“Mereka yang suka menghalalkan segala cara untuk meloloskan ambisi politik-nya, adalah politisi busuk yang juga patut dihindari”
Oleh: Ikhsan Tualeka
Belajar dari daerah lain yang telah melaksanakan pemilihan kepala dearah (pilkada) secara langsung, isu korupsi selalu mengemuka dan menyita perhatian publik. Ada dua persoalan mendasar terkait korupsi yang sering terjadi jelang dan menyertai pelaksanaan pilkada.
Pertama, korupsi politik, yaitu korupsi yang dilakukan oleh orang yang memiliki kekuasan politik. Korupsi model ini seringkali dilakukan demi memuluskan kepentingan politik kandidat kepala daerah yang berlatarbelakang birokrat atau pejabat publik.
Kedua, politisasi korupsi, yakni upaya mempolitisir kasus korupsi guna dilakukan-nya kampaye negatif (negative campaign) dan kampanye hitam (black campaign) untuk menggembosi atau menurunkan citra dan popularitas kandidat kepala daerah tertentu jelang pilkada.
KORUPSI POLITIK
Sudah menjadi konsekuensi logis, pilkada secara langsung membutuhkan ongkos politik (cost politic) yang besar. Tak ayal kemudian berbagai cara mesti dilakukan guna menambah modal jika ingin ikut berkompetisi dalam pilkada.
Demi menambah modal politik, korupsi sering menjadi jalan pintas sejumlah pejabat publik yang akan maju sebagai kandidat dalam pilkada. Dalam pengalaman beberapa daerah yang sudah mengelar pilkada, setidaknya ada dua modus korupsi politik yang sering dipakai oleh pejabat publik.
Pertama, klaim bantuan pribadi. Modus ini sering dilakukan, dengan cara beberapa pos dan bantuan dari dana publik, dirancang untuk diberikan langsung oleh pejabat pemerintah, anggota legislatif atau pejabat lainnya yang akan maju dalam pilkada.
Pada saat penyerahan bantuan jelang pilkada, tak jarang diklaim sebagai bantuan pribadi untuk meningkatkan legitimasi dan dukungan politik. Cara ini paling sering digunakan oleh petahana atau kerabatnya.
Kedua, menjadikan birokrasi sebagai mesin uang. Modus ini dilakukan oleh pejabat birokrasi, ataupun politisi yang membutuhkan banyak dana untuk aktivitas politik jelang pilkada.
Seringkali untuk dapat mendanai aktivitas politik, meraka menempuh cara-cara konspiratif, koruptif dan ilegal. Yaitu dengan berusaha menempatkan orang-orang kepercayaan di birokrasi guna mempengaruhi perencanaan anggaran, dengan begitu orang kepercayaannya bisa mendapat anggaran yang besar.
Akibat dari bentuk birokrasi patrimonial yang demikian, hampir seluruh strata birokrasi selalu dipaksa mengumpulkan uang untuk membayar upeti, menambah-nambah pendapatan di luar biaya resmi, bertransaksi bisnis secara gelap, menarik sogokan, meminta komisi, mark up anggaran dan lain-lain.
Dalam kondisi semacam ini politisi birokrasi telah ikut meruntuhkan ide dasar birokrasi sebagai pelayan publik yang sasaran akhir-nya mewujudkan kesejahteraan rakyat. Korupsi politik membuat birokrasi bermetamorfosa menjadi mesin uang bagi kepentingan politik kelompok berkuasa.
Implikasi dari dua modus di atas ternyata cukup luas. Sebab publik tidak hanya dibohongi, tapi lebih dari itu, anggaran yang seharusnya menjadi milik publik, dipakai untuk kepentingan politik pribadi dan kelompok.
Korupsi politik jalang pilkada juga berimplikasi pada terjadinya pembelian pengaruh (influence buying) oleh para kandidat. Yakni dana publik yang di korup kemudian dipakai untuk membeli pengaruh, lewat bantuan sosial dan praktek-praktek serupa.
Praktek influence buying tentu sangat mengancam demokrasi yang subtantif. Sebab yang terjadi adalah mobilisasi bukan partisipasi yang merupakan instrumen penting demokrasi.
Realitas di atas kian mengkhawatirkan lagi, jika ternyata pejabat dari jajaran birokrasi daerah yang akan maju dalam pilkada lebih dari satu kandidat. Kondisi seperti ini tentu saja akan sangat berdampak pada tersedot-nya anggaran publik bagi kepentingan mereka-mereka yang ingin merengkuh kekuasaan.
Dampak lainnya adalah, pada struktur birokrasi. Perebutan mesin uang membuat birokrasi tidak solid. Adanya polarisasi akibat loyalitas yang memihak, akan sangat berdampak pada pelayanan publik dan upaya mewujudkan tata kelola pemerintahan yang bersih dan baik.
Tata kelola pemerintahan yang buruk, tentu lebih membuka peluang terjadinya kebocoran dalam penggunaan anggaran dan lagi-lagi publik yang paling dirugikan. Ini juga menjadi titik kritis dari demokrasi elektoral.
