TABAOS.ID,- Anak-anak di Negeri Sabuai, Kecamatan Siwalalat, Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) melakukan aksi bisu saat menyambut kedatangan Wakil Bupati Seram Bagian Timur, Idris Rumalutur (17/8/2021).
Aksi tersebut adalah bentuk protes, dan ungkapan keinginan masyarakat Negeri Sabuai agar ada pencabutan status tersangka kepada dua anak adat Sabuai oleh pihak Kejaksaan Negeri SBT.
Aksi bisu anak-anak Negeri Sabuai dengan berang merah di kepala, serta memegang pamflet itu dilakukan lantaran dua penjaga hutan justru digiring ke ranah hukum, buntut aksi mereka menghadang dan melempari alat berat milik perusahan yang melakukan pembalakan hutan tanpa izin.
Adapun materi yang ditulis pada sejumlah pamflet antara lain, “akibat ulah CV Sumber Berkat Makmur (SBM) Negeri Sabuai di terjang banjir”, serta sejumlah pesan yang berisi permintaan untuk membebaskan dua saudara mereka yang kini berstatus tersangka.
Informasi yang diperoleh, kunjungan orang nomor 2 di Kabupaten SBT ini adalah untuk meninjau langsung kondisi Negeri Sabuai pasca banjir yang terjadi pada 6 Agustus 2021 lalu.
Kepada wartawan, Frans Yamarua selaku Koordinator Aksi melalui saluran telepon mengatakan, aksi ini adalah upaya untuk mencari keadilan bagi ke dua tersangka yakni Kalep Yamarua dan Stvanus Ahwalam.
Seperti diberitakan tabaos.id sebelumnya, saat ini berkas perkara keduanya sudah dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Seram Bagian Timur, dan kini menunggu untuk disidangkan di Pengadilan Dataran Hunimoa.
Para pengunjuk rasa ini mengakui telah merasakan langsung dampak dari perbuatan CV SBM, dimana hutan mereka gundul, negeri mereka terendam banjir, bahkan parahnya lagi saat ini mereka dihadapkan pada kenyataan bahwa orang tua dan kaka mereka kini berstatus tersangka.
“Ya, anak-anak menyuarakan kepada Pemerintah Daerah SBT agar dapat melihat Nasib kedua Warga Sabuai, Kaleb Yamarua dan Stevanus Ahwalam. Mereka menyelamatkan hutan adat Kabupaten Seram Bagian Timur yang dirampas dan dirusak oleh CV SBM,” malah mereka harus dijadikan tersangka.
Dia juga mengatakan, secara hukum pihak CV SBM telah dihukum pengadilan atas pengrusakan hutan, dan itu berarti aksi dua masyarakat Sabuai ini dapat dibuktikan bahwa apa yang mereka itu bisa dipertanggungjawabkan dan merupakan bentuk hubungan sebab akibat.
“Hutan yang rusak, dan hasil hutan yang mereka ambil secara ilegal, jika dibandingkan dengan kerugian alat berat yang rusak pihak manakah yang lebih rugi?,” ungkap Yamarua.
Dia mengatakan, pengrusakan alat berat milik CV SBM oleh kedua tersangka mempunyai alasan tersendiri yakni CV SBM telah melakukan pembalakan liar di hutan Negeri Sabuai, padahal awalnya sudah ada pembicaraan maupun pemalangan jalan namun tidak dihargai.
Akibat hutan Sabuai dibabat, tertanggal 6 Agustus 2021 banjir pun melanda Negeri Sabuai. Yamarua menjelaskan, tindakan pengrusakan terhadap alat berat milik CV SBM sejatinya, merupakan bentuk partisipasi mereka selaku Warga Negara dalam menjalankan amanat Konstitusi.
Sebagaimana dijelaskan dalam UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan Pengrusakan Hutan Pasal 61 huruf F yang menyebutkan; Masyarakat berperan serta dalam pencegahan dan pengrusakan hutan dengan melakukan kegiatan lain yang bertujuan untuk pemberantasan dan pencegahan pengrusakan hutan.
Selanjutnya UU Nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup yang menyebutkan Bahwa: Masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
“Ya, melalui aksi ini sekiranya Pemerintah Daerah Seram Bagian Timur (SBT), dapat merespon persoalan ini dan menyuarakan kepada institusi yang mempunyai kewenangan dalam penegakan hukum terkait status hukum 2 pahlawan hutan adat dari Negeri Sabuai mereka patut mendapat penghargaan dari negara, mereka harus dilindungi bukannya harus dihukum”, urai Yamarua.
Dijelaskan, makna membela negara itu tidak sebatas menggunakan senjata saja, tetapi apa yang dilakukan oleh kedua pemuda Sabuai yang kini sudah jadi tersangka merupakan bagian dari upaya pembelaan dan menyelamatkan negara dari ancaman kerusakan alam.
Selain itu, Frans Yamarua selaku Koordinator Aksi sangat menyayangkan tindakan arogansi dari dua Oknum Kepolisian asal Polsek Werinama SBT yang mengambil sejumlah atribut aksi pasca aksi dengan alasan akan dijadikan sebagai barang bukti untuk kepentingan pelaporan ke pimpinan mereka.
“Ya boleh dikatakan tindakan dua oknum polisi tersebut untuk meneror mental kami dalam menyuarakan persoalan Sabuai dan ini gaya orde baru bukan era reformasi”, ungkapnya.
Padahal menurutnya, dalam aksi-aksi yang sama, yang dilakukan oleh para aktivis di Ambon, pihak Kepolisian dalam melakukan pengawalan tidak mengambil atribut aksi milik para demonstran dengan sebagai bukti untuk kepentingan pelaporan kepada pimpinan, kenapa di Sabuai ada aksi semacam itu oleh polisi.
Untuk itu pihaknya berharap, Kapolda Maluku dapat melakukan mengevaluasi terhadap kinerja seluruh Anggota Polsek Werinama SBT. Saat yang sama pihaknya juga mengakui aksi perampasan secara paksa atribut aksi oleh dua oknum Polsek Werinama telah disampaikan ke tim kuasa hukum masyarakat Sabuai untuk kemudian dilaporkan ke Polda Maluku dan Propam Polda Maluku.
“Inilah bentuk arogansi, ketika mimbar demokrasi berupa media untuk berorasi harus diambil paksa atau dirampas dengan alasan akan dijadikan bukti. Kami menilai ini bagian dari bentuk intimidasi terhadap masyarakat yang secara konstitusi memiliki hak untuk menyampaikan pendapat di depan umum, dan untuk hal ini sudah disampaikan ke kuasa hukum masyarakat Sabuai untuk kemudian dilaporkan ke Polda Maluku dan Propam Polda Maluku,” tegas Yamaru.
(TCJ)