Sejarah Imajiner: Andai Tak Menempuh Jalan Bersama Indonesia

0
13941

“Imajinasi tentang Maluku yang merdeka harus tetap hidup dalam hati dan pikiran generasi muda Maluku, demi menjaga logika dan keseimbangan pembangunan…”

Oleh: Ikhsan Tualeka

Ini hanya sekadar berandai-andai, ibarat mengandaikan takdir lain. Atau membayangkan satu jalan sejarah ‘imajiner’ dari banyak jalan yang jika ditempuh di luar garis sejarah yang terbentang hingga hari ini, realitas akan berbeda.

Indonesia adalah sebuah nama yang baru dikenal dalam seratus tahun terakhir. Bahkan menjadi satu entitas negara belum satu abad, itu pun penuh drama, intrik, konflik dan pergolakan politik.

Sebelumnya selama berabad-abad, masyarakat di Nusantara hidup dengan sistem sosiokultural masing-masing. Ada banyak raja-raja dan sultan memerintah, mengatur wilayah kekuasaannya, termasuk komunitas adat yang lebih kecil.

Andai penjajah Eropa tak pernah sampai ke Nusantara, kerajaan dan kesultanan akan terus berjaya, mengelola wilayahnya masing-masing. Mungkin pula tak pernah ada sejarah perlawanan, perang dan pertumpahan darah dalam kurun waktu yang lama. 

Tak ada perjuangan dan pengorbanan Laksamana Malahayati, Cik Ditiro, Pangeran Diponegoro, Sultan Hasanuddin, Kapitan Pattimura, Monia Latuarima, Sultan Baabullah, dan lainnya. Tak ada nyawa-nyawa bergelimpangan karena ikut melawan ketidakadilan. 

Tak ada Pergerakan Budi Utomo, tak ada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, tak ada Proklamasi 17 Agustus 1945, tak ada NKRI, tak ada pemberontakan PKI dan pemberontakan lainnya, tak ada konflik 1999 yang menghancurkan persaudaraan di Kepulauan Maluku. Begitu pula ketiadaan peristiwa miris lainnya.

Dalam setiap alur sejarah, ibarat melalui rel, sejatinya ada banyak persilangan. Semacam persimpangan atau percabangan yang kemudian diuji oleh waktu, melahirkan jalur sejarah yang akhirnya unggul dan mengantarkan kita pada situasi kekinian. 

Tapi kalau boleh mengimajinasikan ‘jalan lain’ sejarah, dengan mengandai Maluku tidak menempuh jalan bersama, tak bergabung dengan NKRI, kemudian menjadi entitas sendiri yang berdaulat. Ada banyak kemungkinan yang dapat terjadi, berbeda dari realitas dan takdir hari ini. 

Diantara kemungkinan itu adalah; Ada sebuah negara kepulauan, menyatu dengan poros Pacific, dengan sumber daya alam yang besar, penduduk yang tak begitu banyak, hidup damai dengan toleransi yang tinggi, warisan para leluhurnya.

Punya angkatan perang yang kuat, karena ada banyak bekas prajurit tangguh dan pemberani asal Maluku yang direkrut awal dan pasca perang dunia ke-II. Serdadu-serdadu ini tak perlu ‘dibuang’ ke Belanda, tetap di tanah airnya untuk membangun tentara nasional yang disegani.

Begitu pula dengan cadangan para intelektual hasil didikan kolonial yang telah angkat kaki. Menjadi modal membangun dunia pendidikan berkualitas serta universitas atau perguruan tinggi bergengsi, yang benar-benar diarahkan pada peningkatan kemampuan generasi dalam mengelola potensi alam yang dimiliki. 

Dengan itu dibangun berbagai industri berbasis sumber daya laut, skala besar yang mampu menyerap dan mengkaryakan tenaga-tenaga muda Maluku. Termasuk pula dengan industri pertambangan dan mineral yang dikelola oleh anak-anak negeri. Sehingga tak ada pengangguran yang kerap berujung pada kriminalitas.

Menjadikan banyak anak muda dan keluarga-keluarga yang punya penghasilan tinggi. Sehingga tak mungkin ada yang namanya stunting, gizi buruk serta ibu dan bayi yang meninggal saat persalinan.

