Ketidakadilan Distributif: Orientasi Pembangunan Indonesia Mengecewakan

0
3134

“Jangan hanya karena ambisi politik dan mencari keuntungan belaka, aspek-aspek substantif dan kemaslahatan rakyat justru terabaikan.”

Oleh: Ikhsan Tualeka

Pemerintah kembali merilis daftar 12 Tol yang akan dibangun Kuartal I-2021: 1. Tol Yogyakarta-Bawen 2. Tol Gedebage-Tasikmalaya-Cilacap 3. Tol Kamal-Teluknaga-Rajeg 4. Tol Bogor-Serpong Via Parung 5. Tol Semanan-Balaraja 6. Tol Akses Patimban 7. Tol Sentul Selatan-Karawang Barat 8. Tol Pelabuhan Semarang 9. Tol Gilimanuk-Mengwi 10. Tol Mamminasata 11. Tol Cikunir-Karawaci 12. Tol Cikunir-Ulujami.

Sumber: detik.com

Lagi-lagi semua proyek di atas adanya di Pulau Jawa. Meski selalu saja ada alasan pembenar, daftar 12 proyek tersebut mempertontonkan proporsi pembangunan yang dalam kadar tertentu layak membuat sebagian warga negara merasa kecewa.

Belajar dari pengalaman sebelumnya, masyarakat di kawasan timur Indonesia siap-siap gigit jari. Mempertegas ada paradigma dan orientasi pembangunan oleh pemerintah Indonesia sejauh ini terbukti kerap salah sasaran, bahkan tak adil. Berikut ini adalah beberapa fakta atau contoh kongkritnya.

Sebelumnya, tercatat sejumlah pembangunan infrastruktur dengan nilai triliunan rupiah, selain terlihat kurang ‘make sense’, juga tanpa perencanaan yang matang. Bukan saja menyebabkan kerugian Negara, karena pembangunan yang kurang tepat, tapi Negara pun akhirnya mesti mensubsidi sejumlah projek ‘gagal’ itu agar terus bertahan.

Seperti biasa, semua itu ada di kawasan barat Indonesia, utamanya di Pulau Jawa dan Sumatera. Berbagai projek yang akan diulas ini, sejak awal memang dinilai hanya pencitraan politik semata untuk mempengaruhi persepsi publik. Berbaik-baik pada kawasan yang populasinya lebih besar untuk mendapat insentif elektoral, dan mendongkrak perolehan suara saat pemilihan umum.

Sebut saja, pembangunan Jalan Tol Trans Sumatera. Proyek ini dinilai banyak pihak tidak layak secara finansial, terkesan dipaksakan. Ujungnya, setelah jadi, traffic yang ada di Jalan Tol yang membentang di Pulau Sumatera itu berada jauh di bawah minimum traffic yang diperlukan secara komersial. 

Karena dengan panjang Tol yang ada, secara komersial volume traffic yang layak itu sekira 25 ribu kendaraan, sementara saat ini masih di bawah 15 ribu, bahkan hanya 10 ribu per hari. Belum soal kendala pembebasan lahan dan pendanaan yang masih membutuhkan sekitar Rp 296 triliun dari total Rp 386 triliun untuk merampungkan 2.769 km jalan tersebut.

Di tengah ekonomi nasional yang sedang seret, tentu skema hutang luar negeri dan pelibatan pihak swasta akan lebih dioptimalkan untuk menuntaskan mega proyek ini pada 2024 mendatang. Itu artinya komersialisme atau ‘private sector’ akan kembali menjadi ujung tombak, dan untuk itu tentu profit bakal menjadi orientasi.

Baca Juga  KRI Lanal Aru Dikerahkan Selamatkan Kapal yang Dibajak di Perairan Aru

Fakta berikutnya adalah terkait pembangunan Light Rail Transit (LRT) di Palembang, Sumatera Selatan. Projek dengan biayanya hampir Rp 12,5 triliun yang dibangga-banggakan itu nasibnya miris, pun memang sejak awal dinilai belum terlalu dibutuhkan.

Palembang yang hanya berpenduduk sekitar 1,5 juta jiwa tentu belum memerlukan moda transportasi semacam LRT. Semakin menguatkan kesan bahwa pembangunan infrastruktur hanya demi pencitraan dan menguntungkan konglomerasi.

