Catatan Akhir Tahun 2019 Maluku Crisis Center

0
1128

“Sejumlah kekerasan dan pelanggaran HAM berat terjatdi di laut Aru dan Arafura yang berawal dari kebijakan Jakarta”

Memotret waktu 365 hari dengan lensa kritis yang diletekan di penghujung tahun 2019 yang akan berlalu ini dengan memberi preferensi pada isu-isu HAM yang terjadi di Maluku tentu butuh sudut pandang yang berbeda dengan metode analisa yang tajam, berbasis fakta dan teori serta dalil.

Pertanyaannya mengapa HAM? Karena HAM adalah salah satu isu global yang masih akan terus bertahan hingga berabad-abad ke depan bersamaan dengan isu ekologi dan demokrasi. Karena itu dalam catatan akhir tahun ini, MCC kembali mengangkat sejumlah fakta tentang praktik pelanggaran HAM yang terjadi di laut, di sepanjang tahun 2019, khususnya yang berkaitan dengan kebijakan Jakarta dalam mengeksploitasi sumber daya perikanan di laut Aru hingga Arafura.

Tanpa kita sadari, tahun 2019 adalah the black year bagi upaya mempromosikan HAM di Maluku, khususnya di laut. Berbagai praktik pelanggaran HAM dan dehumanisasi dapat ditemukan secara jelas di tahun 2019 yang terkait dengan kebijakan Jakarta.

Apa itu kebijaknnya? Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti pada periode pertama Presiden Jokowi mengirimkan 1.100 buah kapal ikan eks Cantrang ke laut Aru dan Arafura dengan kepentingan mengeksploitasi sumber daya perikanan.

Dalam perjalanannya, karena keasyikan, jumlah kapal ikan ditambahkan dengan jumlah Anak Buah Kapal (ABK) di setiap kapal ikan di atas 30 orang dan semuanya adalah bukan nelayan lokal. Artinya ada ribuan buruh nelayan dari luar yang mengoperasikan ribuan kapal penangkap ikan di laut Aru dan Arafura. Dan kebijakan itu sudah hampir 5 tahun berjalan.

Sejauh pengamatan atau monitoring MCC, ditemukan sejumlah kasus pelanggaran HAM dan pembantaian masal terjadi di laut Aru dan Arafura akibat kebijakan tersebut. Namun anehnya hingga pergantian menteri KKP saat ini tidak ada prosea evaluasi terhadap kebijakan yang sangat merugikan Maluku tersebut, khususnya masyarakat Aru.

Baca Juga  Mengupayakan Solusi Penanggulangan Sampah Plastik di Maluku

Beberapa kasus pelanggaran HAM yang dicatat MCC sebagai berikut:

Pertama, Tanggal 16 Agustus 2019; Kasus pembantaian 36 orang ABK KM Mina Sejati oleh 3 orang ABK lainnya (ayah, anak dan paman) yang menewaskan 7 orang ABK. 5 ditemukan tewas di atas kapal dan 2 orang lainnya tewas saat melompat dari kapal bersama 9 orang lainnya, sedangkan 21 orang hilang jejak.

Meskipun kasus ini sudah tenggelam alias kadaluarsa namun tentu masih misterius sebab berbagai penjelasan pihak-pihak yang berwenang sangat membingungkan publik dan terkesan ada upaya pemutihan sebab hingga kini 3 orang pelaku pembantaian itu belum ditemukan atau sengaja dibuat untuk tidak ditemukan?

Namun MCC melihatnya sebagai bagian dari praktik kekerasan dan pelanggaran HAM yang yang tidak dapat dilepaspisahkan dengan kebijakan Jakarta tersebut. Mestinya negara sebagai policy maker dapat mengevaluasi kebijakannya sendiri bahkan bertanggungjawab dalam menyelesaikannya. Namun hingga kini kasusnya tenggelam.

Kedua, Tanggal 23 Desember 2019; Kasus kematian Edho Nenoliu, ABK di salah satu Kapal ikan yang beroperasi di laut Aru asal NTT. Pada pukul 00.52 WIT saya sebagai Koordinator Advokasi MCC dihubungi salah satu keluarga korban yang meminta bantuan mengembalikan jenasah korban tersebut ke NTT. Saat itu menurut informasi dari pihak keluarga, jenasah korban sedang berada di Pelabuhan Dobo, Kepulauan Aru.

Kami yang berdomisili di Ambon kemudian memastikan untuk menghubungi keluarga dan kerabat guna mencari tahu posisi jenasah agar dilakukan upaya mengembalikan jenasah tersebut ke NTT dengan pesawat yang siap dibiayai keluarga korban. Pihak keluarga korban juga menjelaskan bahwa salah satu ABK yang juga berasal dari NTT enggan memberi informasi terkait peristiwa kematian korban sehingga terkesan ada pihak yang menekannya agar tidak membuka informasi.

