Sepakat Berindonesia untuk Apa, Sementara Ketimpangan Terpelihara

0
3170

“Ketidakadilan dan kesenjangan yang begitu telanjang, makin lama semakin dianggap sebagai hal yang biasa atau lumrah. Padahal kesepakatan berdirinya Indonesia tentu tidak untuk memperlebar jurang orang kaya dan miskin serta mengabaikan hak-hak minoritas” 

Oleh: Ikhsan Tualeka

Indonesia adalah negara kesepakatan yang dibangun untuk mencapai tujuan bersama. Setelah jauh berjalan, yang perlu diperiksa kembali apakah semua sudah ada dalam garis perjalanan yang sama, atau justru ada yang masih tertinggal jauh dibelakang.

Bila memakai perspektif sejarah Indonesia, mengutip pidato Soekarno pada 1 Juni 1945 di depan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI),  Indonesia adalah “semua untuk semua, satu buat semua, semua buat satu”. Yang berarti semua orang yang menjadi bagian negeri ini memiliki hak dan kewajiban setara, tanpa kecuali.

Ibarat berada di rumah besar bersama, semua orang Indonesia punya kesempatan yang sama untuk mengembangkan diri dan berpartisipasi dalam proses pembangunan nasional, apapun suku, agama serta pandangan politiknya. Tak ada belenggu diskriminasi.

Tapi setelah lebih dari 75 tahun berjalan, bersama dalam rumah besar itu, semua cita-cita dan kesepakatan yang telah dibangun sepertinya hanya menjadi angan-angan semu, nasib rakyat kebanyakan di negeri ini semakin terpinggirkan, bila tak mau disebut tertindas. Jurang ketimpangan semakin melebar.

Mereka yang diatas tetap di atas, sementara yang di bawah, tetaplah berada di bawah. Tak ada perubahan yang berarti. Antara kesepakatan dan pencapaian tidak seiring sejalan, tak sebangun. Konsensus yang telah dibuat faktanya tidak dijalankan dengan adil dan sungguh-sungguh.

Konstitusi, UUD 45 dan Pancasila masih sekadar pajangan, sebatas kata-kata atau retorika. Diterapkan atau digunakan sesuai selera penguasa dan pemilik modal. Membuat kehidupan sebagian masyarakat tak ubahnya dengan masa kolonial masih berkuasa.

Baca Juga  Aksi Pembakaran Bendera Partai Dikecam PDIP Kota Ambon

Para petani dan nelayan, terutama di desa-desa yang hidupnya miskin dan tertinggal pada masa bercokolnya kolonial dari Eropa, setelah penjajah itu pergi pun kehidupan mereka tak beranjak menjadi lebih baik. Kehidupan berjalan ala kadarnya, sirkulasi nasib hanya terjadi pada kalangan elite di perkotaan.

Bila punya kesempatan jalan-jalan berkeliling Indonesia, akan mudah disaksikan ketimpangan itu. Walaupun berada dalam satu negara yang sama, pergi ke sejumlah daerah atau kota di kawasan barat Indonesia, terutama di Jawa, akan merasa seperti sedang bepergian ke negara lain yang lebih maju, berbanding terbalik dengan luar Jawa, terutama di kawasan timur Indonesia.

Memang ketimpangan tidak saja terkait atau hanya di wilayah timur tanah air, sejumlah daerah di kawasan barat juga terlihat kondisinya masih jauh dari harapan. Tapi secara vulgar, realitas disparitas itu akan terlihat jelas antara kawasan timur dan barat.

Sejalan dengan data Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional atau Bappenas RI tahun 2019, yang menyebutkan ketimpangan antar wilayah di Indonesia masih sangat tinggi. Kemiskinan di kawasan timur Indonesia sebesar 18,01 persen, sedangkan kawasan barat Indonesia 10,33 persen.

Situasi yang timpang ini juga dapat disaksikan dalam urusan pembangunan di bidang pendidikan. Webometrics, salah satu lembaga yang selalu melakukan pemeringkatan universitas- universitas terbaik di dunia, baru-baru ini mengeluarkan hasil pemeringkatan terbarunya, yakni edisi Juli 2020, memperlihatkan 10 universitas terbaik di Indonesia ada di pulau Jawa dan Sumatera.

Wajar kemudian bila ada yang berkesimpulan bahwa kemerdekaan ini belum dinikmati bersama-sama oleh anak bangsa. Saya sendiri punya pengalaman pribadi, bisa jadi subjektif, tapi setiap menyaksikan realitas ketimpangan yang ada, membuat saya kerap mengelus dada dan menarik nafas panjang.

Baca Juga  Beristirahat Dalam Damai Pdt. Jacob Nahuway - Sosok Yang Beritakan Injil Tanpa Ragu-Ragu

Sebagai seorang Putra Timur yang lebih sering tinggal di ibukota negara, akan tetapi setiap kali pulang bepergian dari Maluku atau dari kawasan timur lainnya selalu saja ada perasaan tidak puas menjadi bagian dari Indonesia. Selalu terbesit rasa kecewa bila membandingkan realitas pembangunan yang tidak adil.

Ketidakadilan itu tak hanya terlihat nyata, juga terkonfirmasi dalam data-data statistik yang dikeluarkan oleh otoritas terkait, akan panjang bila disajikan dalam catatan pendek ini. Data-data yang ada pun hanya sekadar jadi pajangan karena sepertinya tidak digunakan sebagai acuan untuk mengevaluasi arah pembangunan nasional.

Di Pulau Jawa dan sebagian Sumatera infrastruktur dibangun di mana-mana, jembatan dan jalan bertingkat, sedangkan di Indonesia timur tidak banyak yang berubah dari tahun ke tahun. Belum terhitung berbagai regulasi yang tidak berpihak atau bahkan cenderung diskriminatif.

Penguasaan sumber-sumber ekonomi juga masih dan tetap ada pada sekelompok kecil orang. Peralihan kekuasaan yang sebelumnya dijalankan Belanda atas negeri ini, hanya menghasilkan sebentuk negeri merdeka yang dikendalikan oleh elite bangsa sendiri, untuk kepentingan kelompok sendiri, di pusat maupun di daerah.

Kita hanya baru bisa memindahkan kekuasaan dari kolonialisme Bangsa Eropa ke tangan para oligarki, membuat pembangunan nasional yang berjalan hingga hari ini tak menyentuh kebutuhan mendasar. Indonesia pun masih tetap berada dalam struktur masyarakat yang feodal warisan kolonialisme.

Ketidakadilan dan kesenjangan yang begitu telanjang, makin lama semakin dianggap sebagai hal yang biasa atau lumrah. Padahal kesepakatan berdirinya Indonesia tentu tidak untuk memperlebar jurang orang kaya dan miskin serta mengabaikan hak-hak minoritas. 

Andai saja para pendahulu kita yang dulu turut menjadi bagian dalam membangun kesepakatan (baca: Indonesia) itu masih hidup, khususnya dari daerah, seperti Maluku, yang memiliki saham yang besar atas terbentuknya republik ini, lantas tak mendapatkan atau turut memetik buah kemerdekaan. Saya yakin mereka sudah menarik kesepakatan yang dibuat.

Perjalanan bersama sejauh ini tanpa disadari, makin melenceng dari kesepakatan awal didirikan, menuju tepian jurang kegagalan. Dengan realitas yang ada, bukan tak mungkin Indonesia akan bubar, seperti ditulis dalam karya fiksi Peter W. Singer berjudul Ghost Fleet. Bersiaplah kawan!

Ambon, 5 Juli 2020