Hasilnya, saat ini antara pendapatan dan biaya operasional tidak sebanding. Akibatnya, pemerintah pusat harus menyuntikkan dana subsidi agar LRT yang mulai beroperasi 23 Juli 2018 tetap berjalan. Seperti diberitakan Tribunnews, 31 Januari 2019, biaya operasional LRT Palembang mencapai Rp 10 miliar per bulan sementara pendapatannya hanya Rp 1,1 miliar per bulan.

Kondisi yang menyebabkan pemerintah pusat harus mensubsidi sekitar Rp.150 miliar per tahun, pada LRT yang memiliki konstruksi sepanjang 22,3 km, dengan 13 stasiun itu. Projek yang merugikan negara lantaran tingginya biaya operasional. Bukti adanya kesalahan perencanaan oleh pemerintah dalam membangun mega proyek tersebut.

Berikutnya adalah pembangunan Bandara Kertajati di Majalengka, Jawa Barat, yang menelan anggaran Rp. 2,7 triliun. Bandara yang beroperasi sejak 1 Juli 2019 ini masih sepi penumpang, maskapai penerbangan ogah terbang dari bandara itu.

Semenjak diresmikan, meskipun ada sejumlah maskapai yang membuka rute penerbangan di Bandara Kertajati, namun karena terus merugi, akhirnya menghentikan rute. Hingga saat ini hanya menyisakan Citilink dengan rute Kertajati-Surabaya, itupun frekuensi terbangnya hanya satu kali per pekan.

Rencana membangun Bandara Kertajati awalnya memang tidak ada dalam Tatanan Kebandarudaraan Nasional (PDF) atau peta jalan pengembangan bandara dalam jangka panjang, wilayah Majalengka tidak masuk dalam rencana pemerintah. Tapi entah kenapa proyek itu bisa tetap berjalan.

Baca Juga  Lakalantas Lagi, Pemotor Tewas di Ambon

Jusuf Kalla (JK), Wakil Presiden saat itu, bahkan mengatakan Bandara Kertajati sebagai proyek gagal. “Boleh dibilang perencanaannya tidak terlalu bagus, mungkin kurang penelitian, sehingga lokasinya tidak pas. Lain kali, jangan kita (pemerintah) membuat (bandara) lagi hanya karena ingin ada airport,” jelas JK, dikutip dari Antara.

Otoritas bandara pun mengumumkan, biaya operasional Kertajati saat ini sekitar Rp. 6-7 miliar per bulan. Sementara maksimal pemasukan hanya Rp. 2,2 miliar pertahun, bisa dihitung berapa Negara harus melakukan subsidi, menutupi pengeluaran sebesar itu. Tentu sama saja “membakar” uang.

Kedepan, pemerintah Indonesia harus lebih dulu melakukan kajian yang matang sebelum memutuskan satu proyek infrastruktur. Jangan hanya karena ambisi politik dan mencari keuntungan belaka, aspek-aspek substantif dan kemaslahatan rakyat justru terabaikan.

Kenyataan yang ada jelas-jelas menunjukan skema dan orientasi pembangunan nasional belum konfrehensif, terutama dalam membaca kebutuhan rakyat secara proporsional. Negara tidak saja dirugikan, yang lebih fatal lagi, akan melahirkan kekecewaan banyak anak bangsa yang mengetahui dan memahami realitas ini.

Kekecewaan mendalam bila membandingkan dengan fakta terbatasnya infrastruktur transportasi dan komunikasi yang masih menjadi keseharian masyarakat, khususnya di kawasan Indonesia timur. Terisolasi karena belum menjadi prioritas pembangunan nasional, sementara ada banyak proyek yang mubazir karena menjadi landang bancakan para elit dan oligarki.

Negara salah kelola, utang luar negeri diperbanyak untuk membangun wilayah tertentu, memperkaya kelompok dan golongan tertentu, sementara sebagian anak bangsa, seperti di Nusa Tenggara Timur, Maluku dan Papua tetap hidup dalam keterbatasan, tak turut menikmati hasil pembangunan pun ikut menanggung beban dan risiko akibat hutang luar negeri yang menumpuk. Sesuatu yang tentu tak adil bukan?

Baca Juga  Maluku No.4 Termiskin di Indonesia, Tanggung Renteng Kepala Daerah

Penulis adalah Founder/CEO IndoEast Network