
TABAOS.ID,- JAKSA Penuntut Umum menuntut tiga petinggi FKM/RMS, Johanes Pattiasina, Abner Litamahuputty dan Simon Taihuttu, terdakwa kasus makar yang didakwa karena menerobos masuk halaman Mapolda Maluku, dengan hukuman penjara tiga dan empat tahun penjara.
Jaksa menilai, ketiga terdakwa telah terbukti melakukan tindakan makar dengan mengganggu keamanan Negara dan perbuatan terdakwa menimbulkan keresahan masyarakat sehingga telah meyakinkan dan sah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam pasal 106 KUHP Jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan pasal 110 ayat (1) KUHP Jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP serta pasal 160 KUHP Jo pas 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
“Dengan memperhatikan uraian dimaksud jaksa penuntut umum dalam perkara ini dengan memperhatikan untuk menuntut supaya majelis hakim pengadilan Negeri Ambon yang memeriksa dan memutuskan perkara ini satu, Victor Simon Taihuttu, S.Pd alias Simon telah terbukti dan sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindakan pemufakatan untuk melakukan tindakan kejahatan makar, yang melakukan atau turut serta dengan ancaman pidana sebagaimana diatur dalam pasal 106 KUHP Jo. Dan menjatuhkan pidana kepada Victor Simon Taihuttu, S.Pd alias Simon dengan pidana penjara 3 tahun dikurangi selama berada dalam tahanan penjara, “ ucap jaksa Junet Pattiiasina, saat membacakan tuntutan di Pengadilan Negeri Ambon pada kamis, 1 oktober 2020.
Menurut Junet, tuntutan kepada terdakwa Simon Taihutu dalam perkara ini karena lebih diringankan karena terdakwa belum pernah dihukum dan secara sopan menjalani persidangan dan mengakui perbuatan yang dilakukannya.
Selain Victor Simon Taihuttu, jaksa penuntut umum juga membacakan tuntutan yang sama tiga tahun penjara kepada Johanes Pattiasina.
Sementara terdakwa RMS lainnya, Abner Litamahuputty, wakil ketua FKM-RMS dituntut dengan hukuman penjara 4 tahun penjara.
“menyatakan terdakwa Abner Litamahuputty alias Ape telah terbukti secara sah dan terbukti bersalah melakukan tindakan pemufakatan untuk melakukan kejahatan makar atau turut serta melakukan perbuatan sebagaimana diatur pidana pasal 110 ayat (1) KUHP Jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, dan menjatuhkan pidana kepada Abner Litamahuputty alias Ape dengan pidana penjara 4 tahun dikurangi selama berada dalam tahanan penjara, “ ucap jaksa Augustina Ubleeuw, saat membacakan tuntutan di depan hakim pengadilan negeri Ambon.

Augustina Ubleuw, Jaksa Penuntut Umum, kepada awak media mengatakan tuntutan kepada 3 orang terdakwa dengan dakwaan pasal 106 KUHP Jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan pasal 110 ayat (1) KUHP Jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP serta pasal 160 KUHP Jo pas 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
“Kenapa hukumannya berbeda karena, Victor Simon Taihuttu dan Johanes Pattiasina itu tuntutannya 3 tahun atas pertimbangan belum pernah melakukan perbuatan kejahatan atau criminal. Namun terdakwa Abner Litamahuputty tuntutannya 4 tahun karena pernah dipenjara atau menjadi residivis,” kata Jaksa Penuntut Umum, Augustina Ubleuw.
Ditempat yang sama, kuasa hukum para terdakwa Semuel Wailerunny, mengatakan akan mempersiapakan pembelaan kepada kliennya itu.
“kami tidak sepakat dengan tuntutan jaksa umum terhadap para terdakwa, dan kami meminta untuk dibebaskan. Karena semua sudah secara transparan RMS sah sebagai negara yang diperjuangkan sebagai kebenaran,”ucap Wailerunny.
Dikatakan, apa yang dilakukan oleh para terdakwa itu bukanlah makar, namun hanya menyampaikan pesan secara damai kepada Kapolda Maluku. Dan mereka tidak datang dengan senjata ataupun benda tajam, namun hanya dengan secarik kain bendera empat warna.
