Surat Cinta Buat Wiranto

0
30602

Oleh: Ikhsan Tualeka

Sebagai daerah yang masuk dalam the ring off fire, Maluku memang kerap dilanda gempa. Peristiwa gempa paling dahsyat yang melanda Maluku direkam dengan baik oleh Georg Eberhard Rumpf yang lebih dikenal dengan nama Rumphius dalam bukunya Herbarium Amboinense (1741).

Rumphius menceritakan, gempa dahsyat melanda Ambon disusul tsunami dari Laut Banda pada tanggal 17 Februari 1674, menjadi gempa dan tsunami tertua di Indonesia yang tercatat dengan detail, menewaskan sebanyak 2.322 penduduk Ambon. Gempa kemudian disusul oleh tsunami dahsyat di Laut Banda. Ini adalah megatsunami yang sampai sekarang belum ada tandingannya di Indonesia karena tinggi gelombang mencapai 80 meter.

“Tsunami ini menyapu hampir seluruh pulau dan menyebabkan lebih dari 2.000 orang meninggal,” kata Edward A. Bryant, peneliti dari Universitas Wollongong, Australia, dikutip Gatra, 5 Juli 2006.

Tentu ada sejumlah peristiwa gempa di Maluku yang terjadi lagi dalam rentang waktu yang panjang ini, tapi peristiwa gempa yang terjadi pada 26 September 2019 adalah salah satu yang kelam dan masih segar dalam ingatan publik. Selain menimbulkan sejumlah korban jiwa, luka-luka dan ribuan orang terpaksa mengungsi, gempa tremor hingga ratusan kali pun terjadi menyusul gempa besar itu. 

Ketakutan warga sehingga memilih tak kembali ke rumah dan bertahan di tenda-tenda pengungsian menjadi sangat beralasan. Namun hal ini justru mendapat respon yang kurang peka atau tidak masuk akal dari pemerintah. Melalui Menkopolhukam Wiranto dalam jumpa pers bersama sejumlah pejabat negara, mengatakan bahwa pengungsi yang besar menjadi beban pemerintah. 

Wiranto juga mengajak warga untuk pulang ke rumah masing-masing meski gempa masih terus terjadi. Pernyataannya itu sontak menuai kritik publik, terutama di media sosial, yang ramai dengan ‘status’ pernyataan, protes, kecewa hingga ada yang menulis puisi.

Saya kemudian meresponnya dengan menulis ‘Surat Cinta buat Wiranto’. Surat terbuka ini mendapat perhatian yang luas dari warganet. Hanya dalam beberapa jam sejak saya bagikan di-Facebook, telah dibagikan atau di-share ribuan kali. Termasuk pula di WhatsApp Group, hingga ada yang menjadikannya sebagai latar video di Channel Youtabe.

Karena viral surat itu, Kompas TV mengundang saya untuk mendiskusikannya di studio mereka secara live di Jakarta. Seperti surat terbuka itu, wawancara juga lagi-lagi mendapat perhatian yang besar dari pemirsa, karena membahas respon negara atas situasi yang menimpa warga negara, dan mewakili suasana kebatinan mereka. 

Belakangan atas berbagai protes warga, termasuk melalui surat cinta yang viral itu, Wiranto akhirnya minta maaf yang disampaikan secara terbuka di media massa. Berikut isi surat terbuka yang saya tuliskan itu, yang merupakan cara atau politik kreatif yang sengaja diupayakan dalam mengadvokasi atau mengagregasi kepentingan dan aspirasi masyarakat Maluku.

Yang Terhormat Pak Wiranto, 

Semoga bapak selalu sehat dan dilancarkan dalam setiap aktivitas. Tanpa bermaksud menggurui atau menghakimi, mewakili perasan banyak orang, surat cinta ini dituliskan.

Baca Juga  Catatan untuk Generasi Maluku Tercerahkan

Adalah kenyataan yang tak bisa ditepis, bahwa situasi negara ini sedang dihantui perpecahan. Karena itu pula suasana kebatinan anak bangsa mesti dijaga dan dirawat. Terutama pada mereka yang hidup dalam ketertinggalan dan kemiskinan.

Apalagi bagi kami di Maluku yang dalam banyak hal, Negara kerap tak hadir, membuat persentuhan Negara dengan kami terasa kurang hangat. Seringnya dikecewakan, dalam derajat tertentu, membuat kami merasa hanya warga negara kelas dua di negeri ini.

Pak Wiranto, sebagai abdi negara, bapak kembali menghantui hari-hari kami. Bapak tentu masih ingat, 20 tahun silam, saat itu bapak menjabat Panglima ABRI, ada konflik besar terjadi di Maluku. 

Harus diakui peristiwa memilukan itu bisa terjadi karena Negara gagal mencegahnya, bila tak mau disebut terlibat. Tentu sebagai pucuk pimpinan tertinggi otoritas keamanan nasional di bawah presiden, wajar kegagalan itu disematkan pula pada bapak.