POLITISASI KORUPSI
Politisasi korupsi juga merupakan gejala yang seringkali marak jelang pilkada. Biasanya, belajar dari daerah lain, politisasi isu korupsi dipandang potensial untuk melakukan penggembosan terhadap citra dan popularitas kandidat tertentu.
Setidaknya ada dua kategori politisasi korupsi jelang pilkada. Yakni, isu korupsi digunakan untuk kampanye negatif dan isu korupsi dipakai sebagai kampanye hitam.
Isu korupsi sebagai kampanye negatif atau negative campaign sebenarnya masih dalam koridor demokrasi. Sebab kampanye negatif merupakan kegiatan menjatuhkan lawan politik namun tetap bersandar pada fakta.
Dalam konteks ini, politisasi kasus-kasus korupsi yang melibatkan politisi birokrasi justru memiliki nilai strategis dan juga politis guna mengeliminasi kandidat kepala daerah yang tidak memiliki dedikasi dan integritas. Hal yang sebenarnya wajar.
Kampanye negatif masuk dalam lingkup demokrasi sebab, demokrasi memungkinkan setiap orang menyampaikan pendapat yang berbeda secara terbuka selama berdasar pada fakta. Melalui demokrasi yang terbuka dan transparan, pilkada sebagai mekanisme demokrasi prosedural tidak akan menghasilkan pemimpin yang memiliki watak korup yang sering menggunakan kekuasaan untuk memperkaya diri.
Sedangkan isu korupsi sebagai kampaye hitam atau black campaign, adalah model politisasi korupsi yang memiliki kecenderungan memutarbalikan fakta dan data dugaan korupsi. Kemudian memakai asumsi pribadi atau kelompok yang kemudian direkayasa untuk membohongi publik.
Praktek semacam ini tentu bertentangan dengan moral dan etika politik. Serta berseberangan prinsip demokrasi yang mengutamakan penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia.
WASPADA DAN KRITIS
Melihat gejala korupsi politik dan politisasi korupsi yang biasanya terjadi jelang pilkada, publik Maluku tentu mesti waspada dan kritis jelang pelaksanaan sejumlah Pilkada nanti. Praktek korupsi politik yang ditengarai dilakukan pejabat publik atau politisi birokrasi, perlu diantisipasi bersama.
Publik mesti cermat dan menanyakan asal-usul dari setiap dana atau bantuan yang diberikan. Juga mewajibkan setiap pejabat pemberi bantuan untuk mengumumkan dan menjelaskan kepada publik asal-usul dana bantuannya.
Jika ternyata kemudian diketahui ada praktik klaim bantuan pribadi, maka mereka yang mengklaim dana publik menjadi bantuan pribadi mesti diwaspadai. Meraka adalah contoh kandidat pemimpin yang tak bernurani. Mereka adalah politisi busuk yang pantas di hukum dengan tidak memilih mereka dalam pilkada.
Tidak hanya itu, publik juga mesti mencermati politisi birokrasi yang terbukti memakai mesin birokrasi untuk melanggengkan kekuasaannya. Mereka yang menggunakan mesin birokrasi untuk bekerja bagi kepentingan pribadi adalah cermin kandidat pejabat publik yang tega menghianati publik, meraka yang tak becus menggunakan kekuasan saat kekuasaan itu dipercayakan kepada mereka, tak pantas dipilih menjadi pemimpin publik
Selain itu politisasi korupsi juga harus disikapi dengan hati-hati. Publik harus bisa mencermati setiap perkembangan terkait dengan isu korupsi, sehingga dapat membedakan negative campaign dengan black campaign.
Kampanye negatif atau negative campaign memang perlu menjadi masukan dan pertimbangan publik dalam memilih kandidat. Sedangkan setiap isu korupsi yang dihembuskan tanpa berdasarkan bukti dan fakta hukum yang termasuk black campaign mestinya juga diwaspadai.
Mereka yang tega membohongi publik dengan membunuh karakter orang lain (character assasination) adalah cermin dari ambisi politik yang tak bermartabat. Mereka yang suka menghalalkan segala cara untuk meloloskan ambisi politik-nya, adalah politisi busuk yang juga patut dihindari.
Kewaspadaan publik dalam mencermati fenomena korupsi politik dan politisasi korupsi jelang Pilkada nanti sangat diperlukan. Sehingga kekuasaan yang sejatinya adalah milik publik dapat direkomendasikan kepada mereka yang pantas.
Artinya, kekuasaan itu milik publik. Publik-lah yang berhak memberi dan menarik kembali kekuasaan dari siapa pun tergantung pada bagaimana kekuasaan digunakan dan diarahkan. Kalau kekuasaan digunakan dan diarahkan semata-mata untuk kepentingan publik, itulah substansi demokrasi.
Namun jika kekuasaan dipakai untuk menimbun kekayaan dan membohongi banyak orang, barangkali kekuasaan dalam diri seseorang perlu ditarik dan diberikan kepada yang lebih pantas. Dalam pilkada nanti publik memiliki kewenangan penuh untuk itu, dengan demikian suara rakyat adalah suara Tuhan.
Penulis adalah Founder Moluccas Democratization Watch (MDW)
(Tulisan dibuat 12 tahun lalu, ternyata masih relevan dengan realitas politik kekinian, diambil tabaos.id dari facebook penulis)