Deforestasi di Maluku Raya Mengkhawatirkan

0
574

“Melihat deforestasi yang semakin masif di Maluku Raya terlihat jelas bahwa komitmen Pemerintah Indonesia terhadap emisi karbon masih sangat diragukan.”

Oleh: Ikhsan Tualeka

Adalah fakta, deforestasi atau penggundulan hutan di Maluku Raya (Maluku dan Maluku Utara) terus meluas. Deforestasi adalah aktivitas penebangan hutan sehingga lahannya dialihfungsikan untuk penggunaan non hutan, seperti pertambangan, pertanian, perkebunan, peternakan dan permukiman hingga pembalakan liar.

Berdasarkan data Yayasan Auriga Nusantara, total luas deforestasi di Maluku Raya dalam rentang waktu 2015-2019 mencapai 110.398 hektar. Kehilangan tutupan hutan tertinggi terjadi pada 2015 seluas 45.136 hektar, kemudian turun menjadi 31.863 hektar. Angka itu sempat turun drastis pada 2017 seluas 8.403 hektar, namun deforestasi naik lagi pada 2018 (11.211 hektar) dan 2019 (13.783 hektar).

Sementara data lainnya dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI tahun 2020, menyebutkan bahwa lahan kritis di kawasan pesisir pantai di Indonesia yang saat ini mencapai 600 ribu hektar, kerusakan paling parah justru terjadi di kawasan Maluku dan Papua. Menunjukan bahwa di Maluku Raya deforestasi tidak saja terjadi di hutan yang ada kawasan pegunungan atau perbukitan, tapi juga pada pesisir pantai.

Adapun dari data yang dikeluarkan Dinas Kehutanan Provinsi Maluku tahun 2012 lalu, memperlihatkan rata-rata laju kerusakan hutan di Maluku adalah 16.000 hektar per tahun. Dari hasil analisis perubahan tutupan hutan melalui citra satelit menunjukkan pada tahun 2011 luas hutan di Provinsi Maluku yang sebelumnya mencapai 4.373.474,65 hektar telah mengalami pengurangan sebanyak 17.165,35 hektar selama periode 2006-2011.

Dari data tersebut pula dijelaskan bahwa untuk laju degradasi hutan selama periode 2006-2011 mencapai 561,93 hektar atau rata-rata 93,65 hektar per tahun. Dengan kata lain, dalam satu tahun ada hutan setara dengan 900 lapangan sepakbola di babat atau dialihfungsikan di Maluku.

Deforestasi dan degradasi hutan di Provinsi Maluku pada Tahun 2000-2009 berdasarkan data BPKH Wilayah IX Tahun 2011 menunjukan angka tertinggi terjadi di dalam kawasan hutan Kabupaten Buru termasuk Buru Selatan yakni 10.407 hektar, diikuti oleh Seram Bagian Barat 7.685 hektar dan Maluku Tengah (Seram Bagian Tengah) 6.422 hektar. Ini belum terhitung di Seram Bagian Timur dan pulau-pulau yang relatif lebih kecil seperti Yamdena di Tanimbar dan lainnya.

Baca Juga  Kapolres SBB Berikan Bantuan Kepada IPMAL Dan Pemuda Desa Latu

Sedangkan di Maluku Utara, dari catatan WALHI setempat, hingga tahun 2021 dari total luasan hutan di Maluku Utara sebesar 2.519.623.91 hektar, 76.800,51 hektar telah diberikan kepada 41 pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) untuk kegiatan pertambangan. Sedangkan pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan sebesar 59.949,14 hektar. Masih ada lagi untuk Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) pada hutan alam sebesar 735.941 hektar.

Kemudian IUPHHK pada hutan tanaman 67.684 hektar, dan IUPHHK pada hutan tanaman rakyat 19.438 hektar, sementara pada hutan lindung 577.504,18 hektar, hutan konservasi 218.955,20 hektar dan hutan produksi mencapai 1.711.536,10 hektar. Masih ada lagi konsesi untuk 96 IUP yang saat ini sudah masuk tahap operasional produksi dan tiga kontrak karya sebesar 614.881,17 hektar.

Sungguh semua data atau angka di atas menunjukan bahwa deforestasi di Maluku Raya telah menuju pada situasi yang mengkhawatirkan. Atau memberikan sinyalemen kuat, bahwa Maluku Raya ada dalam ancaman berbagai persoalan atau bencana, dampak dari deforestasi, kini dan nanti, bila tak ada upaya serius mencegah kerusakan yang lebih parah, dan mengembalikan fungsi hutan dengan berbagai upaya reboisasi.

Ancaman yang jelas dan nyata bila melihat atau belajar dari bagaimana dampak deforestasi di berbagai daerah, termasuk di Maluku Raya. Ada sejumlah dampak utama yang telah dan akan dialami atau mengemuka.

Pertama, dampak pada masyarakat adat. Seperti diketahui sejumlah hutan di kawasan Maluku Raya juga dihuni atau dimiliki oleh masyarakat adat atau lokal. Deforestasi dengan perambahan hutan kerap mengancam hak ekonomi sosial budaya masyarakat adat setempat, yang seringkali berujung pada konflik agraria antara masyarakat adat dengan investor atau perusahaan.

Di Maluku, contoh nyata dapat dilihat dalam konflik antara masyarakat adat di Sabuai dan masyarakat adat Bati Seram Bagian Timur dengan sejumlah perusahaan beberapa waktu lalu. Konflik terjadi karena masyarakat adat melawan perusahaan berkedok usaha perkebunan yang merambah hutan sehingga menimbulkan kerusakan dan bencana banjir.

