Untuk Apa Paspor Kedutaan Besar Maluku?

0
4078
Paspor Kedutaan Besar Maluku, simbol perlawanan 'kreatif' atas ketidakadilan terhadap Maluku

“Paspor Maluku yang coba diterbitkan adalah salah satu cara untuk memberikan pesan komunikasi simbolik, bahwa ada warga negara yang tidak puas dan merasa belum diperlakukan dengan adil.”

Oleh: M. Ikhsan Tualeka

Seluncuran paspor dari ‘Kedutaan Besar Maluku’ untuk selanjutnya disebut ‘Paspor Maluku, guna mengkritisi persoalan transportasi, khususnya terkait kenaikan harga tiket pesawat dan berbagai realitas politik yang tak adil buat Maluku, ternyata menjadi viral di media sosial dan diliput televisi nasional. Banyak warganet bahkan meminta untuk juga dibuatkan paspor ini.

Awalnya paspor dibikin sebagai satire simbolik dan gimmick, bagian dari kritik-kreatif agar pesan bisa segera sampai pada pengambil kebijakan publik. Cara ini sebenarnya juga pernah dibuat insan kreatif di Bekasi, dalam mengkritisi kemacetan yang harus dialami setiap hari, mereka membuat Paspor Kedubes Bekasi.

Memang kritik-kreatif diperlukan dan dimungkinkan seiring maju dan berkembangnya media digital. Karena dengan begitu kritik publik menjadi viral, sehingga efektif dalam menarik perhatian pemangku kebijakan. Dengan cara yang kreatif apalagi didukung oleh media sosial, tentu dapat memantik diskursus yang lebih besar terhadap satu isu.

Artinya dengan cara atau kritik yang kreatif, satu isu bisa dikelola, viral dan menjadi diskursus publik. Sehingga ‘Paspor Maluku’ sejatinya adalah ikhitar ke arah itu. Karena bila terus bergulir, tentu bakal menarik perhatian yang lebih besar, khususnya terkait dengan tuntutan publik yang diajukan.

Upaya kritik secara kreatif menjadi penting dan strategis dalam menyuarakan persoalan daerah, di tengah representasi politik orang Maluku di tingkat nasional, khususnya di lembaga-lembaga formal seperti DPR RI dan DPD RI, belum terlihat bekerja optimal. Satu realitas politik yang membuat banyak persoalan Maluku belum mendapat porsi pemberitaan serta pembahasan yang memadai dalam diskursus politik nasional.

Memang salah satu masalah komunikasi politik orang Maluku selama ini adalah pada mainstreaming atau pengarusutamaan isu lokal sehingga menjadi pembahasan nasional. Dampaknya, persoalan yang dialami di daerah akhirnya terus mengendap bersama penderitaan rakyat-nya.

Alih-alih mencari cara agar ada perhatian yang lebih besar untuk Maluku, seperti yang kita lihat  dalam perhatian yang diberikan pemerintah pusat kepada Aceh dan Papua. Banyak generasi muda Maluku justru kerap tidak menunjukan persatuan dalam mendorong isu atau persoalan Maluku.

Baca Juga  Masyarakat Adat MBD: Garuda di Dada, Perut di Timor Leste

Saling sikut kadang lebih menonjol dari pada kolaborasi. Kritik-kreatif yang diarahkan untuk mendesak pemerintah pusat pun bisa dengan gampang dilabeli ‘jangan-jangan ini separatis’.

Kondisi ini yang menjadikan orang Maluku ibarat dua orang yang terperosok ke dalam sumur, meski sama-sama ingin keluar, tapi malah bertikai di dasar sumur. Jika begini terus realitasnya, sampai mati, tidak ada yang bisa keluar dari sumur.

Sama seperti banyak di antara orang Maluku yang lebih memilih saling meniadakan, ketimbang saling mendukung. Kenyataan seperti yang membuat posisi tawar Maluku menjadi lemah, dan terus tertinggal.

Lemahnya posisi tawar, membuat Maluku belum benar-benar menjadi prioritas dalam skema pembangunan nasional. Kecilnya alokasi APBN –padahal tantangan pembangunan di Maluku tidaklah sedikit– serta adanya sejumlah regulasi yang tidak berpihak atau justru merugikan Maluku sebagai provinsi kepulauan adalah fakta bahwa Maluku masih ditinggal, dan akhirnya terus tertinggal.

Kondisi kekinian Maluku masih belum banyak berubah dari waktu ke waktu. Orientasi pembangunan pendidikan yang belum benar-benar diarahkan untuk dapat menjawab dan memacu pertumbuhan ekonomi dan industri berbasis pada sumber daya alam yang dimiliki.

Faktanya, potensi laut Maluku masih sekadar pajangan. Sebagai lumbung ikan dunia, tak ada implikasi ekonomi yang signifikan bagi Maluku.

Di Maluku angka kemiskinan tinggi, pengangguran juga demikian, gizi buruk kerap ditemukan, kematian ibu dan anak masih tinggi, rusaknya lingkungan akibat penambangan liar dan perambahan hutan terus berlanjut. Semua itu adalah kenyataan pahit yang harus dihadapi oleh daerah kaya ini.

Kecakapan pemerintah daerah dalam mengelola dan memajukan daerah ini juga menjadi faktor utama sejumlah masalah belum terurai dengan baik. Namun pemerintah pusat juga punya andil dan dosa besar atas paradoks ini.

