Surat Terbuka Sebagai ‘Politik Kreatif’ untuk Maluku ‘Merdeka’

0
2496

TABAOS.ID,- Bentuk kritik, protes dan penyampaian aspirasi kepada pemerintah pusat, juga sebagai upaya menghadirkan kesadaran kolektif kepada khalayak untuk bersama-sama memperjuangkan keadilan bagi Maluku, Direktur Beta Kreatif, Ikhsan Tualeka menulis Surat Terbuka. Berikut petikannya:

Basudara Maluku di mana saja berada…

Dalam beberapa waktu terakhir ini, beta bersama sejumlah generasi muda yang memiliki visi memerdekakan Maluku Raya dari kemiskinan dan ketidakadilan melalui jalur ‘Politik Kreatif’. Hal ini dilakukan untuk mengkritik dan mengingatkan pemerintah ‘Jakarta’ di satu sisi, sembari pada sisi yang lain juga turut mendidik rakyat sehingga memahami posisi mereka secara proporsional dan objektif dalam negara demokrasi.

Adalah fakta, walaupun tinggal dan hidup di wilayah yang kaya sumber daya alam, tapi masih banyak orang Maluku Raya yang hidup miskin, tinggi jumlah anak putus sekolah, banyak bayi dan ibu yang meninggal saat melahirkan, kerap ada temuan gizi buruk, kualitas kesehatan warga yang rendah, korupsi yang masih marak terjadi, minim infrastruktur, dan berbagai problem lainnya. Terlalu panjang untuk diurai satu per satu.

Basudara Maluku yang Beta Hormati…

Menyikapi realitas, tentu ada banyak pendekatan yang bisa ditempuh. Apa yang kami lakukan saat ini melalui ‘Politik Kreatif’ adalah satu diantara banyak pendekatan itu. Bahwa politik juga bisa diwarnai dengan cara-cara yang kreatif. Bisa jadi ini bukan cara yang paling efektif, tapi lebih baik ada yang dilakukan ketimbang hanya diam menyaksikan parade ketidakadilan itu berlangsung di depan mata.

Jika sebelumnya Beta Kreatif mengeluarkan ‘Paspor Kedutaan Besar Maluku’, guna mengkritisi mahal dan sulitnya transportasi antar pulau di Maluku, maupun dari Maluku ke daerah lain di Indonesia, yang viral hingga diliput media nasional. Kini kami sengaja mengeluarkan pecahan mata uang Maluku yang dinamakan Pisi dengan nominal 100. Adapun Pisi diambil dari salah satu bahasa daerah di Maluku yang artinya adalah uang.

Sama halnya dengan ‘Paspor Kedutaan Besar Maluku’. Peluncuran ‘Mata Uang Maluku’ ini juga sebagai satire dan kritik simbolik untuk mengingatkan para pemangku kewajiban, bahwa ada satu komunitas bangsa yang tidak puas secara sosial dan politik, atau ada political disconten di Maluku.

Baca Juga  Mengaku Diculik, Syahrul Wadjo Kembali Bantah Penculikan

Ketidakpuasan yang memang pantas terjadi, karena ternyata rasa persentuhan tiap warga negara, dengan negara, tidak sama, ada yang lebih diperhatikan, sementara yang lain diabaikan, atau kita kenal dengan perlakuan yang diskriminatif. Lihat saja, lebih dari 74 tahun menjadi bagian dari NKRI ternyata membuat Maluku Raya hanya sebagai pelengkap penderitaan. Maluku Raya masih diselimuti kabut kemiskinan dengan indeks pembangunan manusia yang rendah.

Menjadi realitas yang ironis sekaligus paradoks sebagai daerah yang sejatinya kaya. Meminjam data Kementrian Perikanan dan Kelautan RI, untuk sektor kelautan saja setiap tahun lebih dari 40 triliun dicuri dari laut Maluku, itu belum termasuk pendapatan yang dapat dimaksimalkan dari sektor lain.

Ironisnya, APBN yang dialokasikan untuk membangun Maluku Raya (Maluku dan Maluku Utara) yang punya tantangan pembangunan yang lebih ekstrim karena terdiri dari pulau-pulau dan laut, nyatanya tidak lebih dari 3 triliun per tahun. Kalah jauh bila dibandingkan dengan APBN yang dialokasi untuk Universitas Gajah Mada, Jogjakarta yang hampir mencapai 15 triliun per tahun.

Apalagi jika mau dibandingkan dengan APBN yang dikucurkan ‘Jakarta’ ke Aceh dan Papua, ibarat buah apel dan tomi-tomi, timpang. Ini belum terhitung berbagai regulasi yang dalam prakteknya tidak menguntungkan Maluku Raya. Kemampuan pemerintah daerah soal ini juga perlu dipertanyakan, tapi pemerintah pusat lah yang paling bertanggungjawab.

Basudara Maluku yang Beta Banggakan…

Situasi ini tentu perlu dikritisi dengan serius, jika tak mau Maluku terus berada dalam keterpurukan, apalagi nanti akan ada eksplorasi Gas Abadi Blok Masela dengan nilai investasi mencapai US$20 miliar di tahun 2027. Jangan kemudian masyarakat Maluku tidak dilibatkan dalam berbagai pengambilan keputusan, hanya kebagian ‘tulang’ setelah dagingnya diambil ‘Jakarta’ dan pejabat pemburu rente.

