“Dengan membiarkan ketidakadilan tetap terpelihara, sebenarnya Negara telah membiarkan api tetap membara dalam sekam.”
Oleh: Ikhsan Tualeka
Setiap tanggal 25 April, Hari Ulang Tahun Proklamasi Republik Maluku Selatan (RMS) selalu menjadi semacam momok bagi masyarakat. Memang, dan akhirnya ada yang menganggap bahwa RMS adalah duri dalam daging masyarakat Maluku, bahkan nasional.
Faktanya, mereka ada di Maluku, mungkin di beberapa kabupaten atau kota di Maluku, di beberapa kecamatan yang ada di Maluku, di beberapa desa atau negeri yang ada di Maluku, di beberapa keluarga yang ada di Maluku, di beberapa marga yang ada di Maluku. Mereka juga orang Maluku.
Mereka makan papeda dengan colo-colo sama dengan kita. Mereka makan ikan kete-kete sama dengan kita. Mereka menyanyi lagunya Nyong Haria Saiya yang sentimental itu, yang diantara syairnya ”Ambon Kasian Lawange“. Ini tentu menjadi fakta yang tidak dapat dinafikan.
Mereka yang telah menyampaikan aspirasi politik tanpa senjata dan kekerasan, memperjuangkan Maluku dengan caranya sendiri, harus melalui penyiksaan dan pemenjaraan yang lama. Mereka dan mungkin juga kita adalah korban dari dampak kemiskinan dan ketidakadilan yang mendera negeri ini bertahun-tahun. Akibat dari kebijakan yang selama ini tidak banyak berpihak pada masyarakat miskin.
Kita bisa melihat bahwa sampai saat ini pengikut RMS banyak yang harus mengalami berbagai tindakan represif yang dilakukan oleh aparat keamanan di Maluku. Saat ditangkap ada yang disiksa dan dianiaya, begitupun saat memberi keterangan pada penyidik.
Namun, apakah itu solusi yang tepat? Bila kita membaca sejarah perilaku represif dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) lainnya pada masyarakat di dunia ini, tidak pernah menuntaskan masalah. Justru masalahnya semakin besar, orang yang terkena tekanan itu malah balik mengancam dan semakin brutal.
Bisa dilihat, bagaimana upaya Soeharto membungkam para pembangkang Negara yang akhirnya Soeharto jatuh karenanya. Bagaimana Invasi militer Amerika Serikat (AS) di Irak dan Afghanistan yang sampai hari ini bukannya membuat keadaan lebih baik, justru semakin menimbulkan jatuhnya korban di kedua belah pihak.
Begitu pula dengan yang pernah terjadi di Philipina, gerakan people power berminggu-minggu lamanya di Metro Manila, akhirnya berhasil menumbangkan Presiden Ferdinand Marcos yang represif pada rakyatnya. Semua cerita di atas adalah hukum kausalitas alam, hukum sebab akibat. Apa yang dilakukan akan resiprok atau memantul mengenai dirinya sendiri.
Bila seseorang berperilaku dengan menebar rasa cinta maka cinta yang akan didapatkan. Namun, bila ia menebar rasa benci maka kebencian yang akan membalik pada dirinya sendiri. Setiap apa yang dilakukan, entah itu kebaikan dan keburukan akan mengeluarkan sinyal energi, dan sinyal energi itu akan kembali kepada dirinya.
Siapa yang menebar benih dia akan menuai hasilnya. Di sinilah perlunya kita belajar banyak kepada misi-misi yang dilakukan oleh para Nabi dan para wali-wali Allah dan orang-orang suci yang diturunkan di muka bumi ini. Bunda Teresa dari Kalkuta adalah fakta nyata yang hidup pada zaman modern ini.
Membantu menyelesaikan ketidakadilan dan kemiskinan itu dengan berjuang dan rela berkorban untuk mereka yang butuh pertolongan. Bunda rela berkorban berpanas-panasan dengan menghirup udara kotor di kawasan miskin di India, tidak peduli dengan ras dan agama, yang ada hanya rasa cinta untuk membantu atau menolong.
Apa yang dilakukan Bunda Teresa adalah contoh nyata bagaimana menghadapi dan menyelesaikan permasalahan sosial dengan cinta kasih, bukan dengan kekerasan. Dengan mengedepankan rasa cinta maka tak ada benak rasa benci, iri, dendam, berontak di hati mereka yang miskin dan tertinggal itu, karena telah tertutupi dengan pancaran cinta Bunda Teresa.
Lantas bagaimana dengan pengikut RMS yang diantaranya adalah korban dampak kemiskinan dan ketidakadilan di Maluku? Di sini tidak ada Bunda Teresa lainnya, yang menebarkan rasa cinta kepada mereka, tak ada kebijakan negara yang mampu menjawab kebutuhan masyarakat, justru yang ada adalah kebijakan represif yang berujung pada pelanggaran HAM dan tindakan kekerasan dari aparat keamanan.
Benar tidaknya cara tersebut, yang harus dipikirkan kemudian adalah bahwa cara-cara seperti itu telah lama dilakukan. Namun kenyataannya, ibarat luka, lukanya semakin menganga; ibarat penyakit kulit semakin digaruk semakin luka.
