Oleh: Paman Nurlette
Sebagaimana diketahui Gubernur Maluku Murad Ismail bersama 6 kepala dan wakil kepala daerah saat ini, melalui kuasa hukum mengajukan permohonan uji materi Norma Pasal 201 Ayat 5 Undang-undang nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada, terkait masa jabatan dengan perkara teregistrasi Nomor 143/PUU-XXI/2023.
Sebelumnya Gubernur Maluku meyakini masa jabatannya berakhir April 2024, dengan argumentasi yang didasarkan pada tahun pelantikan dan narasi politik Mendagri saat berkunjung di Ambon.Tapi, saat itu penulis langsung membantah wacana tersebut, dengan memberikan perspektif hukum tentang norma transisi dalam legal opinion, yang menegaskan masa jabatan Gubernur tetap berakhir 2023.
Hal ini, bisa dipastikan pasca 31 Desember Gubernur Maluku tidak lagi menjabat berdasarkan bukti surat resmi dari Kemendagri, yang telah diterima oleh DPRD Provinsi. Ketika diplomasi politik gagal dalam mempertahankan masa jabatan 5 tahun, maka Judicial Review adalah jalan alternatif Murad Ismail. Upaya hukum ke MK terkait pemotongan masa jabatannya sudah tepat sebagai orang yang sadar hukum, karena pengadilan merupakan tempat formal untuk mencari keadilan. Sehingga langkah tersebut dihargai sebagai hak konstitusional setiap warga Negara.
Namun, secara yuridis normatif pemotongan masa jabatan seluruh kepala daerah hasil pemilihan 2018 dan 2020, berdasarkan amanat norma Pasal 201 Ayat (5) dan (7) sebagaimana termaktub secara eksplisit dalam Undang-undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.
Menurut ketentuan Norma Pasal 201 Ayat (5) yang menyebutkan bahwa “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023”. Kemudian Ayat (7) menyebutkan “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan tahun 2020 menjabat sampai tahun 2024”.
Sementara ketentuan Norma Pasal 162 Ayat (1) Undang-Undang Pilkada. Menyebutkan bahwa “Gubernur dan Wakil Gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 161 ayat (1) memegang jabatan selama 5 tahun terhitung sejak tanggal pelantikan dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan”. Ini yang menjadi dalil argumentasi hukum Gubernur Maluku untuk melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi.
Lantas bagaimana meneropong hasil Judicial Review Gubernur Maluku dari optik hukum terkait pengajuan uji formil di Mahkamah Konstitusi, untuk mencari kepastian hukum dan keadilan. Pemohon meminta MK dapat memberikan tafsir konstitusional, yang final tentang akhir masa jabatan kepala daerah hasil pemilihan 2018, tapi baru dilantik pada tahun 2019. Terutama mengenai ketentuan dua norma Pasal yang dinilai terjadi benturan hukum seperti disebutkan di atas.
Sebab, pada kenyataannya kepala daerah hasil pemilihan 2018, yang dilantik di tahun yang sama menjabat tetap normal 5 tahun. Sedangkan Gubernur Maluku dan kepala daerah hasil pemilihan 2018, tapi baru dilantik 2019 hanya menjabat 4 tahun lebih. Aturan yang sama juga berlaku terhadap kepala daerah hasil pemilihan 2020, yang baru dilantik 2021 menjabat hanya tiga tahun lebih. Meskipun ketentuan Norma Pasal 201 Ayat (5) dan Ayat (7) dianggap tidak adil bagi para pemohon, tapi dari optik hukum diperbolehkan sebagai konsekuensi dari masa transisi menuju yang permanen.
Dalam hukum kita mengenal terminologi hukum normal dan hukum tidak normal, serta salah satu varian lain adalah hukum transisional. Norma Pasal 201 yang terkandung dalam Undang-undang Pilkada, mengkonfirmasikan sekarang sedang terjadi masa transisi dan perubahan hukum Pilkada serentak Nasional. Terjadi perubahan hukum, maka jangan kita bicara hukum normal yang lama dan hukum normal yang baru, karena sebuah perubahan hukum membutuhkan adanya transisi.
Menurut Jimly Asshiddiqie, dalam masa transisi melihat norma yang satu beda dengan norma yang lain, atau aturan hukum yang lama bedah dengan hukum yang baru. Perumpamaannya sederhana, kalau hukum normal yang lama sebagai norma satu, dan hukum normal baru sebagai norma dua. Maka norma hukum yang berlaku di masa transisi sekarang merupakan norma satu stengah, sehingga bedah dengan keduanya.
Karena itu, menurut hemat penulis pada saat uji materi, Mahkamah pasti memiliki argumentasi hukum yang kuat untuk menyatakan norma Pasal 201 ayat 5 tidak bertentangan dengan pasal 28D Ayat (1) dan (3) UUD NRI 1945, sebagaimana diasumsikan oleh Gubernur Maluku dan sejumlah kepala daerah. Sebab, saat ini merupakan masa transisi dan sebagai konsekuensi dari peraturan yang telah diputuskan, maka diperbolehkan penggantian sejumlah kepala daerah termasuk Gubernur Maluku, yang tidak genap lima tahun masa jabatan terhitung sejak tanggal pelantikan.