“Apa yang dilakukan ini ungkapan penyampaikan aspirasi secara damai, yang ada dijamin oleh undang-undang dasar, ketentuan-ketentuan yang lain antara lain tentang HAM yang juga diakui oleh hukum internasional yang menjelaskan bahwa perbuatan yang dilakukan secara damai itu tidak bisa dihukum. Apapun juga yang dituntut oleh jaksa pakai ketentuan makar. Dan makar itu belum ada kesepakatan tentang pengertiannya apa. Untuk itu, pakai yang dari belanda itu penyerangan dengan kekerasan,”ungkap penulis buku Konspirasi dibalik Konflik Maluku itu.
Dijelaskan, dalam persidangan terdakwa RMS ini juga kata Semuel tidak ditemukan fakta adanya penyerangan dengan kekerasan, sehingga dirinya meminta agar ketiga kliennya itu bisa dibebaskan secara murni sesuai dengan fakta dan kebenaran yang ada.
“Dalam persidangan tidak ada bukti apapun yang dapat menjelaskan bahwa mereka lakukan penyerangan dengan kekerasan. Jadi memang katong (kita) mengerti jaksa. Tapi apa yang dilakukan sebenarnya tidak boleh melanggar prinsip-prinsip pembenaran keadilan dan kejujuran,”ungkap Wailerunny.
Ahli hukum internasional, Hendry Reinhard Apituley, SH,M.Hum, saat dihadirkan sebagai saksi ahli dalam persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Ambon, jalan Sultan Chairun, Kecamatan Sirimau, Kota Ambon, Kamis (3/9/2020) memberikan pendapatnya pada perkara tindak pidana makar dengan terdakwa tiga petinggi FKM/RMS.
Dalam keterangannya, saksi ahli berpendapat, tiga terdakwa tidak bisa dihukum karena yang dituntut oleh mereka adalah pengembalian kedaulatan RMS.
Dihadapan majelis hakim Achmad Ukhayat Cs, saksi ahli menjelaskan, tuntutan kedaulatan RMS oleh tiga terdakwa dalam insiden di Mapolda Maluku, pada HUT RMS 25 April 2020 lalu, merupakan bentuk kebebasan berekspresi yang diakui hukum internasional.
Dia menambahkan, RMS bukanlah separatis, namun sebaliknya Indonesia yang telah melakukan aneksasi atau perampasan wilayah terhadap negara tersebut. Keterangan saksi ini sempat dibantah majelis hakim yang berpendapat, hukum internasional tidak bisa diterapkan di Indonesia.
“Asas deklaratoir hukum tersebut yang menegaskan, setiap entitas bangsa di dunia tidak bisa dipakai dalam perkara ini. Kita gunakan hukum positif yang kita miliki,” ucap Hakim Ketua Achmad Ukhayat.
Apituley mengatakan, untuk menjelaskan tentang status RMS dari sisi hukum Internasional, ada beberapa subjek yang berkaitan. Diantaranya Republik Indonesia yang diproklamirkan oleh Soekarno – Hatta pada Jumat, 17 Agustus 1945.
Negara berikutnya yang diproklamirkan pada 29 Desember 1946 lanjut Apituley adalah Republik Indonesia Serikat (RIS). Bila dipandang dari hukum internasional ataupun Hukum Tata Negara, dapat dikatakan RIS adalah negara sah, karena Belanda sebagai negara induk dan penguasa atas Hindia Belanda, telah menyerahkan kedaulatan lewat piagam yang merupakan hasil dari perjanjian Meja Bundar, berisi penyerahan kedaulatan secara de jure dan de facto kepada RIS. Dengan demikian, kedaulatan diserahkan kepada RIS, bukan kepada Negara Indonesia.
Dalam hal ini, Apituley menyatakan, secara hukum tata negara, RIS yang saat itu memiliki 16 negara termasuk salah satunya Indonesia, adalah negara yang sah. Negara bagian Indonesia ini menurut Apituley, setara dengan 15 negara bagian lainnya, yang salah satunya adalah Negara Indonesia Timur (NIT).