Secara sosiologis, persoalan RMS dan pengikutnya berbeda dengan kasus-kasus pelanggaran hukum lainnya. Kasus RMS merupakan kasus sosial-politik yang tumbuh di masyarakat. Ada komponen masyarakat yang mengakuinya sebagai bentuk perjuangan politik karena punya latar sejarah yang kuat, pula ada yang menjadikannya sebagai pelampiasan kekecewaan terhadap kebijakan pemerintah dalam menata ekonomi dan politik.
Yang pasti, fakta menunjukan bahwa sebagian besar masyarakat Maluku masih hidup di bawah garis kemiskinan. Kemiskinan masyarakat memang juga dipicu oleh alam Maluku yang membuat masyarakat keenakan sehingga sering tidak sanggup menghadapi berbagai perubahan dan gejolak ekonomi lokal, nasional maupun global yang muncul.
Perubahan yang membutuhkan kecerdasan dalam menghadapinya tak mampu diatasi oleh masyarakat yang tertimpa keenakan itu, seperti yang bisa kita saksikan pada sebagian masyarakat di Maluku. Inilah kompleksitas masalah yang dihadapi.
Kondisi ini sangat berbeda dengan masyarakat di Pulau Jawa yang memang karena tersedianya fasilitas dan infrastruktur, juga akses terhadap pendidikan yang bagus. Berimplikasi pada kemampuan mereka dalam menghadapi berbagai perubahan sosial yang muncul.
Peran Masyarakat dan Tanggungjawab Negara
Belajar dari apa yang telah dilakukan oleh Bunda Teresa serta para pekerja sosial lainnya dalam pengentasan kemiskinan maka sudah seharusnya para pekerja sosial, termasuk tokoh agama di Maluku mengambil peran yang signifikan dalam menyelesaikan persoalan yang ada, dengan didukung dan difasilitasi oleh pemerintah dan para pengusaha.
Pekerja sosial dan tokoh agama mesti lebih mengoptimalkan pendampingan terhadap masyarakat. Pemerintah pusat harus mampu menyerap dan menjawab kebutuhan Maluku, sementara pemerintah daerah di Maluku perlu membuat kebijakan pengentasan kemiskinan yang berbasis masyarakat. Kebijakan itu perlu didukung oleh DPRD yang merupakan representasi masyarakat.
Elemen masyarakat lainnya, para pengusaha, dengan dananya, semacam Corporate Social Responsibility (CSR) juga dapat berpartisipasi dalam pengentasan kemiskinan di Maluku. Perlu ada skala prioritas yang jitu dari pemerintah, sehingga pembangunan fisik dan infrastruktur sudah saatnya berbanding lurus dengan pembangunan masyarakatnya.
Megaproyek yang jauh dari kebutuhan masyarakat, serta program lain yang ‘project oriented’ termasuk agenda jalan-jalan yang kerap dibungkus dengan studi banding perlu segera dihentikan atau dihindari. Paradigma pembangunan semacam itu harus dievaluasi atau ditinjau kembali, karena pelaksanaannya jauh dari kebutuhan masyarakat hari ini.
Karena sekecil apapun anggaran itu, jika mau digunakan untuk kepentingan masyarakat tentu dampaknya lebih signifikan dalam mengentas kemiskinan di Maluku yang kian memprihatinkan. Alokasi anggaran yang tepat sasaran akan memberikan arti penting bagi masyarakat.
Selanjutnya, beberapa wilayah yang dikenal sebagai basis aktivitas RMS sudah saatnya di buka dari keterisolasian. Masyarakat setempat perlu diberikan kesempatan untuk berinteraksi secara lebih baik dengan daerah atau lingkungan sekitar.
Faktanya banyak negeri di Maluku sampai saat ini nyaris belum ada akses jalan yang memadai guna menghubungkan tempat atau negeri yang satu dengan negeri yang lain. Kondisi yang makin diperparah oleh kualitas pelayanan kesehatan dan pendidikan yang buruk.
Situasi ini, ketertinggalan, keterisolasian dan kemiskinan tentunya dapat mengentalkan kekecewaan dan membuat sebuah paham atau ideologi tumbuh dengan suburnya. Karena tak lahir pemahaman objektif dan komparatif antara yang dipahami, dengan realitas yang sesungguhnya.
Dengan membiarkan ketidakadilan tetap terpelihara, sebenarnya Negara telah membiarkan api tetap membara dalam sekam. Sekelumit persoalan sosial yang dapat berujung pada gerakan disintegrasi, akan tetap mengemuka. Ibarat bisul yang ditutup seperti apapun pasti akan pecah.
Jika tidak ingin seperti pemadam kebakaran, yang baru siaga jika ada api yang berkobar, sudah saatnya kebijakan pro rakyat harus menjadi agenda utama seluruh pemangku kewajiban. Terutama pemerintah daerah yang telah diberikan amanat mengelola daerah ini.
Tetap tumbuh dan berkembangnya RMS di satu sisi dan pelanggaran HAM yang terus terjadi pada sisi yang lain, sebenarnya menjadi bukti gagalnya Negara atau pemerintah dalam pengentasan kemiskinan dan pembangunan di Maluku. Saatnya semua elemen bersinergi dan berkolaborasi, perlu lahir kesadaran kolektif orang Maluku untuk bersatu, ‘baku sayang’ memperjuangkan Maluku.
Ambon, 25 April 2008
Tulisan ini, pertama kali dipublikasi tahun 2008, pernah pula dimuat sejumlah media. Kembali diketengahkan oleh tabaos.id karena masih relevan dengan kondisi eksisting.