Adanya pengaturan mengenai masa jabatan kepala daerah hasil pemilihan 2018, tetap berakhir pada 2023 telah termaktub secara eksplisit dalam Norma Pasal 201 Ayat (5) Undang-undang Pilkada. Maka, oleh Mahkamah nanti menyatakan dalam batas penalaran yang wajar, ketentuan dimaksud dianggap telah diketahui sebelumnya oleh semua pasangan calon yang ikut ritual politik Pilkada pada 2018. Dengan kata lain, pengurangan atau pemotongan durasi masa jabatan Gubernur demikian sudah diketahui secara pasti oleh kepala daerah waktu itu. Sebab UU Pilkada telah berlaku semenjak 2016, sementara Pilkada baru dilaksanakan di tahun 2018.
Masa jabatan Gubernur Maluku tidak sampai 5 (lima) tahun sebagai akibat dari lambatnya proses pelantikan atas pemberlakuan Norma Pasal 201 Ayat (5). Mestinya saat itu, Gubernur Maluku setelah mengetahui aturan hukum dan ingin memperoleh masa jabatan normal, maka memohon kepada pemerintah pusat untuk melakukan percepatan pelantikan sesuai tahun pemilihan.
Hal ini sesuai ketentuan Norma Pasal 201 Ayat (5) dan (7) secara eksplisit telah mengandung frasa “hasil Pemilihan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023”. Dan “hasil pemilihan tahun 2020 menjabat sampai tahun 2024”. Itu artinya, norma tersebut menegaskan berakhir masa jabatan Gubernur hasil pemilihan 2018 dan 2020 terletak pada tahun pemilihan bukan pelantikan.
Harus dipahami pemotongan masa jabatan Gubernur oleh Negara di masa transisi bukan sebuah pelanggaran hak asasi manusia dan diskriminatif, melainkan kebijakan memformulasikan penyelenggaraan Pilkada 2024 secara serentak Nasional. Sebab, Norma Pasal 201 Ayat (7) pernah di uji di Mahkamah Konstitusi oleh Frans Manery dan Muchlis Tapi Tapi sebagai Bupati dan Wakil Bupati Halmahera Utara dalam perkara nomor 18/PUU-XX/2022.
Selain itu, norma Pasal 201 Ayat (5), juga pernah diajukan oleh Bupati dan Wakil Bupati Kepulauan Talaud dalam Pemilihan Kepala Daerah Tahun 2018, Elly Engelbert Lasut dan Moktar Arunde Parapaga, dengan Putusan Nomor 62/PUU-XXI/2023.
Menurut hakim konstitusi Saldi Isra, dalam pertimbangan hukumnya menyebutkan pemotongan masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati, dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota pada 2020 sebagaimana dimaksud Pasal 201 ayat (5) maupun (7) UU Pilkada, tidak bertentangan dengan konsepsi hak asasi manusia.
Sebagai hak politik maka terkategori sebagai hak yang dapat dikurangi (Derogable Right), yang berarti hak tersebut boleh dikurangi dan dibatasi pemenuhannya oleh Negara berdasarkan alasan-alasan yuridis sebagaimana termaktub secara eksplisit dalam ketentuan Norma Pasal 28J Ayat (2) UUD NRI 1945.
Oleh karena itu, ketentuan norma hukum Pasal 162 Ayat (1) harus dipahami secara tekstual dan kontekstual. Gubernur Maluku memegang jabatan normal selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan, apabila pelantikannya bersamaan dengan tahun pemilihan, agar jangan menabrak Norma transisi Pasal 201 Ayat (5). Tetapi pelantikannya di tahun 2019, maka masa jabatannya di masa transisi tetap berakhir di 2023 sesuai tahun pemilihan.
Kendati demikian, kebijakan memformulasikan penyelenggaraan Pilkada termasuk pengurangan masa jabatan kepala daerah sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 201, hanya berlaku sekali ini saja atau sementara dan sekali terjadi (Einmalig) demi terselenggaranya pemilihan serentak Nasional 2024. Untuk kedepan tetap berlaku masa jabatan normal lima tahun, dan pemilihan berikutnya berakhir masa jabatan kepala daerah bersamaan dengan periodisasi pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yakni setiap 5 (lima) tahun sekali secara serentak Nasional.
Tapi adanya perlindungan hukum sebagai wujud keadilan Negara atas implikasi tidak terpenuhi masa jabatan kepala daerah sampai 5 tahun. Maka undang-undang telah mengantisipasi jelas bagi oknum kepala daerah yang terkena dampak pemotongan masa jabatan, agar diberikan kompensasi. Sesuai ketentuan Pasal 202 ayat (4), menyebutkan “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang tidak sampai satu periode akibat ketentuan Pasal 201 diberi kompensasi uang sebesar gaji pokok dikalikan jumlah bulan yang tersisa serta mendapatkan hak pensiun untuk satu periode”.
Jadi, meneropong hasil putusan MK nanti, hakim konstitusi tentu mempertimbangkan konstruksi hukum transisi dan yurisprudensi di atas, sehingga tetap komitmen secara konsisten hukum menggunakan argumentasi yang sama. Dan menyatakan ketentuan Norma pasal 201 ayat (5) UU Pilkada tidak menimbulkan persoalan ketidakpastian hukum, yang dijamin UUD NRI 1945. Karena itu, permohonan dinilai tidak beralasan menurut hukum, dan MK pasti menolak untuk seluruhnya permohonan yang diajukan. Itu artinya libido politik Gubernur Maluku, yang bermimpi menjabat sampai April 2024 pupus sudah.
Penulis adalah Direktur Eksekutif, Masyarakat Pemantau Kebijakan Publik Indonesia