Karena kegagalan negara, termasuk bapak yang tak segera mengerahkan seluruh potensi guna mencegah atau mengantisipasi meluasnya konflik, warga negara akhirnya saling menyerang dan membunuh. Banyak orang kehilangan sanak saudara dan hidup di pengungsian. 

Sejarah kemudian mencatat, kami di Maluku akhirnya punya mekanisme sendiri untuk bangkit dan merajut perdamaian tanpa perlu campur tangan yang berlebih dari Negara. Perdamaian bisa dirajut dan diikat kembali di atas puing-puing kehancuran.

Pak Wiranto, kini kami kembali dirundung duka, tertimpa bencana alam, setiap waktu diintai oleh gempa. Ada trauma melingkupi jiwa-jiwa yang goyah. Wajar saja, tanah goyang bikin orang ‘sakti’ pun ciut nyali dan tak bisa hidup tenang.

Entah sampai kapan keadaan terus begini. Kami hanya bisa pasrah dan berdoa kepada Tuhan agar situasi kembali normal, sehingga kami bisa pulang ke rumah masing-masing, berkumpul bersama keluarga.

Dalam situasi yang tak menentu seperti ini. Bapak kembali hadir, tapi dengan pernyataan yang kurang tepat di waktu yang tak tepat pula, menyulut kekecewaan kolektif warga.

Saat konferensi pers, 30 September 2019, didampingi sejumlah pejabat negara, dihadapan awak media dengan mudah bapak meminta para pengungsi kembali ke rumah masing-masing dan mengatakan bahwa, “Pengungsi yang terlalu besar itu menjadi beban Pemerintah.”

Sungguh sebuah pernyataan yang tak punya sense of crisis, korban bencana dianggap sebagai beban pemerintah dan Negara. Mungkin bapak pikir ada yang nyaman jadi pengungsi atau tinggal di pengungsian?

Bapak mungkin tak sadar, saat bapak lagi berkomentar itu pun gempa atau tanah goyang bahkan sedang terjadi, meski dalam skala yang relatif lebih kecil. Membuat masyarakat diliputi kecemasan dan makin trauma.

Pak Wiranto, untuk diketahui, sekalipun ada dalam masa-masa sulit, mengungsi karena gempa di Maluku bahkan bisa menghadirkan hikmah tersendiri. Yakni terbangun dan makin kuatnya kohesi sosial di masyarakat.

Dapat disaksikan orang-orang beda agama, yang notabene pernah berkonflik, saling sambut, saling bantu, penuh haru, penuh kasih, penuh sayang dan penuh cinta. Fenomena yang menggetarkan hati kami Orang Basudara.

Pengalaman sosial dan batin yang dapat menjadi modal sosial ini jangan bapak cederai dengan pernyataan yang tak bernurani. Pernyataan yang kurang pantas dikeluarkan oleh pejabat publik, apalagi setingkat Menkopolhukam.

Pak Wiranto, tak perlu jadikan kami beban Negara. Orang Maluku bukan bangsa pengemis yang harus merengek agar bisa dibantu. Kalau pun kami menuntut sesuatu, itu lebih pada menagih hak warga negara, bukan peminta-minta. 

Baca Juga  Melanesia Bersatu: Membangun Kesadaran Identitas, Maju Bersama

Pak Wiranto, justru bapak yang sesungguhnya adalah beban bagi bangsa ini, beban sejarah, beban dalam penegakan HAM, dan yang pasti adalah beban bagi pemerintah. Komentar bapak justru kontraproduktif dan turut menggerus simpati publik kepada Pemerintahan Jokowi.

Pak Wiranto, pernyataan bapak bagi kami bahkan lebih perih rasanya dari ucapan seorang pakar media sosial, Shafiq Pontoh di televisi beberapa waktu lalu, yang mengatakan anak muda Ambon tak pandai bermedia sosial. Atau mungkin lebih ‘kasar’ dari kata monyet yang dilontarkan kepada pemuda Papua di Surabaya hingga memicu konflik.

Sebab pernyataan bapak tidak saja menghina kami, yang dikesankan telah merepotkan negara, tapi juga seperti menjadikan atau memposisikan kami yang tertimpa bencana sebagai sumber persoalan.

Pak Wiranto, lewat surat ini, sebagai ungkapan cinta, saran kami, berhentilah dari semua aktivitas politik, cukup sudah masa edar bapak sebagai pemangku kewajiban. Kembalilah ke pangkuan keluarga, bermain dan bercengkrama dengan cucu-cucu.

Nikmati hari tua bapak, karena usia uzur memang butuh piknik dan istirahat. Kami pun yakin, bangsa ini akan jauh lebih baik tanpa campur tangan bapak. Seperti barang yang sudah kadaluarsa, bapak sudah tak pantas lagi ada di etalase kepemimpinan nasional.

Ambon, 1 Oktober 2019