Karena pendapatan per kapitanya bagus, ada banyak milenial-nya yang mampu melanjutkan kuliah di berbagai negara maju. Generasi muda ini yang kemudian turut memajukan industri kreatif seperti fashion, film, musik, kuliner, teknologi digital hingga pariwisata. 

Ada banyak ikon kaula muda berkulit gelap dengan rambut ikal, menjadi trendsetter atau idola sesama ras-nya. Kawasan atau negara-negara di Pasific berkiblat ke Ambon, ibu kota negara yang tumbuh sebagai pusat peradaban modern bangsa Melanesia.

Anak-anak mudanya tak ikut jadi korban tayangan sinetron dan iklan produk kosmetik, yang tiap hari mencuci otak remaja untuk berambut lurus dan berkulit putih. Iklan semacam itu bakal tak diizinkan. Membuat generasi mudanya tetap bangga dengan identitas etnik dan kulturalnya.

Karena hidup di negara yang sejahtera, tak perlu ada yang merantau ke kota atau negara lain, apalagi tanpa keterampilan, hingga kalah bersaing dan memilih pekerjaan-pekerjaan keras juga berisiko, sekadar untuk bertahan hidup. Sehingga tak ada stigma negatif bagi yang berkulit gelap dari negara tetangga.

Makanan lokal seperti sagu atau papeda mendapat tempat terbaik di meja-meja makan rakyat, tak tergantikan oleh nasi atau beras. Ikan segar, kohu-kohu dan berbagai makanan dari olahan ikan menjadi santapan harian yang membuat anak-anak tumbuh sehat dan kuat. 

Tak ada sampah, terutama sampah plastik yang mengotori pulau dan laut, karena kebiasaan membuang sampah pada tempatnya sudah diajarkan sejak usia dini oleh keluarga dan di sekolah. Sistem pengolahan sampah terpadu juga diadakan, sehingga alam negara kepulaun ini terus terjaga dan lestari.

Pastinya pula ada tim nasional sepak bola yang terdiri dari pemuda-pemuda hitam manis, yang mampu bertanding hingga ke putaran final piala dunia. Bertarung dengan negara-negara Eropa yang diantaranya pernah menjajah leluhurnya.

Begitu pula dengan cabang olahraga lainnya. Seringkali bendera negara kepulaun ini berkibar dan lagu kebangsaannya dinyanyikan saat pesta olahraga antar bangsa. Karena cabang unggulan mereka seperti atletik, tinju dan dayung, berjaya pada ajang olahraga multi event.

Di ibukota negara, berdiri stadion megah dan komplek olahraga bertaraf internasional. Terdapat pula convention hall untuk penyelenggaraan konferensi, kongres dan pertemuan multilateral, serta gedung pertunjukan seni untuk festival, konser musik, tari, dan lainnya.

Sebagai negara yang maju, transportasi antar pulau tersedia, layak dan representatif yang mampu mengantarkan orang-orang bepergian, serta logistik bisa terdistribusi dengan baik. Tak ada pulau yang terisolir, miskin dan tertinggal.

Dalam dunia politik pun sebagai entitas etnik, tak ada yang perlu merengek minta diakomodir dalam kabinet atau menteri, karena hampir semua anggota kabinet hingga kepala negara adalah putra-putri asli negara itu. Menjabat sebagai presiden dapat menjadi mimpi setiap anak, karena mungkin terwujud.

Tak perlu juga ada energi yang akhirnya ikutan terkuras akibat rivalitas politik dan ideologi yang terjadi di tanah seberang (baca: Jawa). Karena tak memiliki kaitan struktural dan kultural dengan negara Archipelago itu. 

Ya, andaikan begitu dan tak begini, tentu realitas akan berbeda. Tapi apa mau di kata, alur sejarah menentukan lain dan menuju jalur yang tak sejalan dan belum sebangun dengan imajinasi di atas. Semua yang tak puas dengan keadaan kekinian hanya bisa menerima dan menjalaninya.

Berharap ada perubahan dan kemajuan yang berarti, sesuai dengan kesepakatan dan tujuan para pendiri ‘rumah besar’ Indonesia saat mula-mula dibangun; Keadilan sosial bagi semua. Atau mungkin ada pencabangan baru yang membuat rel sejarah berpindah pada jalur yang diangankan. Sudah ah, berandai terus hehe.

Ambon, 26 Juni 2020

Baca Juga  MDW: Kinerja Kejaksaan Tinggi Maluku Buruk