Sidang Tindak Pidana Makar RMS, Saksi Ahli Hukum Internasional Sebut RMS Negara Sah

0
8477
Foto Dari Kiri ke Kanan : Hendry Reinhard Apituley, SH,M.Hum adalah saksi ahli hukum Internasional dan merupaakan Dosen Pendidikan Kewarganegaraan Politeknik Ambon. dan tesis ahli dengan judul “Hak Untuk Menentukan Nasib Sendiri Menurut Hukum Internasional”.
“Jadi perhatian, jalannya sidang ditonton lebih dari dua ribu pengguna media sosial”

TABAOS.ID,-Sidang tindak pidana makar dengan terdakwa tiga petinggi FKM/RMS kembali dilanjutkan secara virtual, di Pengadilan Negeri (PN) Ambon, Jl. Sultan Khairun, Kecamatan Sirimau, Kota Ambon, Kamis (3/9/2020).

Terdakwa Johanes Pattiasina, Abner Litamahuputty dan Simon Taihuttu, didakwa karena menerobos masuk halaman Mapolda Maluku, sambil membawa Bendera Benang Raja (sebutan bagi bendera Republik Maluku Selatan).

Dalam sidang ini, tim kuasa hukum yang diketuai Semuel Waileruny, menghadirkan saksi meringankan yang merupakan ahli hukum internasional, Hendry Reinhard Apituley, SH,M.Hum.

Hendry Apituley adalah Dosen Pendidikan Kewarganegaraan Politeknik Ambon, yang menyelesaikan pasca sarjana dengan tesis berjudul “Hak Untuk Menentukan Nasib Sendiri Menurut Hukum Internasional”.

Sidang yang juga disiarkan secara langsung melalui media sosial facebook ini, juga  menyedot perhatian publik. Hal ini terlihat dari dibagikannya kembali siaran langsung  oleh 118 akun dan disaksikan sekira dua ribu lebih pengguna sosial media.

Dalam keterangannya, saksi ahli  berpendapat, tiga terdakwa tidak bisa dihukum karena yang dituntut oleh mereka adalah pengembalian kedaulatan RMS.

Dihadapan  majelis hakim Achmad Ukhayat Cs, saksi menjelaskan, tuntutan kedaulatan RMS oleh tiga terdakwa dalam insiden di Mapolda Maluku, pada HUT RMS 25 April 2020 lalu,  merupakan bentuk kebebasan berekspresi yang diakui hukum internasional.

Dia menambahkan, RMS bukanlah separatis, namun sebaliknya Indonesia yang telah melakukan aneksasi atau perampasan wilayah terhadap negara tersebut.  Keterangan saksi ini sempat dibantah majelis hakim yang berpendapat, hukum internasional tidak bisa diterapkan di Indonesia.

“Asas deklaratoir hukum tersebut  yang menegaskan, setiap entitas bangsa di dunia tidak bisa dipakai dalam perkara ini. Kita gunakan hukum positif yang kita miliki,” ucap Hakim Ketua Achmad Ukhayat.

Baca Juga  Tingkatkan Antispasi, Kapolda : Jangan Sampai Anggota Kita Jadi Penyebar Hoax

Apituley mengatakan, untuk menjelaskan tentang status RMS dari sisi hukum Internasional, ada beberapa subjek yang berkaitan. Diantaranya Republik Indonesia  yang diproklamirkan oleh Soekarno – Hatta pada Jumat, 17 Agustus 1945.

Negara berikutnya yang diproklamirkan pada 29 Desember 1946 lanjut Apituley adalah Republik Indonesia Serikat (RIS). Bila dipandang dari hukum internasional ataupun Hukum Tata Negara, dapat dikatakan RIS adalah negara sah.

Karena Belanda sebagai negara induk dan penguasa atas Hindia Belanda, telah menyerahkan kedaulatan lewat piagam yang merupakan hasil dari perjanjian Meja Bundar. Yakni berisi penyerahan kedaulatan secara de jure dan de facto kepada RIS.

Dengan demikian, kedaulatan diserahkan kepada RIS, bukan kepada Negara Indonesia. Dalam hal ini, Apituley menyatakan, secara hukum tata negara, RIS yang saat itu memiliki 16 negara termasuk salah satunya Indonesia, adalah negara yang sah.

Negara bagian Indonesia ini menurut Apituley, setara dengan 15 negara bagian lainnya, yang salah satunya adalah Negara Indonesia Timur (NIT).

NIT didirikan atas hasil muktamar di Denpasar 23 Desember 1946, dengan ibukota Makasar, dan memiliki 13 daerah bagian otonom, termasuk RMS. Dalam perjalanannya, Negara bagian Indonesia, kemudian melalui pemerintah RIS membubarkan 16 negara, karena presiden RIS adalah Soekarno yang merupakan presiden Republik Indonesia.

Atas kekuasaannya, Soekarno kemudian mengeluarkan Dekrit untuk membubarkan 16 negara bagian, termasuk NIT. Namun setelah NIT dibubarkan, dari 13 wilayah otonom, 12 diantaranya mengakui RI yang beribukota di Jogjakarta.

Sedangkan wilayah RMS memilih untuk membentuk negara sendiri dan memproklamirkan diri pada  Selasa 25 April 1950. Tiga bulan 21 hari kemudian, Soekarno memproklamasikan terbentuknya NKRI dan melakukan aneksasi atas wilayah RMS.

Baca Juga  Soal Status Dua Warga Sabuai, Dosen Hukum Pidana Universitas Pattimura Minta Kejari Bula Hentikan Kasusnya

Secara de facto dan de jure, Apituley berpendapat, negara RMS telah lahir sebelum terbentuknya NKRI. Artinya tidak mungkin RMS melakukan disintegrasi, namun sebaliknya dianeksasi.

Sementara itu, hakim anggota, Jeny Tulak  menyatakan, sesuai dengan fakta sejarah, Maluku sudah mengakui RI sebagai negara yang sah, ditandai dengan ditunjuknya Mr Yohanes Latuharhary sebagai Gubernur Maluku yang pertama oleh pemerintah pusat ketika itu.

“Tahun 1945 sudah ada gubernur pertama di Maluku. Ditunjuk setelah Proklamasi RI tahun 1945,” kata Jeny Tulak.

Pernyataan hakim itu diluruskan  oleh Hendry Apituley, yang menyatakan RMS sudah lebih dulu hadir sebagai negara, sebelum NKRI  terbentuk. Dia menyebutkan,  dari 16 negara RIS, 12 negara diantaranya memilih bergabung dengan Negara Republik Indonesia (RI) yang ketika itu beribukota di Jogjakarta. Sementara RMS yang sebelumnya tergabung dengan NIT,  memilih berdiri sendiri.

“Republik Maluku Selatan memilih berdiri sendiri. Yang 12 lainnya pilih bergabung dengan RI di Jogjakarta,” jelas Apituley.

Sementara itu, Semuel Waeleruny menjelaskan, pihaknya masih akan menghadirkan beberapa saksi ahli  di persidangan mendatang. Dia mengaku, hal itu bertujuan untuk membuktikan dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) tidak beralasan.

“Pentingnya menghadirkan saksi-saksi ahli ini adalah untuk membuktikan perbuatan para terdakwa ini sama sekali bukan makar,” kata Waeleruny.

Persidangan perkara dugaan makar tiga terdakwa masing-masing Simon Taihutu, Abner Litamahuputty dan Janes Pattiasina akhirnya ditunda majelis hakim hingga 19 September 2020, masih dengan mendengarkan keterangan saksi ahli dari pihak tim penasehat hukum ketiga terdakwa. (T-02)