NIT didirikan atas hasil muktamar di Denpasar 23 Desember 1946, dengan ibukota Makasar, dan memiliki 13 daerah bagian otonom, termasuk RMS. Dalam perjalanannya, Negara bagian Indonesia, kemudian melalui pemerintah RIS membubarkan 16 negara, karena presiden RIS adalah Soekarno yang merupakan presiden Republik Indonesia.
Atas kekuasaannya beber Dosen Pendidikan Kewarganegaraan Politeknik Ambon ini, Soekarno kemudian mengeluarkan Dekrit untuk membubarkan 16 negara bagian, termasuk NIT. Namun setelah NIT dibubarkan, dari 13 wilayah otonom, 12 diantaranya mengakui RI yang beribukota di Jogjakarta, sedangkan wilayah RMS memilih untuk membentuk negara sendiri dan memproklamirkan diri pada Selasa 25 April 1950. Tiga bulan 21 hari kemudian, Soekarno memproklamasikan terbentuknya NKRI dan melakukan aneksasi atas wilayah RMS.
Secara de facto dan de jure, Apituley berpendapat, negara RMS telah lahir sebelum terbentuknya NKRI. Artinya tidak mungkin RMS melakukan disintegrasi, namun sebaliknya dianeksasi.
Sementara itu, hakim anggota, Jeny Tulak menyatakan, sesuai dengan fakta sejarah, Maluku sudah mengakui RI sebagai negara yang sah, ditandai dengan ditunjuknya Mr Yohanes Latuharhary sebagai Gubernur Maluku yang pertama oleh pemerintah pusat ketika itu.
“Tahun 1945 sudah ada gubernur pertama di Maluku. Ditunjuk setelah Proklamasi RI tahun 1945,” kata Jeny Tulak.
Pernyataan hakim itu diluruskan oleh Hendry Apituley, yang menyatakan RMS sudah lebih dulu hadir sebagai negara, sebelum NKRI terbentuk. Dia menyebutkan, dari 16 negara RIS, 12 negara diantaranya memilih bergabung dengan Negara Republik Indonesia (RI) yang ketika itu beribukota di Jogjakarta. Sementara RMS yang sebelumnya tergabung dengan NIT, memilih berdiri sendiri.
“Republik Maluku Selatan memilih berdiri sendiri. Yang 12 lainnya pilih bergabung dengan RI di Jogjakarta,” jelas Dosen Pendidikan Kewarganegaraan Politeknik Ambon ini.
Sementara itu, ketiga terdakwa petinggi FKM/RMS, Johanes Pattiasina, Abner Litamahuputty dan Simon Taihuttu didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum karena diduga melakukan tindakan pidana makar. Ketiga terdakwa itu menerobos masuk ke Polda Maluku, pada Sabtu 5 april 2020.
Mereka masuk sekitar pukul 15.45 WIT ke markas Polda Maluku yang berada di Jalan Rijali No. 1 Kelurahan Batu Meja, Kecamatan Sirimau, Kota Ambon dengan membawa bendera RMS.
Sebelum menerobos markas Polda Maluku, ketiga orang itu berjalan kaki dari arah jembatan Skip dengan membawa bendera RMS, sambil berteriak “Mena Muria”.
Sepanjang perjalanan, mereka membentang bendera RMS atau yang dikenal dengan istilah benang raja itu. Aksi mereka menjadi tontonan warga yang melewati jalur jalan depan Polda Maluku.
Saat tiba di depan pintu halaman, ketiganya langsung masuk, dengan tetap membentangkan bendera RMS, dan teriakan Mena Muria.
Petugas di penjagaan kaget. Mereka langsung bergegas keluar. Salah satu diantara petugas mengarahkan laras senjata ke arah ketiga orang itu. Seorang berpakaian petugas preman, buru-buru menutup pintu pagar halaman polda.
Ketiganya langsung diamankan dan dibawa ke ruang Ditreskrimum Polda Maluku. Dari tangan mereka, polisi menyita satu buah bendera RMS berukuran 1 meter lebih. (T-02)