Selang beberapa jam kemudian keluarga korban memberi yahu bahwa korban sudah dibawa ke Rumah Sakit Umum Cenderawasih Dobo. Pihak keluarga korban menduga korban tewas karena dibunuh.

Baca Juga  Tinggalkan Zona Nyaman, Lalui "Jalan Busur" Demi Maluku Berkemajuan: Jejak Langkah Murad Ismail Sebagai Pemenang Hati Rakyat

Kasus yang menimpa Edho Nenoliu ini juga terkait dengan kebijakan mantan menteri KKP, Susi Pudjiastuti tersebut yang hingga kini tak ada proses pencarian fakta pelaku pembunuhannya jika benar kematiaannya karena dibunuh. Kasus yang misterius tentu menyisahkan luka bagi tegaknya HAM.

Ketiga, Tanggal 27 Desember 2019; Kasus penemuan mayat di pantai Sipur Dobo, Kep. Aru. Mayat yang ditemukan itu adalah mahasiswa yang berpraktek di salah satu kapal ikan yang beroperasi di laut Aru.

Menurut informasinya, mahasiswa tersebut terjatuh dari atas kapal dan tidak ditemukan sampai kemudian ditemukan dalam keadaan tak bernyawa di pantai Sipur Dobo. Ini tentu menjadi sebuah keanehan. Kalau terjatuh di laut dari kapal, pasti masih bisa diselamatkan karena korban pasti teriak minta tolong dan seluruh awak kapal dengan segala peralatan pertolongan diarahkan untuk menyelamatkannya. Dan tentu masih bisa diselamatkan.

Kapal ikan yang berukuran besar yang beroperasi di laut Aru itu kan sudah dilengkapi dengan peralatan untuk memberi pertolongan kepada setiap ABK yang mengalami musibah di laut. Tapi terhadap kasus ini nanpaknya penuh keanehan. Oleh sebab itu, sangat diharapkan agar ada penelusuran dan tiadakan pemutihan kasus. Ini murni kematian yang punya relevansi dengan isu HAM sehingga mesti ditelusuri secara mendalam.

MCC meyakini bahwa selain 3 kasus tersebut, masih terdapat kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya yang terjadi di laut Aru yang punya keterkaitan dengan kebijakan pemerintah pusat tersebut yaitu mengirim ribuan kapal ikan beroperasi di laut Aru.

Karena itu, MCC memposisikan diri pada dasar argumentasi bahwa Jakarta telah secara jelas menciptakan kebijakan yang mengakibatkan maraknya praktik pelanggaran HAM di laut Aru dan Arafura karena itu negara harus bertanggungjawab. Argumentasi itu memiliki beberapa dalil sebagai berikut:

  1. Jakarta bukan saja telah mengeksploitasi sumber daya perikanan di laut Aru dan arafura tetapi telah meresahkan masyarakat Aru dengan adanya sejumlah praktik pelanggaran HAM dan pembantaian yang terjadi di laut Aru dan arafura.
  1. Jakarta selama ini mendapatkan keuntungan ekonomis dari laut Aru dan Arafura sementara yang ditinggalkan kepada masyarakat Aru adalah sejumlah mayat yang berserakan di laut Aru sebagai akibat riil dari praktik pelanggaran HAM dan kekerasan.
  1. Jakarta seenaknya menciptakan kebijakan yang menguntungkan mereka di satu sisi dan merugikan masyarakat Aru di sisi lain baik secara ekonomis, politik, HAM dan ekologis.
  1. Selain praktik pelanggaran HAM dan kekerasan yang terjadi di laut Aru sepanjang tahun 2019, aktivitas ribuan kapal eks cantrang telah secara jelas merugikan ekologi laut dan membunuh hajat hidup nelayan lokal di kepulauan Aru.
  1. Kebijakan Jakarta adalah bagian dari tindakan Illegal Fishing yang dilegalkan sendiri oleh Jakarta sebagai pusat policy making.
  1. Jakarta adalah The Invisible Hand yang menciptakan dan menskenariokan praktik pelanggaran HAM (Ekosob) di laut Aru yang merugikan masyarakat Aru dan pemerintah Maluku.
Baca Juga  Kabupaten SBT dan Kota Ambon Alami Lonjakan Pasien Covid-19

Karena kebijakan Jakarta itulah laut Aru bukan saja menjadi pusat perikanan yang menjanjikan tetapi telah berubah menjadi pusat pembantaian, kekerasan dan pelanggaran HAM berat serta pengrusakan ekologi laut. Sehingga MCC akan mendesak agar:

Seluruh kapal-kapal penangkap ikan harus ditarik dari Laut Aru agar meminimalisir kekerasan dan pelanggaran HAM yang meresahkan dan merugikan masyarakat Aru. Semoga catatan akhir tahun MCC ini dapat dipahami semua pihak dan diperjuangkan bersama. Selamat memasuki Tahun baru 2020.

Divisi Advokasi dan Monitoring Maluku Crisis Center (MCC)