“Itu artinya, cara pandang atau perspektif yang sejauh ini mewakili aspirasi politik dan kepentingan ekonomi masyarakat, khususnya yang mengemuka di Papua dan Maluku harus ditanggapi dengan sikap inklusif oleh negara.”
Oleh: Ikhsan Tualeka
Ada banyak tuntutan, maupun gugatan yang dapat diajukan dalam melihat realitas berbangsa dan bernegara hari ini. Apa yang belakangan ini mengemuka di Papua dan juga di Maluku menunjukan adanya kekecewaan politik yang mesti dikelola dengan lebih arif dan responsif.
Perspektif berkebangsaan yang hidup dalam setiap kepala generasi hari ini mesti dapat disikapi dengan proporsional dan objektif. Karena semua yang terjadi tidak dengan serta-merta, namun lahir dan tumbuh dari berbagai anomali serta ketimpangan yang terus terjadi.
Dalam keadaan yang penuh ketidakpastian, memaksa situasi seolah-olah ada pada posisi normal atau on the right track, apalagi dengan cara menindas, menggunakan kekerasan, dipenuhi praktik ketidakadilan dan diskriminasi serta minus kepekaan sosial harus segera dihentikan. Formula baru harus dirumuskan.
Memahami apa yang saat ini tengah berkembang dan mengemuka di kawasan timur Indonesia, baik itu melalui gerakan politik bersenjata di Papua, maupun ekspresi politik menuntut dikembalikannya kedaulatan versi proklamasi tahun 1950 di Maluku, harus bisa dibaca sebagai interupsi level tinggi. Pasti ada yang kurang tepat dalam pengelolaan negara sejauh ini.
Untuk itu, guna menjamin integrasi nasional dalam rentang waktu yang panjang, Negara harus lebih inklusif. Yakni menempatkan Negara ke dalam cara pandang orang atau kelompok lain dalam melihat dunia atau realitas. Dengan kata lain Negara mesti berusaha menggunakan sudut pandang orang atau kelompok lain dalam memahami masalah kekinian.
Itu artinya, cara pandang atau perspektif yang sejauh ini mewakili aspirasi politik dan kepentingan ekonomi masyarakat, khususnya yang mengemuka di Papua dan Maluku harus ditanggapi dengan sikap inklusif oleh negara. Perspektif ini meminjam Daron Acemoglu dan James Robinson yang diungkap dalam buku ‘Mengapa Negara Gagal’.
Menurut mereka berdua, kegagalan sebuah bangsa menjadi maju dan berkembang karena absennya sistem ekonomi-politik yang inklusif. Tanpa inklusivisme, mustahil sebuah bangsa beradaptasi, berinovasi menuju masyarakat yang egaliter.
Dengan demikian negara dan pemerintah harus lebih cermat membaca situasi dan keinginan ekonomi-politik yang mengemuka, tidak saja akibat perubahan global, namun juga terkait dengan akumulasi kegagalan Negara selama ini. Responsif dengan cara inklusif akan dapat mencegah reaksi publik yang kecewa.
Inklusif dengan lebih memahami kepentingan dan kebutuhan daerah terutama di kawasan timur yang tertinggal memang sulit teraktualisasi atau dirumuskan dalam keadaan Nagara tengah dipasung oleh oligarki. Karena bagi elit oligarki, mengumpulkan kekayaan adalah agenda utama dan jauh lebih penting ketimbang memikirkan integrasi nasional.
Acemoglu dan Robinson menegaskan dalam buku mereka tersebut, sistem yang dikuasai oleh segelintir elit hanya akan membawa bangsa tersebut semakin terpuruk, tidak kompetitif bahkan menjadi bangsa yang gagal. Situasi yang kita lihat mulai menghinggapi bangsa ini.
Masih menurut dua ilmuwan itu. Dengan gagalnya transformasi sistem ekonomi-politik yang inklusif, maka negara tersebut akan bergelimang dengan kemiskinan, ketimpangan sosial dan kekacauan politik. Seperti halnya situasi yang dialami oleh Korea Utara, Uganda dan Sierra Leon.
Untuk menjadi inklusif, antara lain tata-kelola Negara yang sangat Jawa sentris harus dapat dievaluasi, termasuk bandul ekonomi-politik yang hanya pro pada segelintir orang. Dengan demikian institusi ekonomi juga mesti dapat segera direkonstruksi.
Itu pasalnya, karena institusi ekonomi yang tidak inklusif, hanya akan menjadikan kelompok yang lemah semakin teralienasi dan terpinggirkan, atau kaya makin kaya. Itu artinya yang miskin semakin melarat atau setidaknya sulit untuk berkembang.
Sistem ekonomi liberal kapitalis yang diadopsi mentah-mentah oleh Indonesia ternyata telah gagal menjadi formula mensejahterakan sebagian besar rakyat. Alih-alih sejahtera, kemiskinan serta ketimpangan sosial justru kian lebar dan masif.
Sistem politik demikian pula adanya. Korupsi merajalela di semua level pemerintahan, birokrasi yang tidak produktif, krisis pelayanan publik, sistem politik yang dianggap demokratis tetapi dalam praktiknya sangat eksklusif, bahkan justru hanya sekadar menjadi alat legitimasi kekuasan hasil ‘dagang sapi’ partai politik dengan para politisi busuk.
Pada intinya, sistem ekonomi yang memungkinkan kekayaan negara yang dikuasai segelintir orang atau oligarki, serta sistem politik yang hanya menjadi mekanisme demokrasi yang prosedural untuk menegaskan kepemimpinan lingkaran oligarki dan dinasti politik dari pusat hingga daerah. Adalah potret sesungguhnya bahwa kapal besar Indonesia sedang menuju karam.
Jika tidak segera berbenah, antara lain dengan mengakomodir berbagai tuntutan, terutama yang masih masuk dalam koridor konstitusi, seperti tuntutan Otonomi Khusus atau perlakuan khusus lainnya bagi Maluku Raya, sangat mungkin perlawanan politik akan makin mengemuka. Bila itu terjadi, ditambah pergolakan politik di Papua yang tensinya makin tinggi, Negara sejatinya sedang menuju fase gagal atau bubar.
Ambon, 29 Desember 2020
Penulis adalah Founder IndoEast Network