Pasal-nya, sejarah ekspolarasi sumber daya alam di Indonesia selalu saja meminggirkan hajat hidup dan kepentingan masyarakat lokal atau daerah. Seperti halnya yang dilakukan PT. Arun di Aceh, atau PT. Newmont di Nusa Tenggara, PT. Freeport di Papua dan berbagai kasus serupa di daerah lain.

Baca Juga  Launching Maluku FC, Secercah Harapan Bagi Persepakbolaan Maluku

Realitas yang terjadi di daerah lain kita harapkan jangan sampai terulang di Maluku, di mana nanti Rupiah dihasilkan dari bumi Maluku tapi masyarakatnya tak pengang atau menikmati Rupiah. Jika itu yang terjadi, mungkin lebih baik orang Maluku yang mengendalikan dan mengelola sendiri sumber daya alam-nya, termasuk punya mata uang sendiri?. Inilah titik tekan dari kritik kreatif dan satire simbolik yang kami usung sebagai bagian dari ‘Politik Kreatif’.

Ada banyak cerita bagaimana pemakaian simbol dapat menarik solidaritas bersama dan membentuk perlawanan kolektif terhadap kebijakan yang tidak adil dan ternyata efektif. Hal ini misalnya dapat kita saksikan dalam gerakan ‘jaket kuning’ sebagai simbol perlawanan warga atau masyarakat sipil terhadap kebijakan Presiden Prancis, Emmanuel Marcon beberapa waktu lalu.

Upaya yang ternyata efektif sehingga kebijakan Marcon terkait BBM dan pajak bisa dinegosiasikan ulang. Serta banyak contoh lainnya yang menunjukan efektivitas penggunaan simbol sebagai bentuk protes. Artinya, ‘Mata Uang Maluku-Pisi’ dan ‘Paspor Kedutaan Besar Maluku’ dapat menjadi semacam simbol kolektif seperti ‘jaket kuning’ di Prancis. Perlawanan rakyat atas ketidakadilan secara simbolik dan kolektif dapat mendesak pemangku kewajiban untuk lebih perhatian dan peduli dengan pemangku kepentingan atau rakyat.

Gerakan semacam ini yang oleh Jhon C. Cross dalam bukunya, Informal Politics, Street Vendors, and the State in Mexiko City, disebut sebagai teori mobilisasi sumber daya atau resource mobilization theori, yakni apabila kelompok marginal dalam masyarakat mampu memobilisasi sumber daya mereka, maka mereka akan dapat mempengaruhi kebijakan negara. Sumber daya yang dimobilisasi bisa berupa jumlah orang, solidaritas kelompok, jaringan kemampuan lobi dan sebagainya.

Basudara Maluku yang Pemberani…

Artinya, bila ada gerakan kolektif secara simbolik yang mau dilakukan oleh semua komponen rakyat Maluku, antara lain jika mau sama-sama menjadikan ‘Paspor Kedutaan Besar Maluku’ yang sudah diluncurkan sebelumnya, serta ‘Mata Uang Maluku’ atau gimmick dan satire lainnya sebagai simbol protes kolektif. Kemudian simbol protes ini ditunjukan secara massif, minimal di media sosial, dipastikan dapat menjadi fenomena baru dalam menyuarakan aspirasi.

Baca Juga  Hidup Orang Basudara Abadi, Catatan Generasi Damai Maluku

Selain dalam menggalang solidaritas bersama orang Maluku, juga untuk memberi pesan kuat agar suara-suara yang selama ini tak terdengar akan bisa lebih didengar. Sehingga melahirkan perhatian yang lebih untuk Maluku Raya, minimal lewat tindakan afirmatif, melalui anggaran dan otonomi khusus, atau kewenangan yang lebih besar dalam mengelola potensi sumber daya alamnya.

Pada titik ini, beta bayangkan bila satu waktu nanti, dalam momentum yang tepat dan itu bisa dikondisikan bersama, ribuan orang Maluku sambil memegang ‘Paspor Kedutaan Besar Maluku’ dan ‘Mata Uang Maluku’ sebagai simbol perlawanan atas ketidakadilan selama ini. Bersatu kemudian turun ke jalan dan pawai keliling Kota Ambon, atau foto sampil memperlihatkan simbol perlawanan itu di media sosial, pasti resonansinya tidak hanya nasional, tapi internasional.

Menjadi momentum untuk menyampaikan agar khalayak tahu bahwa Maluku Raya sebagai sebuah wilayah dan entitas bangsa memang lama ditinggal dan dianaktirikan. Hal ini tentu dapat menjadi tekanan politik yang efektif dan dapat menyadarkan ‘Jakarta’ akan kegagalan dan ketidakadilan yang mereka praktikan selama ini di Maluku Raya.

Sekali lagi beta mau tegaskan bahwa semua ikhtiar lewat ‘Politik Kreatif’ ini pada pokok dan sejatinya selain untuk mengingatkan ‘Jakarta’, juga untuk meningkatkan kesadaran kolektif orang Maluku Raya. Sesuatu yang penting karena dari situlah akan lahir ‘perlawanan’ kolektif, dan dari perlawanan itu akan melahirkan keberpihakan dan keadilan.

Kita tentu ingin menjadi generasi yang dapat mewariskan sesuatu yang berharga bagi generasi berikutnya. Perjuangan kolektif itulah yang akan memastikan kita bisa berbuat sesuatu untuk Maluku. Demikian surat terbuka ini, semoga kita semua selalu dalam lindungan Tuhan. Mena-Muria. Tabea!

Ambon, 7 Agustus 2019

M. Ikhsan Tualeka    
Direktur Beta Kreatif