita bersama-sama merumuskan mekanisme terbaik bagi tegaknya keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.

Penulis adalah Menteri Luar Negeri Republik Maluku Selatan (RMS) di Pengasingan