Karena itu, mendesak adanya perhatian pemerintah pusat menjadi salah satu titik tekan yang perlu dilakukan. Sebab Maluku tak akan pernah maju dan bersaing dengan daerah lain, keluar dari ketertinggalan, jika tak ada regulasi yang relevan dan alokasi anggaran yang memadai khususnya di sektor pendidikan, dan kita tahu, soal ini pemerintah pusat yang punya kewenangan.

Baca Juga  Tak Digaji Empat Bulan, Ellyas Pical dkk Mengadu ke Kemenpora

Ada berbagi strategi komunikasi politik yang bisa dilakukan dalam mendesak hadirnya perhatian itu, antara lain dengan komunikasi simbolik. Paspor Maluku yang coba diterbitkan adalah salah satu cara untuk memberikan pesan komunikasi simbolik yang kuat, bahwa ada yang tidak puas dan merasa belum diperlakukan dengan adil.

Apalagi belakangan setelah aksi peluncuran paspor, jumlah peminatnya tinggi. Sekalipun belum jelas motivasi warga yang ingin memiliki ‘Paspor Maluku’, bisa jadi hanya karena mau ikutan protes dan mungkin mau menjadi bagian dari perlawanan atas ketidakadilan bagi Maluku selama ini. Atau ini menjadi pertanda bahwa kekecewaan publik terhadap pemerintah pusat makin meluas. Masing-masing orang tentu punya alasan tersendiri.

Sesuatu yang pasti ‘Paspor Maluku’ pada satu sisi telah viral dan menjadi diskursus publik, dan di sisi yang lain bisa menjadi embrio bagi hadirnya protes yang lebih kuat dan tegas dalam menuntut keadilan bagi Maluku. Tentu bila ‘Paspor” ini mau dimaknai sebagai salah satu simbol dalam mengajukan tuntutan kolektif.

Ada banyak cerita bagaimana pemakaian simbol dapat menarik solidaritas bersama dan membentuk perlawanan kolektif terhadap kebijakan yang tidak adil. Hal ini misalnya dapat kita saksikan dalam gerakan ‘jaket kuning’ sebagai simbol perlawanan warga terhadap kebijakan Presiden Prancis, Emmanuel Macron beberapa waktu lalu, yang ternyata efektif sehingga kebijakannya soal BBM dan pajak bisa dinegosiasikan ulang.

Sebuah upaya atau gerakan yang oleh John C. Cross dalam bukunya, Informal Politics, Street Vendors, and the State in Mexico City (1998) menyebutnya sebagai teori mobilisasi sumber daya (resource mobilization theory). Yakni apabila kelompok marginal dalam masyarakat mampu memobilisasi sumber daya mereka, maka mereka akan dapat mempengaruhi kebijakan negara. Sumber daya yang dimobilisasi bisa berupa jumlah orang, solidaritas kelompok, jaringan kemampuan lobi dan sebagainya.

Baca Juga  2400,15 Ha Hutan Siap Digunduli Perusahan, Masyarakat Adat Taniwel Turun Gunung

Artinya, bila ada gerakan kolektif secara simbolik yang mau dilakukan bersama, antara lain jika sama-sama menjadikan ‘Paspor Maluku’ atau gimmick dan satire lainnya yang kedepan dapat diinisiasi sebagai simbol protes kolektif, kemudian bila berlangsung secara massif, minimal di media sosial. Dipastikan dapat menjadi fenomena baru dalam menggalang solidaritas orang Maluku, sehingga suara-suara yang selama ini tak terdengar akan bisa lebih didengar.

Tentu sebelum menjadi perhatian pemangku kebijakan, mungkin terlebih dahulu perlu menjadi bahan pemberitaan utama media nasional, sehingga dibahas lebih mendalam dilayar kaca. Misalnya di Indonesia Lawyer Club (ILC) dan talkshow TV nasional lainnya.

Minimnya pressure dan upaya mainstreaming isu lokal hingga dapat berimplikasi pada pemberitaan media, membuat sampai saat ini belum satu pun permasalahan Maluku dibahas setidaknya di TV nasional. Padahal banyak fakta dan bahan yang bisa dijadikan tema diskusi, bila ada upaya publik mewacanakannya secara luas.

Persoalan gizi buruk, perambahan hutan, tambang yang merusak lingkungan, masalah buruknya infrastruktur tranportasi dan pendidikan, adalah sejumlah isu yang sebenarnya ‘seksi’ untuk dibahas. Namun luput karena gagal di arus utamakan.

Memang ada dua talkshow soal Maluku di Kompas TV, dua-duanya penulis ikut hadir sebagai narasumber. Tapi terus terang isu-nya belum terkait atau menyentuh masalah Maluku yang mendasar.

Semoga kedepan gerakan kolektif yang mau kita dorong bersama, antara lain dengan ‘Paspor Maluku’ yang telah viral ini, atau ide kreatif lainnya, dapat menjadi cara jitu dan cerdas dalam mengarusutamakan berbagai persoalan daerah. Sehingga Maluku benar-benar dapat diperhatikan lewat kebijakan afirmatif.

Seperti yang saat ini telah didapatkan oleh Papua dan Aceh. Dalam politik tak ada posisi tawar, tanpa ada ‘perlawanan’ kolektif, dan tak ada perubahan politik tanpa ada gerakan politik. Maluku Bergeraklah!

Penulis adalah Direktur Beta Kreatif