Sejumlah aktivis dari masyarakat adat Sabuai pun dikriminalisasi akibat mempertahankan hutan adat mereka. Begitu pula dengan yang terjadi di sejumlah kawasan lainnya di Pulau Seram dan Pulau Buru, kerap terjadi konflik antara masyarakat adat dengan perusahaan perkebunan dan perusahaan pertambangan.

Baca Juga  Otoritas Pelabuhan Kaiwatu Pulau Moa MBD Diskriminatif, Penumpang Kapal Dirugikan

Di Maluku Utara juga sama, terlihat dari berbagai konflik agraria yang terjadi. Seperti konflik antara masyarakat adat Desa Woe Jarana, Woe Kobe dan Kulo Jaya di Halmahera Tengah dengan perusahaan pertambangan PT Weda Bay Nickel karena menduduki dan membabat hutan adat untuk keperluan tambang. Perusahaan tersebut memiliki konsesi tambang seluas 54.874 hektar.

Konflik perusahaan tambang dengan masyarakat adat juga terjadi di Sawai dan Tobelo. Potensi konflik agraria dan pengambilan paksa tanah adat di Maluku Utara memang terbilang besar, karena dikelurkannya berbagai ijin pertembagan dan ijin pemanfaatan hasil hutan dan kayu oleh pemerintah kepada sejumlah investor atau perusahaan.

Kedua, kerusakan lingkungan. Akibat deforestasi yang menyebabkan kerusakan hutan berakibat pada banjir dan erosi tanah. Bahkan setiap tahun banjir bandang dan longsor telah menjadi langganan di berbagai daerah di Maluku, termasuk pada kawasan yang sebelumnya tidak pernah dilanda bencana.

Ketiga, kepunahan masif berbagai spesies hewan dan tumbuhan. Deforestasi menyebabkan habitat bermacam spesies hewan, serangga dan tumbuhan yang ada atau tinggal di dalam hutan menjadi rusak dan lenyap. Kerusakan ekosistem hutan mengakibatkan mereka tidak lagi mampu bertahan hidup di habitat aslinya.

Kondisi tersebut tentu saja turut berdampak pada bidang pendidikan dan penelitian, yang kehilangan objek kajian karena spesies yang diteliti tidak dapat lagi ditemukan. Selain itu, di bidang kesehatan, deforestasi dan kerusakan dapat berakibat hilangnya berbagai jenis obat yang bersumber dari flora, fauna, serangga atau burung-burung yang tinggal hutan.

Keempat, siklus air akan terganggu. Seperti diketahui, pohon memiliki peranan yang penting dalam siklus air, karena menyerap curah hujan serta menghasilkan uap air yang nantinya akan dilepaskan ke atmosfer. Namun akibat Deforestasi yang menyebabkan kerusakan hutan, berdampak pada terganggunya siklus air.

Dengan kata lain, semakin sedikit jumlah pohon yang ada di permukaan tanah, maka kandungan air di udara yang nantinya akan dikembalikan ke tanah dalam bentuk hujan juga sedikit. Selain itu, pohon juga berperan dalam mengurangi tingkat polusi air, yaitu dengan mengurangi polutan dan menghentikan pencemaran.

Baca Juga  Pernyataan Sikap MDW Terhadap Kasus Sabuai, Seram Bagian Timur

Jumlah pohon-pohon yang berkurang di hutan akibat kegiatan deforestasi dapat mengurangi efektivitas hutan guna menjalankan fungsinya dalam menjaga tata letak air. Dampaknya saat musim kemarau, terjadilah kekeringan disebabkan karena pohon yang berfungsi sebagai tempat penyimpan cadangan air tanah berkurang signifikan.

Kelima, rusaknya ekosistem darat dan air. Hutan menjadi habitat bagi berbagai jenis spesies hewan dan tumbuh-tumbuhan. Ini berarti hutan merupakan salah satu sumber daya alam hayati yang terdapat di bumi. Kegiatan deforestasi dan pembukaan hutan secara semena-mena dapat mengakibatkan kerusakan dan kepunahan bagi kekayaan alam tersebut.

Dampak kerusakan hutan yang terjadi akan menyebabkan banjir dan erosi tanah yang dapat mengangkut partikel-partikel tanah menuju ke laut. Pada akhirnya akan mengalami proses sedimentasi atau pengendapan di sana. Pengendapan tanah yang berlebihan merusak kawasan pesisir pantai, seperti terumbu karang.

Keenam, mengakibatkan abrasi di pesisir. Rusaknnya hutan dikawasan pesisir pantai menyebabkan terjadinya abrasi atau pengikisan pasir pantai dan tanah akibat pasang-surut serta gelombang air laut. Dampaknya lanjutannya tentu saja turut merusak ekosistem di lautan.

Selain itu, kerusakan hutan akibat deforestasi memicu terjadinya berbagai macam bencana lainnya, seperti pemanasan global yang pada akhirnya akan menimbulkan kerugian yang jauh lebih besar. Hingga di titik ini, melihat deforestasi yang semakin masif di Maluku Raya terlihat jelas bahwa komitmen Pemerintah Indonesia terhadap emisi karbon masih sangat diragukan.

Deforestasi yang terus meluas serta dampak buruknya pada lingkungan dan masyarakat yang terus berlanjut, adalah bukti gagalnya pengelolaan negara sejauh ini, pusat maupun daerah. Di Maluku Raya, tidak saja laut yang dikeruk, hutan pun di babat tanpa ampun, dan masih banyak generasinya yang berdiam diri, pasrah, atau hanya mengelus dada di tengah kemiskinan dan ketertinggalan.

Ambon, 16 Agustus 2022